BAGIAN KE-11
DARI NOVEL
“EMPAT PROFESOR SATU CINTA”
Karya M.Rakib Pekanbaru Riau Indonesia 2015 HP 0823 9038
1888
Profesor Amar Makruf :Dalam
disertasimu, ada kata-kata “”Cinta itu sakral”.Apa artinya sakral, karena
kata-kata ini tidak dikenal dalam ilmu huklum. Kalau nanti disertasimu diuji,
saya akan mengatakan bahwa disertasimu belum layak uji.
Sang
penyair : Kata-kata
“Cinta itu sakral”, memang tidak ada di dalam ilmu hukum, tapi ada dalam analisis penerapan hukum
Pak.
Profesor
Amar Makruf :
Coba anda terangkan.
Sang penyair : Begini Pak, menurut Hukum Barat (Sekular)
penyaluran hasrat cinta boleh dengan
siapa saja, asalkan suka sama suka, tapi dalam Hukum Islam, penyaluran hasrat
cinta itu harus melalui sumpah dan janji yang formal dan dipertanggungjawabkan.
Jika cinta yang sudah diikat dengan perkawinan yang sifatnya sakral itu
dilanggar, maka rumah tangga tidak akan mendapat berkah, sebaliknya akan
dikutuk oleh Allah. Hanya saja cinta dan perkawinan kadang-kadang ada yang
mempermainkannya.
Terjadilah diskusi yang panjang antara
Sang profesor dan sang penyair. Ternyata memang banyak kejadian Pak, bahwa cinta
dan perkawinan terkadang menjadi sesuatu yang suka dipermainkan sebagaian orang.Tentulah
tidak patut itu semua? Saya bisa belajar dari Plato, seorang filsuf Yunani. Saya
mengutip artikel ini melalu pencarian saya di internet.
Cinta Yang Sakral Menurut Plato
Pada suatu hari, Plato bertanya pada
gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya bisa menemukannya?
Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta”Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.
Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?”
Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta”Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.
Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?”
Plato menjawab, “Aku hanya boleh
membawa satu saja, dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik).
Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu
apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut.
Saat ku melanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa
ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak
ku ambil sebatang pun pada akhirnya.”
Gurunya kemudian menjawab “Jadi ya
itulah cinta”
Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, “Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?”
Di hari yang lain, Plato bertanya lagi pada gurunya, “Apa itu perkawinan? Bagaimana saya bisa menemukannya?”
Gurunya pun menjawab, “Ada hutan yang
subur didepan saja. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu
hanya boleh menebang satu pohon saja. Dan tebanglah jika kamu menemukan pohon
yang paling tinggi, karena artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan”
Plato pun berjalan, dan tidak
seberapa lama, dia kembali dengan membawa pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon
yang segar/ subur, dan tidak juga terlalu tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.
Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?”
Plato pun menjawab, “Sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi di kesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya.”
Gurunya pun kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan.”
Gurunya bertanya, “Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?”
Plato pun menjawab, “Sebab berdasarkan pengalamanku sebelumnya, setelah menjelajah hampir setengah hutan, ternyata aku kembali dengan tangan kosong. Jadi di kesempatan ini, aku lihat pohon ini, dan kurasa tidaklah buruk-buruk amat, jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya kesini. Aku tidak mau menghilangkan kesempatan untuk mendapatkannya.”
Gurunya pun kemudian menjawab, “Dan ya itulah perkawinan.”
Bahan Renungan Sepanjang Zaman
Cinta itu 50 persen dicari, dan 50 persen lagi adalah takdir, semakin dicari, maka semakin tidak ditemukan. Cinta adanya sebagai karunia Tuhan di dalam lubuk hati, ketika dapat menahan keinginan dan harapan yang lebih.Ketika pengharapan dan keinginan yang berlebih akan cinta, maka yang didapat adalah kehampaan…tiada sesuatu pun yang didapat, dan tidak dapat dimundurkan kembali. Waktu dan masa tidak dapat diputar mundur. Terimalah cinta apa adanya. Perkawinan adalah kelanjutan dari Cinta. Adalah proses mendapatkan kesempatan, ketika kamu mencari yang terbaik diantara pilihan yang ada, maka akan mengurangi kesempatan untuk mendapatkannya, Ketika kesempurnaan ingin kau dapatkan, maka sia-sialah waktumu dalam mendapatkan perkawinan itu. Karena, sebenarnya kesempurnaan itu hampa adanya.
Inilah
cinta dan perkawinan yang berhasil dirumuskan oleh Plato lewat pengalamannya
sendiri. Pelajarilah, renungkanlah, dan praktikkanlah.
No comments:
Post a Comment