M.RAKIB
PEKANBARU RIAU INDONESIA
Nah hermeneutika
yang digadang-gadang kelompok liberal sebagai metode paling pas dalam
memahami Al-Qur’an saat ini.
Mengapa dan ada apa dengan ‘Hermeneutika’?
Setelah ditelusuri, ternyata filsafat pemahaman teks ala
Barat inilah yang menjadi “alat buldoser” paling efektif yang berada di
belakang upaya sekularisasi dan liberalisasi pemahaman Al-Qur’an yang terjadi
secara massif.
Di tangan para pengusung sekularisme dan liberalisme, metode
hermeneutika untuk mengkaji Al-Qur’an ini ingin menggusur dan mengkooptasi
ajaran-ajaran Islam yang baku dan permanen
(tsawabit), agar compatible dengan pandangan hidup (worldview) dan nilai-nilai
modernitas Barat sekuler yang ingin disemaikan ke tengah-tengah umat Islam.
Tema ini telah menarik perhatian penulis
semenjak digelindingkannya suatu upaya sistematis untuk meliberalkan
kurikulum ‘Islamic Studies’ di perguruan-perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Semenjak langkah strategis itu diluncurkan di
era kepemimpinan Munawir Syadzali di Departemen Agama dan Harun Nasution di
IAIN Jakarta tahun 1980-an, sederet nama para penganjur dan pengaplikasi
hermeneutika untuk studi Islam tiba-tiba menjadi super stars dalam
kajian Islam di Perguruan Tinggi Islam Indonesia.
Sebut saja misalnya: Hassan Hanafi
(hermeneutika-fenomenologi), Nasr Hamid Abu Zayd (hermeneutika sastra kritis),
Mohammad Arkoun (hermeneutika-antropologi nalar Islam), Fazlur Rahman
(hermeneutika double movement), Fatima Mernissi-Riffat Hassan-Amina A. Wadud
(hermeneutika gender), Muhammad Syahrur (hermeneutika linguistik fiqih
perempuan), dan lain-lain yang cukup sukses membius mahasiswa dan para dosen
di lingkungan Perguruan Tinggi Islam di Indonesia baik negeri maupun
swasta, hingga kini.
Bahkan beberapa tahun silam dengan munculnya Counter
Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam oleh Tim Pengarusutamaan Gender
Depag RI, yang merombak dan melucuti banyak hal aspek-aspek yang qath’i
dalam sistem hukum Islam, meski telah ditolak dan digagalkan, telah
mengindikasikan suatu upaya serius untuk menjadikan produk tafsir hukum ala
hermeneutika ini sebagai produk hukum Islam positif yang mengikat seluruh umat
Islam di tanah air.
Hermeneutika di akhir abad 20 M mengalami
pembaharuan pembahasan ketika Paul Ricoeur memperkenalkan teorinya. Ia
kembali mendefinisikan Hermeneutika sebagai cara menginterpretasi teks, hanya
saja, cara cakupan teks lebih luas dari yang dimaksudkan oleh para cendikiawan
abad pertengahan maupun modern dan sedikit lebih sempit jika dibandingkan
dengan yang dimaksudkan oleh Heidegger. Teks yang dikaji dalam hermeneutik
Ricoeur bisa berupa teks baku sebagaimana umumnya, bisa berupa simbol, maupun
mitos. Tujuannya sangat sederhana, yaitu memahami realitas yang sesungguhnya di
balik keberadaan teks tersebut..
Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika
diambil dari kata kerja dalam bahasa yunani hermeneuien yang berarti,
menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut,
kata kerja tersebut diambil dari nama Hermes, dewa Pengetahuan dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai pemberi pemahaman kepada
manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus .
Sebagai istilah ilmiah, Hermeneutika
diperkenalkan pertama kali sejak munculnya buku dasar-dasar logika,Peri Hermeneias karya Aristoteles. Sejak saat itu pula konsep logika dan penggunaan rasionalitas
diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis.
Konsep
ini terbawa pada tradisi beberapa agama ketika memasuki abad pertengahan (medieval
age) Hermeneutika diartikan sebagai tindakan memahami pesan yang
disampaikan Tuhan dalam kitab suci-Nya secara rasional. Dalam tradisi Kristen, sejak abad 3 M , Gereja yang kental dengan tradisi paripatetik
menggunakan konsep tawaran Aristoteles ini untuk menginterpretasikan Al-kitab.[3] Sedangkan dalam tradisi filsafat
Islam, ulama kalam menggunakan
istilah Takwil
sebagai ganti dari hermeneutika, untuk menjelaskan ayat-ayat Mutasyabbihat.[4]
Ketika Eropa
memasuki masa pencerahan([rennaisance]),
dari akhir abad 18 M sampai awal 19 M, kajian-kajian hermeneutika yang
dilakukan pada abad pertengahan dinilai tidak berbeda sama sekali dengan upaya
para ahli Filologi
Klasik.[1]Empat tingkatan interpretasi yang
berkembang di abad pertengahan, yaitu, literal
eksegesis, allegoris
eksegesis, tropologikal eksegegis, dan eskatologis
eksegesis, direduksi menjadi Literal dan gramatikal
eksegesis .[butuh
rujukan] Pemahaman ini diawali oleh seorang ahli Filologi
bernama Ernesti
pada tahun 1761, dan terus dikembangkan oleh Friederich
August dan Friederich
Ast.
Hermeneutika kemudian keluar dari
disiplin filologi bahkan melampaui maksud dari empat tingkatan interpretasi
abad pertengahan ketika Schleiermacher
menyatakan bahwa proses interpretasi jauh lebih umum dari sekedar mencari makna
dari sebuah teks. Ia kemudian menjadikan hermeneutika sebuah disiplin filsafat
yang baru. [3][1] Hal tersebut disetujui dan
dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey
di ujung abad 19 M. Ia memadukan konsep sejarah dan filsafat serta menjauhi dogma
metafisika untuk melahirkan pemahaman yang
baru terhadap Hermeneutika. Ia kemudian memahami bahwa proses hermeneutika
adalah sesuatu yang menyejarah, sehingga harus terus-menerus berproses di
setiap generasi.[1] Walaupun melahirkan pemahaman
yang tumpang-tindih,
hubungan keilmuan yang dinamis
akan sangat berperan untuk menyatukan kembali pemahaman dalam sudut pandang yang bersifat obyektif.
hal yang perlu diperhatikan dalam
menginterpretasi
Abad 20 M, ditandai sebagai era post-modern
dalam sejarah filsafat barat,
fenomenologi lahir sebagai paham baru yang
merambah dunia hermeneutika. Adalah Martin Heidegger, yang mengatakan bahwa
proses Hermeneutis merupakan proses pengungkapan jati diri dan permasalahan eksistensi
manusia yang sesungguhnya. Usahanya mendapat respon postif dari Hans-Georg Gadamer
yang kemudian memadukan Hermeneutika Heidegger dengan konsep estetika. Keduanya sama-sama sepakat bahwa Yang-Ada
berusaha menunjukkan dirinya sendiri melalui tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh manusia, terutama bahasa.
No comments:
Post a Comment