DISERTASI REMAJA MELAWAN ORANGTUA
ANEH
TAPI NYATA
Ketika remaja, merampok dan
membunuh
Nasehat orangtua, tiada berpengaruh
Emosinya tinggi, tiada bertangguh
Sekali terasa, langsung dikayuh.
CATATAN DISERTASI M.RAKIB 8023 9038 1888
PEKANBARU RIAU INDONESIA 2015
Hai anak-anakku para remaja, hati adalah tempat mangkalnya berbagai perasaan, tumbuh kembang antara
kebaikan dan keburukan. Hati juga menjadi sumber ilham dan permasalahan, tempat
lahirnya cinta dan kebencian, serta muara bagi keimanan dan kekufuran.
KETENTUAN HUKUM ISLAM TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
1.
Konsep Tentang Anak
Anak adalah amanah Allah, sekaligus
sebagai pewaris masa depan yang harus diperlakukan dengan lembut. Setiap orang tua
pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya, namun seringkali orangtua dihadapkan pada
kenyataan bahwa anak tumbuh tidak
sesuai harapan. Anak seringkali menimbulkan masalah. Jika tidak dididik dengan baik, dikhawatirkan bisa menjadi musuh dunia dan akhirat. Allah
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ
أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya dari istri-istri kalian dan anak-anak
kalian adalah musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah kalian dari mereka.”[1]
Al-Ghazali menerangkan tentang ayat ini bahwa sebagian istri atau anak ada yang menjadi
musuh. Allah berfirman tentang Ibadurrrahman:
رَبَّنَا
هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ
Ya Tuhan kami, karuniakan kepada kami
istri-istri kami dan anak-anak kami sebagai penyenang hati (kami).”[2] Al-Qur’an mengabarkan bahwa di antara sebagian istri dan anak ada yang menjadi musuh bagi suami dan anaknya. Anak jangan menjadi menjadi penyebab lalai untuk melakukan amal dan saleh. Sebagaimana firman Allah:
ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ
أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu lalai disebabkan harta-hartamu
dan anak-anakmu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka
mereka itulah orang-orang yang rugi.” [3]
Tidak semua anak dan istri menjadi musuh, sebagian dari mereka justru
menjadi perhiasan dunia, penyenang hati, penggugah jiwa dan penggelora semangat
dalam menjalani kehidupan. Imam Ath-Thabari meriwayatkan dengan sanadnya dari beberapa para ulama salaf
mengenai tafsir dari istri-istri dan anak-anak yang menjadi penyenang hati
seperti doa dalam surat Al Furqan.
Ibnu Abbas mengatakan, “ anak yang mentaatimu, mereka menjadi penyenang
hati. Seiring
dengan kesenangan dan kebahagiaan yang Allah halalkan dalam kehidupan bersama
anak-anak dan istri yang kita cintai, seperti bersenda gurau dengan mereka dan
mencari nafkah untuk menghidupi mereka, ada tanggungjawab yang harus dipikul oleh orangtua sebagai
pemimpin keluarga. Tanggungjawab itu tidak
akan dapat di
tunaikan jika anak menjadi musuh bagi orangtuanya
sendiri, bukan sebagai penyenang hati.
2.
Usia Anak Menurut Fiqih
Hukum Islam
(Fiqih) mengatur batas umur seseorang
untuk dapat disebut dewasa dan mampu dari segi fisiknya saja. Lebih jelas
ukurannya/kriterianya dewasa menurut Islam adalah sudah akil baligh yaitu adanya tanda-tanda
tertentu seperti laki-laki sudah bermimpi basah dan wanita sudah haid.[4]
Dalam Kompilasi Hukum
Islam ada aturan secara khusus masalah batas umur untuk dapat dikatakan dewasa dan bisa melalkukan perkawinan bagi orang
Islam yaitu pada Pasal 15 ayat (1) yang menegaskan bahwa untuk kemaslahatan
keluarga dan
rumah tangga. Perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya
berumur 16 tahun.[5]
Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah
bahwa orang yang tidak pernah bermimpi (mengeluarkan mani) itu tidak dinyatakan
dewasa kecuali bila telah sampai pada usia 17 tahun. Sedang dalam riwayat lain
yang termasyhur dari Abu Hanifah adalah 19 tahun. Dari penjelasan di atas
terlihat bahwa keduanya lebih cenderung memilih usia anak dari pada ihtilâm
itu sendiri.[6] Kewajiban Menafkahkan Anak Seorang ayah wajib memberi nafkah sampai anak itu dewasa yakni berusia menimal
21 tahun, Walaupun
dia sudah bercerai dengan ibu si anak. Dalam KHI
(Kompilasi Hukum Islam) Pasal 156 Bab 17 tentang Akibat,
sekalipun putusnya perkawinan, dinyatakan bahwa:
Semua
biaya hadhanah dan nafkah anak
menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai
anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) e. bilamana terjadi perselisihan
mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d); f. pengadilan dapat pula dengan
mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan
pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.[7]
Para ulama sepakat (ijmak) atas
wajibnya menafkahi anak. Dalil yang dijadikan dasar hukum adalah Al Quran Surat
Al-Baqarah 2:33:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ......
Kewajiban ayah menanggung nafkah dan
pakaian mereka dengan cara yang patut (ma'ruf).[8]
Kewajiban membiayai anak bagi seorang ayah ada batasnya. Kewajiban itu gugur apabila anak mencapai usia dewasa. Dewasa menurut Hukum Islam adalah sudah baligh (kira-kira 14 tahun). Sedang dewasa menurut ukuran negara dan KHI (kompilasi hukum Islam) adalah 21 tahun.[9] Kalau anaknya yang sudah dewasa itu miskin dan secara fisik sehat, sebagian besar ulama berpendapat tidak wajib memberi nafkah karena anak dianggap mampu untuk bekerja sendiri. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat sebaliknya yakni kewajiban menafkahi tetap pada bapak. Namun apabila anak yang miskin tadi secara fisik lemah atau cacat, maka menurut Ibnu Taimiyah kewajiban membiayai ada pada bapak. Wajibnya memberi nafkah anak perempuan walaupun dewasa sebagian besar ulama fiqih mengatakan wajib memberi nafkah sampai anak wanita menikah. Argumennya adalah karena anak perempuan tidak atau belum mampu bekerja.[10]
Implementasi perlindungan anak dalam kajian fiqh,[11]
terealisasi dalam tiga bentuk, yang
ketiganya bertujuan untuk memelihara kemaslahatan anak sebagai salah satu tujuan syari’at,[12] yakni memelihara keturunan, yaitu:
Pertama, dalam bentuk hadhanah, yaitu merawat dan
mendidik orang yang belum Mumayyis ,
atau orang yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka belum bisa mengerjakan
keperluan diri sendiri. Ulama fiqh sepakat bahwa hukum merawat dan mendidik
anak adalah wajib, karena apabila anak yang belum dewasa tidak dirawat dan
didik dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri mereka, bahkan bisa
menjurus kepada kehilangannyawa.Perlindungan
dan pemeliharaan anak dalam hadanah dibebankan
kepada keluarganya terutama kedua orang tuanya. Ulama fiqh berbeda pendapat
dalam menentukan siapa yang memiliki hak
hadanah. Ulama Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa mengasuh, merawat dan
mendidik anak merupakan hak ibu atau yang mewakilinya, ia boleh menggugurkan
haknya itu sekalipun tanpa imbalan. Akan tetapi, menurut jumhur ulama hadanah menjadi
hak bersama, antara kedua orang tua dan
anak. Menurut Wahbah al-Zuhaili dalam Ensiklopedi Hukum Islam, hak hadanah itu
hak berserikat antara ibu, ayah dan anak. Apabila terjadi pertentangan antara
ketiganya, maka yang diprioritaskan adalah hak anak yang diasuh.[13]
Kedua, dalam bentuk anak pungut (anak asuh). Bagi orang yang tidak menginginkan kehadiran anak, setelah
anak itu lahir, diletakkannya (dibuang) pada suatu tempat, dengan harapan
supaya dapat dipungut orang lain. Bagi orang yang menemukannya wajib
memungut (membawa) anak itu. Apakah anak
itu akan dirawatnya sendiri atau dirawat orang lain.[14]
Ketiga, dalam bentuk anak
angkat. Mahmud Syaltut, dalam Ensiklopedi Hukum Islam mengemukakan bahwa setidaknya ada dua
pengertian“pengangkatan anak.” Pertama, mengambil
anak orang lain untuk diasuh dan dididik
dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status “anak kandung”
kepadanya. Akan tetapi ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak
sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi
status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan
(nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta
hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya
itu.[15]
4.
Kekerasan Terhadap Anak Menurut Pandangan Islam
Kekerasan terhadap anak ialah berbuat zalim
terhadap anak, yaitu memberikan hukuman yang melampaui batas[16]
yang telah ditetapkan, karena istilah tindakan kekerasan hanya jika mengarah kepada balasan yang tidak setimpal, yang dikenal dengan kata Al-Baghy. Kata al-baghy,
terdapat pada Qur’an
Surat(QS) al-Nahl [16]: 90.[17]
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[18]
Dalam kaitannya dengan menghukum anak, secara umum ayat ini,
al-Qur'an melarang melakukan tindakan yang melampaui batas, sebab
menurut al-Ashfahani, al-baghy
berarti melampaui batas kewajaran.[19] Kemudian dalam arti
yang sama, kata tughyan,
terdapat dalam Qur’an Surat (QS). Hud [11]: 112.
Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.[20]
Kata
thughyan digunakan untuk segala sesuatu yang melampaui batas.[21] Demikian pula orangtua atau guru
bertindak zalim dikategorikan dengan thaghut. Sikap ini sangat dikecam
oleh al-Qur'an seperti pada QS. al-Naba' [78]: 22 yang menjanjikan balasan
keras berupa neraka jahannam bagi orang-orang yang melampaui batas (thaghin). Pakar
tafsir asal Tunisia, Ibnu 'Asyur, menjelaskan, ungkapan tathghaw pada QS. Hud [11]: 112 mencakup larangan untuk melakukan segala
bentuk kerusakan (ushul al-mafdsid). Dengan demikian, ayat tersebut mengandung
perintah untuk pencapaian kemaslahatan
melalui sikap konsisten pada prinsip-prinsip agama, dan menghindari berbagai
kerusakan yang tergambar dalam kata thughyan.[22]
Istilah
lain yang juga dapat diartikan kekerasan
ialah Al-Zhulm yang disebutkan dalam al-Qur'an sebanyak 315 kali.[23] Pengertiannya yang
populer seperti yang terdapat dalam Mu'jam
Alfdzh al-Qur'an al-Karim, melakukan
sesuatu tidak pada tempatnya, baik karena berlebih atau kurang. Karena itu menyeleweng dari kebenaran juga disebut zhulm,
dan dapat terjadi dalam hubungan manusia dengan Tuhan dalam bentuk
kekafiran atau syirik (QS. Luqman [31]: 17) dan kemunafikan, dalam hubungan
antara manusia dan manusia dalam bentuk penganiayaan atau lainnya (Q5. al-Syura
[42]: 42), dan dalam hubungan antara manusia dan dirinya (QS.Al- Fathir [35]:
32).[24]
Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarīmah
menurut Islam adalah pertama pencegahan
serta pembalasan (ar-rad’u wa az-zajru)
dan kedua, adalah perbaikan dan pengajaran (al-işlāh
wa al-tahżīb). Pelaksanaan pidana penjara di Islam termasuk dalam kategori
hukuman ta’zīr karena di dalam
al-Qur’ān memang tidak mengatur tentang pidana penjara. Hal ini mengacu pada
pengertian tentang hukuman ta’zīr bahwa
hukuman atas jarīmah yang hukumannya
belum di tentukan oleh syara’ disebut sebagai hukum ta’zīr. Sehingga pedoman pelaksanaan umum untuk hukuman penjara sebagai
ta’zīr, diserahkan kepada ijtihad
hakim dengan memperhatikan perbedaan kondisi jarīmah, pelaku, tempat, waktu,
dan situasi ketika jarīmah itu tejadi.[25]
5.
Delinkuensi Dalam Pandangan Islam
Delinkuensi artinya kenakalan, diartikan sebagai perilaku anak yang
nakal bahkan cenderung kepada melanggar hukum. Banyak penyebab terjadinya
perilaku delinkuen ini. Berdasarkan beberapa sumber yang penulis paparkan
ternyata pemberian hukuman fisik pada anak di sekolah bukan faktor utama
perilaku delinkuen remaja. Delinkuensi[26] dalam pandangan fiqh anak-anak perlu mendapat
perhatian khusus, berupa pembinaan, pendidikan, dan perlindungan hukum.
Anak-anak termasuk golongan orang lemah dari segala aspek. Oleh karena itu,
perlindungan yang diberikan kepadanya melebihi perlindungan terhadap orang
dewasa.[27]
Hukuman yang diberikan terhadap orang yang
melakukan kejahatan pada anak-anak dapat diperberat, mengingat kondisi
anak-anak yang lemah, sehingga seharusnya lebih dilindungi. Apapun yang
dilakukan oleh anak-anak belum dikenai beban hukum. Sehingga kalaupun anak itu
diberikan sanksi, maka sanksinya harus bersifat pendidikan, tidak melampaui
batas kemampuan anak, dan harus mempertimbangkan efeknya terhadap perkembangan
jiwa anak. Konsep dan Implementasi perlindungan anak dalam fiqh dilakukan dalam
bentuk hadanah, anak angkat, dan anak asuh (pungut), serta berbagai proses dan
pemberian hukum kepada anak yang lebih bersifat pendidikan.[28]
6. Hukum Islam Tentang Sanksi Terhadap Anak
Sanksi dalam Islam Hukum Islam disebut al-‘Uqubaah yang berkaitan dengan hukuman jika ada hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.[29] Beberapa ulama berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia. Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata عَقبَ yang sinonimnya خَلفهُ وَجَاءَبعَقبهِ artinya mengiringnya dan datang di belakangnya.[30]
Sanksi dalam Islam Hukum Islam disebut al-‘Uqubaah yang berkaitan dengan hukuman jika ada hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.[29] Beberapa ulama berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia. Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata عَقبَ yang sinonimnya خَلفهُ وَجَاءَبعَقبهِ artinya mengiringnya dan datang di belakangnya.[30]
Pada
dasarnya Hukum Islam menyatakan hukuman fisik
adalah berbahaya dan terlarang, buktinya Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Orang yang cerdas dapat dibimbing dengan
kelembutan; hanya binatang yang tak dapat diperbaiki tanpa pemukulan. Kemudian Imam Ja`far Shadiq mengatakan, “Siapapun yang mencambuk
orang lain sekali, Allah akan hujankan cambukan yang menyakitkan (berapi)
kepadanya, bahkan Rasulullah saw bersabda, “Gunakanlah
cinta dan kasih sayang dalam mendidik dan membina, dan jangan menggunakan
kekejaman. Sebab, seorang penasihat yang bijak adalah lebih baik ketimbang
seorang yang kejam.”[292]
Hukuman
fisik bisa
mendatangkan bahaya dalam mendidik anak-anak dan
harus dihindarkan. Akan tetapi, jika tidak ada cara lain untuk memperbaiki
anak, gunakan ini sebagai cara terakhir bila terpaksa. Islam juga mengizinkan
ini dalam kondisi tertentu. Rasulullah
saw bersabda, “Mintalah anak-anakmu untuk mulai melaksanakan shalat pada usia
enam tahun. Jika dia tak mendengarkan peringatanmu yang berulang-ulang, engkau
boleh memukul mereka agar terbiasa melakukan shalat ketika mereka berumur tujuh
tahun.”[294]
Ali
bin Abi
Thalib berkata, “Sebagaimana engkau menegur
anakmu sendiri, engkau dapat menegur seorang anak yatim. Dan pada saat di mana
engkau mungkin memukul anakmu, pada saat yang sama engkau dapat memukul anak
yatim. Jika budakmu tidak taat kepada
Allah, pukullah ia. Jika ia tidak menaatimu, maafkanlah ia.”[297]
Seseorang datang menghadap kepada Rasulullah saw dan berkata bahwa seorang anak
yatim berada di bawah asuhannya. Dia ingin mengetahui apakah dia dapat memukul
anak itu untuk mendidiknya. Rasulullah saw menjawab,“Dalam situasi di mana
engkau dapat memukul anakmu, engkau boleh memukul seorang anak yatim dalam
sebuah situasi yang sama, dalam kepentingan terbaiknya. Adalah lebih baik untuk tidak melakukan hukuman fisik
terhadap anak-anak sejauh mungkin. Dan jika hal itu diperlukan, lakukan dengan
pengendalian diri secara maksimum. Hukuman harus memiliki alasan yang dapat
diterima akal dan sepantasnya.[31]
Seorang laki-laki
Badwi, bertanya kepada Rasulullah SAW,
“Anggota-anggota keluarga saya tidak patuh kepada saya. Bagaimana saya harus
mengubah mereka?” Rasulullah saw menjawab, “Maafkanlah mereka!” Laki-laki
itu mengulangi pertanyaannya untuk yang kedua dan ketiga kalinya. Nabi Muhammad SAW.,
memberikan jawaban yang sama; tetapi kemudian beliau berkata, “Jika engkau
ingin menegur orang-orang dalam keluargamu, maka engkau harus mengingat-ingat
dalam benakmu bahwa hukuman tidak boleh lebih dari kesalahan mereka. Engkau
juga harus mencegah diri dari memukul mereka pada bagian wajah. Ja`far Shadiq menjelaskan, “Jika diperlukan, jangan memberikan lebih dari lima atau
enam pukulan pada anakmu atau sang pelayan, dan pukulan-pukulan ini tidak boleh
terlalu keras.[32]
Saat menegur anak-anak, sebaiknya
jangan melakukannya di hadapan yang lain. Kehadiran yang lain mungkin akan
menyebabkan munculnya mental penyiksa dalam diri anak-anak dan membahayakan
mereka. Jika pemukulan itu berlebihan, maka terdapat sebuah diyat atau denda untuk menghapus
kesalahan, yang disebutkan dalam Islam, bagi seseorang yang melakukan hukuman. Karena itu, kehati-hatian perlu dilakukan pada saat
melaksanakan pemukulan untuk memperbaiki mereka. Sesuai dengan hukum Islam,
jika muka seseorang menghitam karena menerima pukulan, dendanya adalah enam
dinar emas (koin). Jika mukanya membiru, tiga dinar, dan untuk muka yang
memerah, satu dinar setengah.[33]
Tidak dapat dibenarkan jika para orang tua bertindak seperti kasar dalam menghadapi anak-anaknya. Mereka tidak boleh
menendang, meninju, dan memukulnya, baik dengan rantai maupun tongkat. Hukum Islam memang mengizinkan untuk menegur dan memukul anak
dengan tujuan perbaikan, dan faktanya memang ada perintah terhadap tindakan semacam itu. Para
remaja di negara-negara Barat menjadi tersesat (nakal) sebagai akibat buruk
dari kebebasan yang diberikan kepada mereka.[34]
Tujuan sanksi hukuman adalah untuk pencegahan. Pencegahan maksudnya menahan ( الرّدْعُ وَالزّجْرُ ) orang yang berbuat jarimah agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama. Menurut Ibn Hammam dalam fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif).[35]
Tujuan lainnya hukuman ta’zir terhadap anak adalah untuk mendidik ( اِصْلاحُ
Tujuan sanksi hukuman adalah untuk pencegahan. Pencegahan maksudnya menahan ( الرّدْعُ وَالزّجْرُ ) orang yang berbuat jarimah agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya. Di samping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama. Menurut Ibn Hammam dalam fathul Qadir bahwa hukuman itu untuk mencegah sebelum terjadinya perbuatan (preventif) dan menjerakan setelah terjadinya perbuatan (represif).[35]
Tujuan lainnya hukuman ta’zir terhadap anak adalah untuk mendidik ( اِصْلاحُ
والتّهْذِ يْبُ ) jarimah agar pelaku menjadi orang yang
baik dan menyadari kesalahannya. Di sini terlihat bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelaku.
Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu
kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah
bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan
kebenciannya terhadap jarimah serta
dengan harapan mendapat rida dari Allah SWT.[36]
Kemaslahatan maksudnya, memberikan hukuman kepada orang yang melakukan kejahatan bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah bahwa hukuman itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya dan sebagai cerminan dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan hukuman kepada orang lain atas kesalahannya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya.[37]
Macam-macam
sanksi dalam Hukum Islam. Ada beberapa macam sanksi hudud
dan ta’zir. Khususnya untuk bagian ta’zir,
diserahkan kepada pemimpin dan tidak
dapat dicegah dengan subhat, juga
berlaku untuk yang di bawah umur, serta boleh untuk kafir zimmi. Kemudian selain hakim, boleh melakukan ta’zir:
(1)
Hudud
Hudud adalah sanksi-sanksi kemaksiyatan
yang telah ditetapkan kadarnya dalam rangka hak Allah. Dinamakan hudud karena mencegah orang yang berbuat maksiyat untuk
(tidak) kembali kepada kemaksiyatan yang telah ditetapkan hadnya. Kata had dan hudud dengan makna sanksi-sanksi kemaksiyatan yang di dalamnya
terdapat hak Allah SWT., dan tidak disebutkan pada selainnya. Dalam hudud tidak ada pemaafan, baik dari
hâkim maupun terdakwa, sebab hudud
adalah haq Allah, tak seorang manusia
pun yang memiliki hak untuk menggugurkannya pada kondisi apapun.[38]
(2) Qishash
Qishash adalah balasan setimpal atau
diyat (denda) akibat penganiayaan yang mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan
anggota tubuh. Maksud dari jinayat di
sini adalah sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan tersebut. Dalam
sanksi-sanksi ‘uqubat terdapat haq
seorang hamba. Dan selama berkaitan dengan haq hamba, maka bagi pemilik haq (shâhibul haq) boleh memberikan ampunan,
dan menggugurkan haqnya.[39]
Hâkim harus memberikan pemaafan bagi pelaku penganiayaan dengan pemaafan
yang sempurna karena adanya pemaafan dari shâhibul
haq. Tidak bisa dikatakan bahwa di dalam jinayat tersebut terdapat haq
kolektif rakyat, yaitu keamanan. Tidak bisa dikatakan demikian, karena
keberadaan haq kolektif bagi rakyat di dalam jinayat membutuhkan suatu dalil
yang menunjukkan hal itu, padahal tidak ada dalil atas yang demikian itu.
Sebab, apa yang dilakukan di masa para shahabat ra, bahwa jika pelaku
penganiayaan dimaafkan oleh shâhibul haq,
maka mereka menggugurkan sanksi bagi pelaku penganiayaan tersebut. Ini
menunjukkan bahwa pemberian maaf bagi pelaku penganiayaan dari shahibul haq mengugurkan sanksi (jinâyât) tersebut.[40]
1) Ta’zîr
Ta’zir adalah sanksi bagi kemaksiyatan yang dapat diberlakukan kepada anak
dan orang dewasa. Di dalamnya tidak ada had dan kifârat. Melakukan
perbuatan maksiyat perlu dilihat dahulu, apabila Allah SWT. telah menetapkan
sanksi tertentu bagi kemaksiyatan tersebut, maka ia termasuk ke dalam hudud.
Maka pelanggarnya akan dikenai sanksi had yang telah disyari’atkan oleh Allâh
SWT., bukan ta’zîr. Demikian pula bila di dalamnya telah ditetapkan kifârat
tertentu, maka pelanggarnya dipaksa untuk membayar kifârat-kifâratnya.[41]
Adapun jenis-jenis hukuman ta’zir
untuk orang
dewasa adalah:
(1) Hukuman mati.
(2) Hukuman jilid.
(3) Hukuman tahanan / kawalan.
(4) Hukuman pengasingan (At-Taghrib wa Al-Ib’ad).
(5) Hukuman salib.
(6) Hukuman pengucilan (Al-Hajr).
(7) Hukuman ancaman (Tahdid), teguran (Tanbih), dan peringatan.
(8) Hukuman denda (Al-Gharamah).[42]
Apabila
tidak terkategori ke dalam hudûd dan syâri’ tidak menetapkan kifâratnya, maka
hal ini masuk ke dalam sanksi ta’zîr.
Sedangkan mengenai penganiayaan terhadáp badan tidak dita’zîr, sebab sanksinya
telah dijelaskan oleh Syâri’.Ta’zîr
berbeda dengan hudûd dan jinâyât. Hudûd dan jinâyât
sanksi-sanksinya telah ditetapkan oleh syâri’
secara spesifik. Dengan demikian sanksi-sanksi ini mengikat dan tidak boleh
diganti, ditambah, dan dikurangi. Sedangkan ta’zîr
adalah sanksi yang bentuknya tidak ditetapkan secara spesifik oleh Syâri’, dan bentuk
sanksinya tidak mengikat. Ta’zîr
menerima pemaafan dan pengguguran sanksi tersebut. Rasulullah SAW. tidak
menta’zîr seseorang yang berkata kepada beliau: “Sumpah ini tidak untuk
mengharap ridlo Allah, dan baliau memaafkannya.” Padahal orang yang mengucapkan
ini telah terjatuh dalam kemaksiyatan yang layak dikenai sanksi. Hudûd dan
jinâyât tidak berbeda karena perbedaan manusia, semua manusia di dalam hudûd
dan jinâyât adalah sama berdasarkan keumuman dalil. Berbeda dengan ta’zîr, ia boleh berbeda dikarenakan
perbedaan manusia, maka di dalam ta’zîr
diperhatikan apakah pelaku belum pernah melakukan pelanggaran sebelumnya, artinya
orang baik. .
3)
Mukhâlafât
Mukhlafat adalah sanksi ‘uqûbât yang
dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa,
baik khalîfah, atau selain khalîfah seperti para mu’awin, para wali (gubernur bupati/wali
kota) dan lain-lain, dari orang-orang yang aktivitasnya adalah aktivitas
kekuasaan, di mana mereka memiliki kewenangan untuk memberi perintah-perintah.
Sanksi atas penentangan perintah disebut ‘uqûbât
mukhâlafat.[43]
Mukhâlafat
sendiri disebutkan pula untuk tindakan yang menentang perintah penguasa.
Sebagian fuqahâ’ memasukkan mukhâlafat
ke dalam bab ta’zîr, sebab mukhâlafat adalah sanksi atas
kemaksiyatan yang belum ditetapkan kadarnya oleh Syâri’.[44]
[7]M. Azil
Maskur, Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Nakal (Juvenile Delinquency) Dalam Proses Acara Pidana Indonesia. Menurut
catatan UNICEF, pada tahun 2000 ada 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku
tindak pidana, sedangkan pada bulan Januari-Mei 2002 ditemukan 4.325 tahanan
anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia dan lebih
menyedihkan lagi, sebagian besar (84,2%). Kemudian di sisi lain, kejahatan orangtua
ialah memaki
dan menghina anak. Bagaimana orang tua dikatakan
menghina anak-anaknya? Yaitu ketika seorang ayah menilai kekurangan anaknya dan
memaparkan setiap kebodohannya. Lebih jahat lagi jika itu dilakukan di hadapan
teman-teman si anak. Termasuk dalam kategori ini adalah memberi nama kepada si
anak dengan nama yang buruk.
[9] Bandingkan
dengan kasus di bawah umur menurut Tempo.Co , Pekanbaru: Boris
Yusman Telaubanua, ayah bocah terpidana mati Yusman Telaumbanua, memastikan anaknya
masih berusia 16 tahun, saat dituduh melakukan pembunuhan berencana pada 24
April 2012. Yusman merupakan anak ke dua dari lima bersaudara kelahiran 5
Agustus 1996. “Surat baptis saat kelahirannya pun masih ada,” kata Boris
Yusman, saat dihubungi Tempo, Selasa, 24 Maret 2015.Pengadilan Negeri
Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara memvonis mati Yusman Telaumbanua, bersama
Rasulah Hia, pada 21 Mei 2013 lalu. Keduanya kini mendekam di Lapas Batu,
Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.Yusman dan Rasulah divonis atas kasus
pembunuhan berencana terhadap Kolimarinus Zega, Jimmi Trio Girsang, dan Rugun Br.
Haloho, pada 24 April 2012.Namun Boris mengaku belum memegang surat baptis yang
menguatkan bukti tanggal kelahiran Yusman. Surat baptis tersebut tertinggal di
Desa Hiliongeka, Nias. Meski demikian, dia sudah meminta kepala desa setempat
untuk mencarikan keberadaan surat baptis itu. “Surat itu sudah ada, tapi belum
saya terima,” ujarnya.Saat ini Boris sudah memboyong seluruh keluarganya ke
Desa Tambusai Timur, Kecamatan Tambusai, Rokan Hulu, Riau. Ia bekerja di
perusahaan perkebunan PT Torus Ganda, Afdeling 6.
[11]Harun Zaini, Qaidah
Fiqhiyyah Suatu Pengantar,bahwa definisi Fiqih: Mengetahui hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliyah (Perbuatan-perbuatan orang mukallaf) yang diambil dari
dalili-dalilnya yang tafshili.Himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat
amaliyah (perbuatan-perbuatan orang mukallaf) yang diambil dari dalili-dalilnya
tang tafshili. Perbedaan-perbedaan yang ada antara
Qowaid Fiqihiyah dengan Qowaid Ushuliyah: 1).Obyek
Qowaid Ushuliyah adalah dalil hukum, sedang Qowaid Fiqihiyah adalah perbuatan
mukallaf. 2).Ketentuan
Qowaid Ushuliyah berlaku bagi seluruh bagiannya (juziyahnya) sedangkan Qowaid
Fiqihiyah berlaku pada sebagian besar (Aghlabiah)
juziyahnya. 3) Qowaid Ushuliyah
sebagai sarana istimbats hukum, sedangakan Qowaid Fiqihiyah sebagai usaha
menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman
fiqih.
| Volume 10 Nomor 1 Mei 2010 ), hlm 112
[16] Abdul
Hamid Hakim, as-Sullam, juz II, (Jakarta: Maktabah as-Sa’diyah Putra, 1980), hlm. 82.Kaidah
ketujuh
در المفاسد
اولى من جلب المصالح فاذاتعارض مفسدة ومصلحة قدم دفع المفسدة غالبا
Menolak
kerusakan lebih diutamakan dari pada mendapatkan kemaslahatan, dan apabila
berlawanan antara mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak
mafsadahnya”. Kaidah kedelapan إِذَاتعارَضَ
مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَاضَرَرًاباِرْتِكاَبِ أَخَفِّهماَ “Apabila dua mafsadah
bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih
yang lebih ringan madharatnya”.
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
(Bengkulu, 2011), hlm 9
[39]Abdur Rahman. Tindak Pidana Dalam Syariat Islam.(
Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992 ), hlm 27.Ada beberapa perbedaan antara hudud dan ta’zir.
1.Diserahkan kepada manusia mafawadh,2.Tidak
dapat dicegah dengan subhat.3.Berlaku untuk yang di bawah umur, 4.Boleh untuk
kafir zimmi. 5. Selain hakim, boleh melakukan ta’zir.
No comments:
Post a Comment