BAGIAN 22 NOVEL KARYA M.RAKIB PEKANBARU RIAU
CALON DOKTOR TERMAKAN
SUMPAH DALAM CINTA
‘’EMPAT PROFESOR SATU CNITA’’
Sang Penyair, sudah tiga belas belas tahun sang penyair menjadi calon doktor hukum, tapi
tidak juga bisa diselesaikan, seorang profeor killer telah menyanderanya, hanya
dengan alasan “disertasi anda belum layak uji”. Isteri sang penyair sudah tidak
sabar lagi, dengan kaedaan kuliah suaminya sang penyair, karena kadang-kadang
uang belanja rumah tangga dikurangi gara-gara kuliah di S 3. Sering rapat-rapat
di tingakat RT dan RW tidak dihadiri, gara-gara desakan perbaikan disertasi di
S 3. Uang jajan anak dikurangi gara-gara kuliah
di S 3. Peminta sumbangan jauh-jauh datang dari kampung, tidak
mendapatkan sumbangan yang wajar, gara-gara kuliah di S3. Permintaan pengajian
ibu-ibu di masjid sering ditolak, gara=gara sang penyair kuliah di S3.
Siti Syari : Bang, tidak ada
di dunia ini orang yang kuliah di
perogram doktor yang selama ini. Ini pastilah kutukan buat Abang yang mengurangi
belanja gara-gara kuliah. Banyak cinta yang diabaikan, termasuk masalah cinta
terhadap anak dan istri. Abang lebih cinta kepada si dosen killer itu,
dibandingkan isteri abang sendiri.
Sang Peyair : Siti Syari,
istriku. Sebetulnya pernah terniat di dalam hati abang untuk berhenti saja
kuliah di program doktor ini, tapi kan Cuma
tinggala disertasi saja lagi. Itupun semua profesor yang tujuh penguji itu, Cuma
satu orang saja yang menahan disertasi abang, Profesor Amar Makruf namanya. Dia
akan pensiun tahun depan, nah Abang menunggu tahun depan itu, di saat dia tidak
menguji lagi. Abang ni kan, sudah selesai ujian tertutup, hanya menunggu ujian
terbuka saja. Yang abang tunggu hanya satu tanda tangan lagi, tidak ada yang
lain.
Siti Syari : Abang, kita sudah menikah 26 tahun, kok Abang kuliah
terus tanpa henti.
Untuk mengambil SH, abang kuliah 11 tahun, untuk mengambil
gelar MA, abang habiskan waktu 4 tahun, untuk mengambil doktor, sudah habis tiga belas tahun, itupun belum tahu ujungnya,
jangan-jangan ditambah 5 tahun lagi, sedangkan abang dua tahun lagi
pensiun kan?..
Rupanya Siti Syari baru saja Harian Kompas tentang bahyanya
dosen killer, karena suaminya sang penyair seedang menjadi korbannya. Menurut
Haraia Kompas itu, Dosen killer, menjadi momok bagi para mahasiswa. Dosen
killer sering kali didefinisikan sebagai dosen yang galak, jutek, banyak
memberikan tugas, menunda nunda waktu untuk memberikan tandatangan, pelit
memberi nilai dan beberapa hal-hal negatif lainnya. Saat kuliah pun kata
seorang penulis di Kompas, “saya juga sempat mengalami berinteraksi dengan
dosen killer.” Bahkan ada salah satu dosen yang bisa dikatakan level killernya tingkat tinggi, hal ini sering
diceritakan oleh para kakak kelas dan alumni.
Ternyata benar, Dosen killer tersebut sangat sulit memberi
nilai B apalagi A, nilai C adalah yang paling lazim diberikannya. Meskipun
mendapat nilai C pada umumnya dianggap baik, namun bagi mahasiswa di perguruan
tinggi kedinasan hal ini adalah tanda bahaya karena bisa menjadi penyebab Drop
Out (DO) atau dikeluarkan dari sekolah kedinasan yang tidak perlu mengeluarkan
biaya kuliah alias gratis. Mendapatkan nilai C di suatu mata kuliah maka di
mata kuliah lain harus mendapatkan nilai minimal B agar bisa mengcovernya untuk
mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) per Semester minimal 2,75. Dosen
killer tersebut juga tidak segan memberikan nilai D pada mahasiswa yang
dinilainya tidak berusaha maksimal atau hanya seadanya dalam mengerjakan
tugas-tugas yang diberikan apalagi ketahuan plagiat atau mencontek. Mendapatkan
nilai akhir D menurut peraturan kampus kami berarti otomatis DO, yang
membuatnya tidak bisa mengikut kuliah di semester berikutnya yang berarti gagal
menyelesaikan pendidikan dan tidak bisa diangkat menjadi calon pegawai negeri
sipil.
Aduh, saat memasuki kuliah di semester lima saja, atau mulai memasuki tahun ketiga, Dosen killer
tersebut menjadi salah satu dosen saya pada mata kuliah keahlian yang tidak
boleh mendapatkan nilai akhir D. Sekilas wajahnya terlihat sangar dan membuat
takut mahasiswa yang baru bertemu, apalagi gaya bicaranya dengan logat khas kampungnya
dan bersuara keras membuat nyali kami makin ciut. Bila sedang jam kuliah dosen
tersebut, mahasiswa sudah rapi di tempat masing-masing sebelum beliau masuk
kelas. Mendadak semua mahasiswa merapikan pakaiannya sesuai peraturan kampus,
dosen ini sangat teliti pada hal sekecil apapun termasuk cara berpakaian, tidak
seperti dosen lainnya yang kurang begitu memperhatikannya. Selama kuliah pun
mahasiswa tidak berani usil dan iseng, bahkan bertanya pun sangat jarang karena
khawatir atau takut salah.
Saat ujian mid semester telah dilewati, semua gembira karena
dosen-dosen mengabarkan nilai-nilai kami yang cukup aman untuk mencapai batas
minimal IPK di akhir semester. Namun tidak dengan mata kuliah dosen killer
tersebut, hanya ada segelintir mahasiswa mendapat nilai B, banyak yang mendapat
C dan beberapa orang lainnya termasuk saya mendapatkan nilai D. Sang dosen
memperingatkan bahwa yang mendapatkan nilai D adalah mahasiswa yang rentan
terkena DO di akhir semester bila tidak segera memperbaiki diri. Serentak
terlihat wajah-wajah tegang dan pucat yang bisa diduga mendapatkan nilai D,
jantung saya pun berdegup kencang mendengar pernyataan sang Dosen.
Jelas saja saya lebih intensif lagi belajar dan belajar.
Meskipun begitu, namun juga tetap aktif dalam kegiatan kemahasiswaan yang salah
satunya sebagai pengelola majalah kampus. Tak disangka redaktur utama majalah
kampus memberikan saya tugas untuk mewawancarai dosen killer tersebut untuk
dijadikan salahsatu liputan utama. Mau tidak mau saya harus datang menemui sang
dosen dan meminta waktu untuk mewawancarainya. Setelah beberapa kali gagal
karena kesibukan sang dosen yang juga merupakan salah satu pejabat di sebuah
Kementerian, akhirnya sayapun langsung berhadap-hadapan empat mata dengan sang
dosen killer di ruangan kerjanya nya sebagai pejabat, bukannya di ruangan dosen
yang disediakan di kampus.
Hampir satu jam saya mewawancarainya. Beliau ternyata cukup
ramah dan selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan lengkap
dan tuntas. Mendekati akhir wawancara, saya nekat mengajukan pertanyaan
mengenai persepsi banyak mahasiswa yang menganggapnya sebagai dosen killer
bahkan super killer. Beliau sempat terdiam sebentar setelah mendengar
pertanyaan, sejenak ia memandangi saya. Sayapun gugup dan khawatir,
jangan-jangan sang dosen mengingat saya sebagai salah satu mahasiswa yang
terancam DO karena mendapat nilai D pada ujian mid semester lalu. Tak lama sang
dosen menjelaskan mengapa ia bersikap demikian. Banyak hal penting yang
dijelaskannya membuat saya bisa memahami sikapnya yang membuat mahasiswa
menjulukinya sebagai dosen killer.
Beliau menyatakan bahwa tidak ingin mahasiswanya memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang tanggung atau setengah-setengah. Para
mahasiswa kelak akan menjadi abdi negara yang padanya bergantung nasib rakyat,
bangsa dan negara. Hanya abdi negara yang memiliki pengetahuan dan keterampilan
yang lebih dari cukup yang mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Bila
sampai terjadi permasalahan nanti saat bertugas, maka para pengajar selama
kuliah di kampus kedinasan tersebut akan turut mendapatkan sorotan. Oleh karena
itu ia hanya akan meluluskan mahasiswa yang memang pantas lulus karena berusaha
keras untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya.
Penjelasan beliau membuat saya paham sehingga menjadi malu.
Saya sudah beruntung berkesempatan mengenyam bangku kuliah di perguruan tinggi
bahkan berstatus negeri dan tidak perlu membayar pula, mengapa tidak berusaha
lebih maksimal untuk mendapatkan hasil terbaik sebagai bentuk rasa syukur?
Sayapun makin giat belajar diberbagai kesempatan. Di kelas saya sudah tidak
takut lagi dengan sang dosen killer dan mulai berani mengajukan pertanyaan,
memberikan pendapat hingga mengkoreksi saat beliau membuat kesalahan karena
lupa atau tidak sengaja. Perubahan atau keberanian saya ini membuat teman-teman
di kelas heran. Saya katakan bahwa karena terancam DO maka saya harus mengatasi
rasa takut pada sang dosen dan berusaha maksimal menyerap semua ilmu yang
diajarkannya. Syukurlah penjelasan dan perubahan sikap saya tersebut juga
diikuti beberapa teman lain, khususnya yang senasib mendapatkan nilai D.
Hasil positif pun mulai kami dapatkan. Beberapa tugas, paper
dan kuis pada mata kuliah sang dosen killer mendapatkan nilai B tidak seperti
sebelumnya yang maksimal hanya mendapatkan C. Saat ujian akhirpun kami berusaha
lebih keras dan bersiap dengan segala kemungkinan meski yang terburuk sekalipun
yaitu harus dikeluarkan dari kampus karena nilai akhir yang tidak memenuhi
syarat. Tidak berapa lama berselang tiba juga pada hari pengumuman nilai akhir
IPK semester lima, hal ini akan menentukan apakah kami akan terus kuliah memasuki
semester berikutnya yang merupakan semester terakhir ataukah terhenti hanya
sampai semester lima.
Fokus kami hanya pada nilai masing-masing yang terpampang di
kertas yang ditempelkan di papan pengumuman kampus. IPK semester lima saya
adalah 2,98, meski masih masuk perkumpulan mahasiswa dua koma (PMDK) namun hal
ini cukup melegakan karena berhasil melewati batas minimal IPK 2,75 sebagai
syarat bisa melanjutkan ke semester berikutnya. Sayangnya seorang teman kami
terpaksa harus berhenti kuliah karena mendapatkan IPK di bawah 2,75. Meski
disatu sisi kami bergembira, tetap tak enak rasanya ada seorang teman kami yang
gagal. Namun hidup harus tetap berlanjut. Kami yang lulus masih harus terus
berjuang, begitu juga teman yang tidak lulus harus tetap berjuang meskipun
tidak di kampus yang sama lagi. Itulah sebuah pengalaman mahasiswa S 1 yang
curhat di Kompas.
No comments:
Post a Comment