KATA PENGANTAR
Pada
tahun 1980 pertama sekali penulis menginjakkan kaki di kampus kuning Perguruan
Tinggi , IAIN Suska Riau di Pekanabru, Sukajadi Jl.Pelajar di perpustakaan penulis membaca buku
Aliran Kebatinan oleh HM.Rasjidi, yang isinya ternyata ada ungkapan pelesetan
terhadap istilah “Makah”. Madinah, zikir, shalat, dan banya lagi yang lainnya.
Sebagai orang kampung yang baru ke kota, penulis terkejut, karena tidak pernah
membaca analisis yang mirip pornografi. Kalau sekarang karena sudah puluhan
juta pornografi di internet, tentu tidak begitu terkejut lagi, Namun karena
menyangkut keyakinan dan keimanan, maka perlu menjadi perhatian.
Apa yang menjadi tujuan
Barat dalam melontarkan penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw?Apa yang menjadi tujuan
Barat dalam melontarkan penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw? Negara mana saja
yang mendapatkan keuntungan dari penghinaan ini? Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban
global. Silahkan Anda memilih jawaban detil. Untuk menjelaskan jawaban atas pertanyaan ini kiranya
kita perlu menyebutkan beberapa poin penting sebagai berikut:
1. Pengalaman sejarah terhadap pelbagai jenis penghinaan:
Penghinaan
terhadap para nabi As dan Nabi Islam Muhammad Saw bukan merupakan yang baru,
melainkan memiliki rentetan pengalaman sejarah yang panjang sebagaimana yang diungkapkan al-Qur’an dengan pelbagai penjelasan:
A. Penghinaan yang termasuk jenis pelecehan dan olok-olok: “Alangkah besarnya penyesalan
terhadap hamba-hamba itu, tidak datang seorang rasul pun kepada mereka
melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.” (Qs. Yasin [36]:30)
B. Penghinaan yang termasuk jenis tudingan dan tuduhan: “Demikianlah, tidak seorang rasul pun yang datang kepada
orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, “Ia adalah
seorang tukang sihir atau orang gila. Apakah mereka saling berpesan tentang apa
yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (Qs. Al-Dzariyat [51]:52-53)
C. Memandang perbuatan nabi
sebagai sihir, dusta, tidak berakal.
Akan
tetapi protes dan penghinaan terhadap para nabi As dan Nabi Muhammad Saw tidak
terkhusus terkait dengan hal-hal yang telah disebutkan di atas dan dalam bentuk
yang lain juga telah dijelaskan. Misalnya mengapa Tuhan tidak berkata-kata
dengan kami? Mengapa mukjizat tidak terjadi di tangan kita? Mengapa Tuhan tidak
mengutus malaikat kepada kami? Mengapa nabi sebagaimana manusia tetap mencari
mata pencarian hidup pasar? Dan sebagainya.
2. Faktor-faktor Pemikiran dan
Kejiwaan yang melatari Pelbagai Penghinaan ini:
Al-Qur’an
menyandarkan penghinaan para nabi As dan Nabi Muhammad Saw ini pada orang-orang
kafir, orang-orang ingkar, para penjahat dan orang-orang bodoh.. Dan demikianlah yang disaksikan
dewasa ini. Yaitu apabila kita menyaksikan penghinaan terhadap Nabi Muhammad
Saw pada masyarakat Barat dewasa ini, perbuatan ini dilontarkan oleh
media-media yang dikelolah oleh kaum arogan dunia dan Zionis. Dalil-dalil
adanya jenis penghinaan ini, dengan melongok sejenak pada kehidupan para nabi
As dan Nabi Muhammad Saw serta kehidupan orang-orang kafir, para tiran dan
tuan-tuannya akan menjadi jelas dengan memperhatikan beberapa
poin berikut ini:
A. Para nabi As menyeru
orang-orang untuk menyembah Allah Swt, mengenal kebenaran, mencari kebenaran
dan menyembah kebenaran, sementara para pemimpin kafir, orang-orang yang menyombongkan diri dan para tiran mengajak masyarakat kepadanya hingga pada batasan
memandang diri mereka sebagai tuhan.
B. Para nabi As senantiasa berada
pada tataran menyebarkan keadilan, namun para pemimpin kafir dan
para tiran memberikan izin kepada diri mereka sendiri untuk menguasai dan
memanfaatkan hak-hak dan harta kepunyaan masyarakat.
C. Para nabi As merupakan teladan
nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Mereka berada pada tataran untuk
menghidupkan nilai-nilai tersebut, namun para pemimpin kafir dan
para tiran berada pada tataran menyebarkan kezaliman dan kejahatan di tengah
masyarakat.
D. Para nabi As senantiasa merasa
risau, menginginkan kebaikan dan bersimpati terhadap masyarakat serta berusaha
untuk melayani masyarakat namun para pemimpin kafir dan
para tiran berada pada tataran supaya masyarakat tetap terbelakang dan melayani kepentingan pemimpin kafir dan para tiran.
PENDAHULUAN
Sebab terlarangnya buku Darmogandul
dan Gartoloco, menurut HM.Rasjidi, yang penulis analisis, karena di dalamnya
ada kata –kata yang dipelelesetkan, sehingga menjadi penhinaan, misalnya “Mekah”
diartikan “ngekah, hubungan suami istri yang membuka auratnya. Ada pelesetan
kata “Zikir”, zakar dan kata suci lainnya dipelesetkan menjadi pornografi. Dalam pandangan Rasjidi bahwa kebatinan di Indonesia khususnya
di Jawa yang dikutip dari M.M. Djajadiguna, bahwa kebatinan dapat digolongkan
menjadi 4 macam:
1. Golongan yang hendak menggunakan kekuatan ghaib untuk melayani keperluan manusia, yang mementingkan ilmu ghaib atau juga disebut Occultisme.
2. Golongan yang berusaha untuk mempersatukan jiwa manusia dengan Tuhan, selama manusia itu masih hidup, agar dengan demikkian manusia dapat merasakan dan mengetahui hidup yang baka sebelum mengalami mati, kepercayaan ini disebut juga dengan paham Mistik.
3. Golongan yang berniat mengenal Tuhan dan menembus dalam rahasia ”sangkan paraning dumadi”, yaitu dari mana hidup manusia ini dan rahasia hidup itu akhirnya pergi.
1. Golongan yang hendak menggunakan kekuatan ghaib untuk melayani keperluan manusia, yang mementingkan ilmu ghaib atau juga disebut Occultisme.
2. Golongan yang berusaha untuk mempersatukan jiwa manusia dengan Tuhan, selama manusia itu masih hidup, agar dengan demikkian manusia dapat merasakan dan mengetahui hidup yang baka sebelum mengalami mati, kepercayaan ini disebut juga dengan paham Mistik.
3. Golongan yang berniat mengenal Tuhan dan menembus dalam rahasia ”sangkan paraning dumadi”, yaitu dari mana hidup manusia ini dan rahasia hidup itu akhirnya pergi.
4. Golongan yang berhasrat untuk menempuh budi luhur di dunia ini serta berusaha menciptakan masyarakat yang berdasarkan saling harga menghargai dan cinta mencintai dengan senantiasa mengindahkan perintah Tuhan.
Rasjidi dalam pembahasan kebatinan, awal mula adalah mempelajari naskah pujangga kuno dari keraton Solo yaitu Wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito dan Serat Centini. Sedangkan Darmogandul dan Gatholoco yang dibahasnya adalah dua naskah yang tidak jelas yang merupakan cetusan subyektivitas dari segolongan pengikut aliran kebatinan yang merasa ilmunya lebih tinggi dan lebih halus dari syariat dalam arti aturan-aturan ajaran Islam.
Masuknya
Islam ke Tanah Jawa ternyata menyimpan cerita yang sungguh luar biasa. Salah
satunya terekam dalam Serat Darmo Gandhul yang kontroversial itu. Dalam serat
yang aslinya berbahasa Jawa Kuno itu dipaparkan perjalanan beberapa wali, juga
hambatan dan benturan dengan budaya dan kepercayaan lokal.
Penulis serat ini tak menunjukkan jati
diri aslinya. Ada yang menafsirkan, pengarangnya adalah Ronggo Warsito. Ia
pakai nama samaran Ki Kalam Wadi, yang berarti rahasia atau kabar yang dirahasiakan. Ditulis dalam bentuk
prosa dengan pengkisahan yang menarik. Isi Darmo Gandhul tentu saja mengagetkan kita yang selama ini mengira bahwa masuknya agama Islam di
Indonesia dilakukan dengan cara damai tanpa muncratan darah, terpenggalnya
kepala dan tetesan air mata. Kaburnya para pemeluk Hindu dan Budha ke berbagai
wilayah, misalnya ke Pulau Bali, ke kawasan pegunungan dan hutan rimba, adalah
salah satu pertanda bahwa mereka menghindari tindakan pembantaian massal oleh
sekelompok orang yang ingin mengIslamkan Pulau Jawa.
Setelah mengulas sekilas tentang Serat
Darma Gandul, kemudian akan di paparkan sekilas tentang Kitab Ghontoloco yang
menceritakan sekilas tentang perjalanan Ghontoloco dan diskusinya dengan tiga
orang santri dan orang-orang yang ditemuinya diperjalanan.
Ghontoloco adalah seorang pemahat yang tidak pernah
mandi.
Badannya amat kotor dan berbau. Ia selalu dalam perjalanan, berrtemu dengan
ahli agama dan mistik serta bertukar pikiran dengan mereka.
I.
SERAT DARMO GANDUL
A.
Ajaran-Ajaran Serat Darmo Gandul
Prof.
Rasjidi yang telah menerjemahkan naskah Darmogandul itu dari bahasa Jawa ke
bahasa Indonesia. Simaklah beberapa petikannya di bawah ini : a.
“Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas
jahat. Ini adalah sesuai dengan dzikir mereka. Mereka menyebut nama Allah,
memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, pada
hakekatnya mereka itu terasa pahit dan asin.”
b.
“Adapun orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, Nabi terakhir, ia
sesungguhnya melakukan dzikir salah, Muhammad artinya makam atau kubur.
Ra-su-lu-lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi
sore berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala
ditaruh di tanah berkali-kali.”
c. “Semua
makanan dicela, umpamanya : masakan cacing, dendeng kucing, pindang kera, opor
monyet, masakan ular sawah, sate rase (seperti luwak), masakan anak anjing,
panggang babi atau rusa, kodok dan tikus goreng.”
d.
“Makanan lintah yang belum dimasak, makanan usus anjing kebiri, kare kucing
besar, bistik gembluk (babi hutan), semua itu dikatakan haram. Lebih-lebih jika
mereka melihat anjing, mereka pura-pura dirinya terlalu bersih.”
e.
“Saya mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak
sudi memegang badannya atau memakan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh
dengan anjing di waktu malam. Baginya ini adalah halal walaupun dengan tidak
pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tidak mau makan dagingnya.”
f.
“Kalau bersetubuh dengan manusia tetapi tidak dengan pengesahan hakim,
tindakannya dinamakan makruh. Tetapi kalau partnernya seekor anjing, tentu
perkataan najis itu tidak ada lagi. Sebab kemanakah untuk mengesahkan
perkawinan dengan anjing?”
Prof.
Rasjidi juga telah membuat ringkasan ajaran aliran Darmogandul dalam beberapa
poin, di antaranya :[4]
1.
Menurut Darmogandul, yang penting dalam Islam bukan sembahyang, tetapi syahadat
“sarengat”. “Sarengat” artinya hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan.
Hubungan seksual itu penting sekali, sehingga empat kiblat juga berarti
hubungan seksual.
2.
Darmogandul menafsirkan kata-kata pada ayat kedua dalam surah Al-Baqarah
sebagai berikut : “Dzaalikal” artinya “jika tidur, kemaluan bangkit”, “kitaabu
laa” artinya “kemaluan-kemaluan laki-laki masuk secara tergesa-gesa ke dalam
kemaluan perempuan”, “raiba fiihi hudan” artinya “perempuan telanjang”, “lil
muttaqiin” artinya “kemaluan laki-laki berasa dalam kemaluan perempuan”.
Mengenai
poin terakhir di atas, saya harus meminta maaf. Saya tidak bermaksud untuk
mengotori jurnal saya dengan hal senista ini, namun bagaimana pun kisah ini
penting untuk diungkapkan. Demi kebenaran.
II. SULUK GHONTOLOCO
A.
Dialog Dengan Santri
Dikisahkan
dalam bagian pertama dalam suluk ini, sang tokoh utama yakni Gatoloco betemu
dengan para ahli agama yaitu guru Abdul Manaf dan Ahmad ‘Arif yang disertai
enam santrinya terjadilah dialog sebagai beikut:
“Santri
berkata “apakah anda makan babi? Asal mau anda telan,tidak takut akan dosa”;
Gatoloco menjawab,”memang benar tidak salah seperti yang anda katakan bahkan
sekalipun daging anjing, apabila kita lihat baik dan bukan curian (saya mau
juga)”.[5]
Dari
percakapan diatas dapat dapat diambil kesimpulan yaitu topik permasalahan
diatas ialah mengenai halal haram suatu makanan, dalam hal ini ialah makan
hewan babi.Santri menanyakan kepada Gatoloco apakah ia (Gatoloco) makan babi
,Gatoloco menjawab dengan jawaban seenaknya sendiri bahwa jawab Gatoloco babi
itu baik dimakan asal bukan dari hasil curian.
Dalam
aturan Agama Islam sudah dijelaskan bahwa hukum makan babi ialah
haram.Keharaman babi sudah dijelaskan dalam kitab Al-Quran.
“Anjing itu misalnya, aku pelihara
sejak kecil, siapakah yang mengadukan aku? Daging anjing rasanya lebih halal
ketimbang anjing kecil (anak kambing), walau daging kambing, kalau toh itu
hasil curian, bukankah itu lebih haram ketimbang daging anjing? Babi ataupun
celeng sekalipun berasal dari membeli pasti lebih suci, lebih halal
dimakan?”[6]
Mendengar
jawaban Gatoloco yang asal ngomong itu, para santri menjadi jengkel, para
santri itu menjawab omongan Gatoloco dengan nada emosi, yakni ”SINOM” sebagai
berikut:
“’Ketiga
orang santri ketika mendengar (jawabannya) lalu berbareng mencaci ”silit babi”
; Ki Gatoloco berkata pula : “apakah silit babi dibawa sang empunya? Lagi pula
tak menyentuh tubuhku”! Santri tiga pun menjawab lagi,”biyangmu silit babi”.
Gatoloco menyahut pula, ”itu aneh benar”.
Dalam
suluk Gatoloco diperlihatkan tentang ketidaksanggupan para santri berdebat
dengan Gatoloco. Para santri ini marah karena jawaban Gatoloco yang asal
ngomong , para santri itu kemudian menyerahkan permasalahan mereka (tentang
Gatoloco) kepada guru mereka.
Dalam dialok selanjutnya dengan
para santri “Gatoloco pelan menyahut, mengapa saya ini kurus? Semata-mata
menurut kehendak baginda Rasul dan Nabi yang saya ikuti, dimana saya harus
pergi ke tempat madat (Jawa,ngepakan) untuk membeli candu dan klelet (bekas-
bekas candu yang melekat dialat minum madat ), serta menghisapnya disana candu
itu dibakar dengan api, sebab Allah lah mengajarkan seperti itu.
Dialog
diatas sebenarnya menggambarkan sifat-sifat setan yang menggoda kaum beriman.
Sesungguhnya Allah telah memperingatkan manusia akan permusuhan setan dan
membberitahukan kepada kita bahwa setan adalah musuh manusia. Allah
memperingatkan kepada manusia akan perangkap-perangkap dan tipu muslihat setan.
Selanjutnya
Gatoloco berkata: “Jika aku tak menuruti perintahnya, niscaya hukumannya sangat
berat, begitu hebat sakitnya, sehingga aku tak bisa tidur, seluruh tubuhku
seperti terasa dicabut-cabut nyawaku”.
Santri
tiga pun berkata : “Engkau ini tidak sopan! Masa dikatakan Rasul di Ngepakan?
Padahal Rasul itu dihormati seluruh manusia dibumi, dan berada dikota Mekah”.
Dari
percakapan diatas jelas bahwa jawaban Gatoloco memancing para santri marah
itulah salah satu sifat setan yaitu memancing manusia marah. Dalam aturan Agama
Islam dikatakan bahwa manusia itu memiliki sifat marah tetapi sifat ini harus
dikendalikan, karena apabila tidak akan sangat berbahaya. Didalam sebuah Hadist
dikatakan bahwa Rosulullah bersabda: “Orang kuat ialah bukan orang yang pandai
bergulat, tapi orang kuat ialah orang yang mampu mengendalikan marahnya jika ia
marah”.
Berikut
ini adalah gambaran seorang santri yang kebingungan menerima pertanyaan
Gatoloco yang asal ngamong:
“Kamu
semua adalah santri bingungan”, kata Gatoloco, Anda keliru, Rasul yang ada di
Mekah kau sembah, bukankah ia sudah wafat? Ia tempatnya di tanah Arab; ia tak
ada lagi, sedang anda selalu menyembahnya tiap hari jungkir balik, apakah bisa
sampai padanya?”
Omongan
gatoloco diatas menggambarkan tentang kaum muslimin sekarang dalam ibadah
shalatnya hanya jungkir balik saja,kata Gatoloco Sholat itu harus tawajuh atau
harus sampai ke hati, tidak hanya jungkir balik saja.
“Sembahyang
demikian tak ada artinya, itu berarti sia-sia terhadap badanmu sendiri; anda
mesti menyembah Rasulmu sendiri dengan badanmu; Menyembah Rasul dengan cara
demikian tak berguna, tiwas berteriak-teriak tidak bisa diterima Allah, karena
membuat Tuhan tak bisa tidur karena mendengar suaramu itu”.
Omongan
Gatoloco diatas sebenarnya mengkritik kepada kaum muslimin yang shalatnya tidak
khusyu (konsentrasi), menurut Gatoloco shalat mereka hanya jungkir- balik saja
dan tidak ada artinya bagi Allah. Oleh karena itu sebaiknya janganlah kita
memfonis bahwa karya sastra ini buruk dan tidak boleh dibaca karena
sesungguhnya kaerya sastra ini baik karena terdapat banyak pelajaran yang dapat
kita ambil hikmahnya.
B.
Hidup Dan Wayang
Guru para santri itu antara lain bernma
Ngabdul Jalal dan Kasan Besari. Dalam Tembang Asmaradahana dinyatakan bahwa
Ngabdul Jalal bertanya kepada Gatoloco dengan pelan-pelan Dia bertanya mengenai
kitab apa pegangan Gatoloco?, Gatoloco menjawab pertanyaan tersebut dengan
menggunakan jawaban yang secara harfiah akan sulit untuk dipahami, karena
jawaban Gatoloco ialah dengan menggunakan bahasa yang harus dipahami dengan
atau dari segi hakekat.
Kemudian
guru para santri yang satunya lagi, yaitu Kasan Basri bertanya kepada Gatoloco
dengan pertanyaan: Apakah Gatoloco sembahyang (shalat)?, mendengar pertanyaan
seperti itu Gatoloco menjawabnya dengan jawaban yang lagi-lagi dengan bahasa
“jarwodosok” atau bahasa kias sehingga harus dipahami dari segi hakekat.
Gatoloco menjawabnya dengan jawaban bahwa ia (Gatoloco) sembahyangnya itu terus
menerus dan tak berubah atau tetap. Jawaban Gatoloco tersebut sebenarya
mengandung sindiran berdasarkan Al-Qur’an bahwa sembahyang itu sebenarnya tidak
boleh gothang (sebentar-sholat sebentar enggan). Ini dilarang dalam Al-qur’an,
ancamannya neraka Wel. Jawaban diplomatis tersebut sebenarnya sindiran terhadap
kaum ahli syare’at, sembahyangnya tidak sampai di hati seolah imannya hanya di
tenggorokannya.
Kemudian
selanjutnya Gatoloco berkata lagi yaitu dengan kata-kata yang penuh dengan
bahasa jarwodosok sehingga perlu dipahami dari segi hakekat. Adapun mengenai
astilah hakekat itu sendiri dikenal dalam golongan sufi atau ahli tasyawuf.
Golongan sufi ini membagi manusia dalam empat golongan yakni syare’at, hakekat,
tarekat, dan makrifat.
C.
Nur Muhammad
Nur
Muhammad menjadi bagian tanya jawab Gatoloco dengan Kasan Besari berikutnya,
mereka saling berdebat. Pendapat Gatoloco mengenai Nur Muhammad yatiu sebagai
berikut: bahwa Allah merupakan pencipta alam semesta beserta isinya yang
kemudian menciptakan makhluk-makhlukNya seperti malaikat, jin, manusia,
tumbuhan dan lain-lain. Dan menurut Gatoloco summber penciptaan Allah itu semua
adalah Nur Muhammad.
Namun
pendapat Gatoloco ini ditentang Kasan Besari, ia menyatakan bahwa pendapat
Gatoloco tidak masuk akal, Kasan Besari brekata: “Sebelum Rasulullah dan
sahabat lahir di dunia, kan sudah ada bintang, bulan, dan matahari; jadi
kalaubegitu bulan, matahari dan lain-lain itu mendahului Nabi Muhammad. Jadi
mengapa dikatakan Nur Muhammad mendahului semua itu.
Tetapi
secar global dapat disimpulkan bahwa yang disebut Nur Muhammad itu sebenarnnya
Nur atau cahaya yang dimiliki Muhammad SAW yang kini telah dijadikan manusia
rasul Allah.
Serat
Darma Gandul dan suluk Gatolotjo adalah dua ditab kuno jawa yang memceritakan
tentang keberagamaan masyarakan di zaman itu, karena masih adanya pemikiran
yang berfariasi mengenai masuknya Islam ke pulau jawa atau bagaimana cara Islam
menanamkan ajarannya pada masyarakat.
Dalam
kedua kitab tersebut menggambarkan tentang masih adanya pengaruh keberagamaan
dengan agama yang sudah mengental pada nasyarakat, sehingga sulit untuk
dilepaskan dan beradaptasi dengan agama yang baru. Bahkan di dalam serat darma
dandul kebanyakan isinya menjelek-jelekan dan menghina Islam yang pada waktu
itu sebagai agama baru menurut mereka.
Adapun
dalam suluk Gatolotjo yakni menceritakan tentang seorang tokoh pengembara yang
cerdas dan dengan kecerdasannya itu mampu mengolah pikirannya untuk berkata
sesuka hatinya namun dappat dipertanggung jawabkan olehnya bahkan para santri
dan para kiai kerepotan untuk berdialog dengan dirinya.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
http://www
.wattpad.com/191580-serat-darmogandul.htm
http://www.indonesia.faithfreedom.org/forum/viewtopic.php?t=749]
Situs utk belajar SEJARAH Islam
Rasjidi. M, Islam dan Kebatinan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1992, Cetakan ke 7.
Sukahar. Joko Su’ud, Tafsir
Gatolodjo, Surabaya: Wuwung.
Susetya. Wewen, Kontroversi Ajaran
Kebatinan dari Serat Darmaghandul, Suluk Gatolotjo, Serat Sentini, Sampai Satra
Jendra Hayuningrat, Yugyakarta: PT. Agromedia Pustaka, 2007.
S. Warsito, dkk, Seputar kebatinan,
Jakarta: Bulan Bintang.
[1] http://www.indonesia.faithfreedom.org/forum/viewtopic.php?t=749]Situs
utk belajar SEJARAH Islam
[2] Prof. Dr. H. M. Rasjidi, Islam dan Kebatinan (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992). Hal. 28.
[3] Prof. Dr. H. M. Rasjidi, Islam....7.
[4] http://www .wattpad.com/191580-serat-darmogandul.htm
[5] Wewen Susetya, Kontroversi Ajaran Kebatinan dari Serat Darmaghandul,
Suluk Gatolotjo, Serat Sentini, Sampai Satra Jendra Hayuningrat, (Yugyakarta:
PT. Agromedia Pustaka, 2007). Hal. 81.
[6] Wewen Susetya, Kontroversi....Hal. 81.
BAB III
BUKU-BUKU YANG SUDAH DILARANG
A.Larangan lima buah buku
Kejaksaan
Agung (Kejagung) melarang peredaran 5 buah buku. Buku-buku tersebut dianggap
mengganggu ketertiban umum, bertentangan dengan UU 1945 dan Pancasila.
“Jamintel
melakukan penelitian terhadap buku-buku yang telah dilakukan clearing house
tertanggal 3 Desember 2009 sejumlah 5 buku,” kata mantan Jamintel Iskamto.
Hal itu disampaikan dia dalam jumpa pers Laporan Kinerja Kejagung Tahun 2009 di
Kejagung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Rabu (23/12/2009).
Kelima buku itu adalah: Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta
Soeharto karangan John Rosa, Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan
Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan
Cocratez Sofyan Yoman, Lekra
Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya
duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karangan Syahrudin Ahmad.
Kapuspenkum Kejagung Didiek Darmanto mengatakan, clearing house adalah memeriksa substansi buku. Kejagung tidak turut
memeriksa pengarang buku-buku tersebut.
“Hanya memeriksa substansi bukunya,
tidak pada orangnya,” ujar Didiek pada kesempatan yang sama. (sumber)
Dalih Pembunuhan Massal:
GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SOEHARTO (Dilarang Beredar)
Penulisnya
menyatakan “Saya harus menekankan bahwa buku ini hanya tentang G-30-S. Ini
bukan buku tentang kekerasan massal yang muncul setelah gerakan itu terjadi
walaupun di bagian pengantar saya sampaikan beberapa argumen dasar tentang
kekerasan tersebut dan kaitannya dengan G-30-S. Saya beranggapan bahwa lebih
banyak penelitian harus dilakukan tentang kekerasan massal pasca G-30-S sebelum
sebuah analisis ilmiah yang baik bisa ditulis. Menimbang skalanya, kekerasan
pasca G-30-S merupakan topik yang lebih penting daripada G-30-S itu sendiri.
Buku ini diharapkan bermanfaat bagi penelitian lebih lanjut tentang kekerasan
massal pasca G-30-S dengan menyajikan konteks baru untuk memahami tragedi
tersebut. Jika G-30-S lebih jelas mungkin akan lebih mudah untuk memusatkan
perhatian pada topik-topik lain yang berkaitan. Lebih banyak pula studi-studi
yang perlu digarap tentang kudeta Suharto, misalnya, bagaimana ia mengambilalih
media massa, keuangan negara, dan birokrasi sipil.” (John Roosa, cuplikan dari kata pengantar
edisi bahasa indonesia)
Buku ini terpilih sebagai salah satu
dari tiga buku terbaik di bidang ilmu-ilmu sosial dalam International
Convention of Asian Scholars, Kuala Lumpur, 2007.
Tulisan JOHN ROOSA adalah Assistant Professor di
Departemen Sejarah, University of Columbia, Vancouver, Kanada. Ia salah satu
penyunting buku kumpulan esai sejarah lisan Tahun Yang Tak Pernah Berakhir
Pendapat Para Pakar
Ditulis dengan sangat baik dan
mengasyikkan, inilah upaya ilmiah pertama dalam kurun waktu lebih dari dua
dasawarsa untuk mengkaji secara serius bukti-bukti yang berkenaan dengan
teka-teki paling penting dalam sejarah Indonesia, kudeta 30 September 1965. (Robert Cribb, Australian National
University)
Tiga pencapaian mengagumkan yang
diraih John Roosa adalah menyoroti bukti baru empat puluh tahun setelah
peristiwa, memutar balikkan kesimpulan-kesimpulan yang sudah diterima umum, dan
melakukan ini semua dalam gaya mencekam ala kisah detektif (Gerry van Klinken, Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde )
Buku John Roosa yang menggugah dan
berdasar pada penelitian menyeluruh menyajikan bukti padu untuk mendukung
interpretasi-interpretasi yang sebelumnya didasarkan hanya pada spekulasi. Buku
ini merupakan sumbangan yang penting bagi kepustakaan tentang kudeta di
Indonesia. (Harold Crouch, Review of Politics)
Ini merupakan bahan bacaan penting
bagi pelajar sejarah modern Indonesia, dan bagi siapapun yang tertarik pada
kekerasan politik, peran militer dalam politik, dan kebijakan luar negeri
Amerika Serikat.(Geoffrey Robinson, University of California at Los Angeles )
Buku ini merupakan catatan paling
detil dan dengan penelitian terbaik tentang kejadian-kejadian 1965 yang pernah
ditulis. Siapa pun yang berniat memahami kejadian-kejadian yang masih menebar
mendung di atas bumi Indonesia dan sedikit dipahami olehsebagian besar
masyarakat Indonesia akan memperoleh manfaat sangat besar dengan membaca buku
kelas satu ini.(Carmel Budiardjo, Tapol Bulletin )
Sumbangan yang luar biasa berharga
ini merupakan masukan akademik pertama yang
signifikan tentang masalah yang dibicarakan dalam jangka waktu tertentu, dan
cukup memukau dibaca.(Vedi Hadiz, Pacific Affairs )
Catatan John Roosa tentang Gerakan 30
September merupakan karya detektif yang mengesankan
ia sudah barang tentu menyumbangkan penelitian yang
terbaik sampai saat ini tentang siapa yang mengorganisasikan gerakan ini,
mengapa gerakan tersebut gagal, dan bagaimana gerakan ini beranjak ke
pembunuhan massal, yang diikuti dengan berpuluh-puluh tahun represi. Buku ini
layak dibaca kalangan seluas-luasnya. (Olle Törnquist, International Review of
Social History)
Kenapa Dilarang Beredar ???
Roosa
mengulas secara menarik apa yang sebenarnya terjadi pada subuh 1 Oktober, 44
tahun lampau. Sebuah gerakan yang dikenal dengan nama “G30S”. Apa yang bercokol
di kepalaku selama bertahun-tahun tentang peristiwa itu seolah mendapat “amin”
dari bukti dan analisa yang disodorkan Roosa.
Partai
Komunis Indonesia (PKI) memang “terlibat” dalam Gerakan 30 September. Tapi
terlalu sederhana jika menyimpulkannya sebagai “dalang”. Jalinan belikat
peristiwa itu akan membuatnya tampak terlalu sederhana jika diserahkan hanya
pada satu dalang.
Buku
putih milik Angkatan Darat, tegas menyebut PKI sebagai dalang G30S. Benedict
Anderson dan Ruth McVey dari Cornell University lewat analisanya yang
dikeluarkan Januari 1966 -popular dengan nama Cornell Paper- menyebut bahwa G30S
adalah konflik internal Angkatan Darat, sebuah kudeta yang dilakukan
perwira-perwira bawahan karena tak puas dengan gaya borjuis perwira atasan.
Sementara
Indonesianis dan pengamat militer asal Australia, Harold Crouch, menilai bahwa
G30S adalah gabungan gerakan yang dilakukan perwira bawahan yang tak puas dan
juga PKI. Sedangkan Indonesianis dan sosiolog asal Belanda, W.F. Wertheim
menyodorkan analisa bahwa Suharto dan para jenderal Angkatan Darat nonkomunis
lah yang berada di balik gerakan ini dengan menggunakan Sjam Kamurazzaman
sebagai agen ganda, guna menciptakan dalih untuk menyerang PKI dan
menggulingkan Sukarno.
Roosa,
melalui buku ini, berhasil menelusuri dan menutup “lubang” yang ada dari setiap
analisa tersebut dan membentuk argumentasi baru. Tak sepenuhnya baru memang,
tapi setidaknya paling mendekati argument yang paling masuk akal dari peristiwa
itu.
Ia
mengandalkan dokumen Supardjo, seorang Brigadir Jenderal Angkatan Darat yang
ada dalam lingkaran gerakan tersebut yang diseret ke Mahmilub pada tahun 1967.
Selain juga mengandalkan pengakuan dari seorang kader tinggi PKI yang masih
hidup hingga sekarang, dan sejumlah dokumen yang dikeluarkan Departemen Luar
Negeri Amerika Serikat terkait peristiwa tersebut.
PKI,
dalam analisa Roosa, terlibat sejauh pemikiran bahwa G30S memang diperlukan
untuk menyelamatkan Sukarno. Mereka tahu bahwa sejumlah perwira Angkatan Darat
telah menjalin hubungan mesra dengan AS. Mereka memprediksi dan mempercayai
bahwa Angakatan Darat punya ambisi untuk menyingkirkan PKI, sebuah partai ke-4
terbesar dalam Pemilu 1955 yang memiliki kader dan massa di setiap pabrik dan
perkebunan.
Sayangnya,
PKI sebagai sebuah partai politik dengan disiplin dan organisasi baik, salah
membaca situasi. Politibiro sebagai pengambil putusan penting dalam partai tak
tahu soal rincian gerakan yang bakal digelar. Mereka pasrah sepenuhnya pada
sang ketua sentral komite: Aidit yang sialnya lagi memiliki orang kepercayaan
sejenis Sjam Kamaruzamman.
Lewat
Biro Khusus, yang diyakini keberadaannya oleh Roosa, Aidit dan Sjam menjalin
koneksi dengan para perwira progresif di Angkatan Darat. Para perwira Sukarnois
yang mulai gerah dengan perwira-perwira “kapitalis-birokrat” di tubuh Angkatan
Darat.
PKI,
sebagai sebuah partai, hanya bisa menunggu dampak dari G30S. Mereka berharap
para perwira “kanan” ini segera sadar kalau mereka telah dibuat keblinger oleh
AS dan kembali pada loyalitasnya terhadap Sukarno.
Sayang,
rencana tak berjalan mulus. Sikap “sok tahu” Sjam dalam membaca situasi
lapangan membuat gerakan amburadul. Tim penculik yang amatir gagal membuat para
jenderal “kanan” tetap dalam kondisi hidup saat hendak diserahkan ke Sukarno.
Dan
situasi berubah cepat. Suharto mengambil alih kepemimpinan dan dalih pun
tercipta untuk membumihanguskan PKI.
Sebuah
dalih yang sama sekali tak sepadan dengan jutaan nyawa yang dijagal dan jutaan
lainnya yang kehilangan kebebasannya selama belasan tahun di kamp-kamp tahanan
tanpa pernah diadili.
Bab 6 dan 7 dari buku ini menjadi “inti” dari uraian
Roosa. Bahwa Suharto dan perwira AD antikomunis sebenarnya sama sekali tak
bereaksi spontan setelah kegagalan G30S. Mereka telah menunggu dalih itu sejak
lama. Sebuah dalih agar mereka punya alasan untuk menghantam PKI, sebuah partai
yang membuat aliran modal asing selalu terhambat masuk ke tanah air. Dan pada 1
Oktober 1965, dalih itu muncul di depan mata saat “Biro Khusus” yang tak
professional itu bikin sebuah gerakan yang amburadul. Sebuah gerakan yang tak
pernah melibatkan partai sebuah organisasi solid dengan massa yang luas. Sebuah
petualangan yang ceroboh dan setengah hati.
Dan inilah yang dikatakan Marshal
Green, Dubes AS di Indonesia pada masa itu, tentang peristiwa tersebut: “Kami tidak menciptakan
ombak-ombak itu. Kami hanya menunggangi ombak-ombak itu ke pantai.” Dan
ia benar sebenar-benarnya…, itulah wajah Indonesia saat ini, sebuah negeri yang
selalu berada di bawah dikte sang penunggang ombak. (sumber)
G-30-S dan Pembunuhan Massal 1965-66
Berikut ini kajian atau tinjauan buku
yang ditulis oleh sejarawan Hilmar Farid sejarawan dari Institut Sejarah Sosial
Indonesia (ISSI) dan aktivis gerakan sosial (sumber)
MENULIS
sejarah bukan perkara mudah. Impian agar sejarawan bisa menghadirkan masa lalu
sebagaimana sesungguhnya terjadi semakin jelas tidak mungkin terwujud.
Seandainya ada mesin waktu yang bisa melontarkan kita ke masa lalu pun, kita
tetap akan melihatnya dari sudut pandang dan kerangka pemikiran tertentu.
Setelah menyerap apa yang kita dengar, lihat dan rasakan, kita masih berurusan
dengan bahasa sebagai alat kita menyampaikan gagasan yang terbatas dan tidak
cukup untuk menghadirkan semua dimensi masa lalu secara penuh. Sejarah dengan
kata lain adalah representasi dari masa lalu dan bukan masa lalu itu sendiri.
Sejarah selalu diceritakan dan disusun kembali melalui bahasa berdasarkan
informasi yang bisa diperoleh mengenai masa lalu, dan karena itu akan selalu
kurang, tidak lengkap dan memerlukan perbaikan. Karena alasan itulah sejarawan
umumnya mengatakan bahwa sejarah itu terbuka bagi interpretasi yang berbeda,
dan selalu bisa ditulis ulang.
Tapi
ini tidak berarti bahwa kita bebas menafsirkan dan menulis sejarah. Ada prinsip
dasar yang membatasi kebebasan tafsir sejarah: pijakan pada fakta atau
kenyataan yang diketahui berdasarkan sumber informasi yang tersedia dan dapat
diuji. Tidak semua keterangan mengenai masa lalu dapat dipercaya, dan sejarawan
dibekali dengan metode dan prosedur ilmiah untuk memeriksa tingkat keterandalan
bahan-bahan yang dihadapinya.
Kekacauan
dalam debat mengenai Gerakan 30 September atau G-30-S bersumber dari
pencampuradukan fakta, fiksi dan fantasi antara apa yang sesungguhnya terjadi
dengan apa yang diceritakan atau dibayangkan/ diharapkan orang telah terjadi.
Di pusat kekacauan ini adalah penguasa Orde Baru yang menjadikan tafsirnya yang
penuh dengan fiksi dan fantasi sebagai sejarah resmi yang tidak boleh dibantah.
Orde Baru bersikeras mempertahankan tafsirnya mengenai peristiwa G-30-S karena
semua tindakannya untuk menghabisi PKI – mulai dari menangkapi dan menghukum
sebagian pemimpin dan membunuh ratusan ribu orang – bersandar pada sejarah
resmi itu. Penulisan sejarah di sini terkait dengan legitimasi politik dan
tanggung jawab hukum. Selanjutnya Orde Baru menggunakan tangan besi untuk
menjadikan tafsirnya terhadap peristiwa G-30-S sebagai kebenaran umum.
“Sejarah” yang dibuat oleh Orde Baru pun menjadi lebih penting dari masa lalu
itu sendiri.
Sejarah
resmi ini, seperti nasib sejarah resmi di mana pun, mendapat kritik dari banyak
pihak yang kemudian menyusun versi alternatif. Walau memikat, ada masalah besar
dengan versi alternatif ini. Para penulis versi alternatif ini biasanya lebih
tertarik pada persoalan politik sejarah dan ingin mengimbangi atau menentang
sejarah resmi, dan bukan pada masa lalu itu sendiri. Secara sadar maupun tidak
mereka menerima medan pertempuran yang dibuka oleh sejarah resmi. Di jantung
medan pertempuran ini adalah pertanyaan yang selalu kita dengar: siapa dalang
G-30-S? Keterpakuan dan keterpukauan pada dalang inilah yang membuat seluruh
pembicaraan G-30-S seperti berjalan di tempat.
Di
sinilah John Roosa membuat sumbangan penting melalui Dalih Pembunuhan Massal
karena keluar dari perangkap teori dalang ini. Ia tidak sibuk membantah atau
membela versi tertentu, atau mencari-cari dalang, tapi melakukan hal yang
sangat elementer dan fundamental sekaligus: membuat rekonstruksi G-30-S sebagai
sebuah gerakan melalui keterangan mereka yang terlibat di dalamnya.
Dalang Tanpa Lakon
Terlepas
dari kesimpulan akhir yang berbeda-beda, semua teori tentang dalang G-30-S
berasumsi bahwa gerakan itu adalah persekongkolan politik yang direncanakan
dengan baik, memiliki rencana yang jelas, dan berada di bawah garis komando.
Sebagian mengatakan bahwa dalang itu adalah Soeharto dan komplotan Angkatan
Darat yang dipimpinnya, sementara Orde Baru bersikukuh bahwa PKI adalah
dalangnya dengan restu dari Presiden Soekarno. Sebagian lain mengatakan
pemerintah Amerika Serikat, melalui dinas rahasianya CIA, adalah dalang yang
dengan lihai memainkan anak wayangnya di Indonesia. Tidak semua teori mengenai
G-30-S dilengkapi bukti-bukti dan karena itu pantas untuk diperhatikan secara
serius. Sebagian malah lebih banyak memberi informasi tentang kesadaran dan psikologi
politik penyusunnya daripada tentang gerakan itu sendiri.
Dalih
Pembunuhan Massal berbeda dengan berbagai teori ini dalam hal yang sangat
mendasar, yakni perangkat pertanyaannya. Jika yang lain meyakini bahwa G-30-S
adalah sebuah persekongkolan jahat yang dirancang dan dimainkan dengan sangat
lihai oleh “sang dalang”, maka Dalih Pembunuhan Massal justru menyoroti bahwa
G-30-S sebenarnya sama sekali tidak tepat disebut sebagai gerakan. Dengan
penelitian yang cermat terhadap rangkaian bahan yang belum pernah digunakan,
dan penafsiran ulang terhadap bahan yang sudah pernah digunakan, ia mereka
ulang perjalanan “gerakan” yang berusia singkat itu.
Ia
menunjukkan bagaimana para pemimpin gerakan sebenarnya tidak pernah punya
kesamaan pandangan dan sikap, apalagi rencana lain seandainya “rencana utama”
(yang juga tidak jelas) gagal. Ia merekam bagaimana sebagian pemimpin
bersikeras menekankan bahwa “kita tidak bisa mundur lagi” dan menutup diskusi
dan perdebatan dengan otoritas. Dan setelah mereka yakin bahwa gerakan itu
gagal pun tidak ada rencana penyelamatan yang jelas: semua pihak harus
menyelamatkan diri masing-masing. Dengan kata lain, G-30-S sama sekali tidak
punya script yang bisa dijadikan pegangan. Analisis Brigjen Supardjo yang
menjadi salah dokumen andalan dalam buku ini – karena merupakan satu-satunya
keterangan tangan pertama yang dapat diandalkan – dengan jelas menggambarkan
kekacauan rencana dan pelaksanaan gerakan itu dari perspektif militer dan
politik.
Adalah
penguasa Orde Baru yang kemudian membuat script setelah panggungnya ditutup.
Dalam studinya mengenai historiografi militer, Katharine McGregor (2007),
menceritakan dengan rinci proses penulisan script oleh tim yang dibentuk
Angkatan Darat di bawah pimpinan Nugroho Notosusanto. Buku pertama diterbitkan
dalam 40 hari, yang menunjukkan betapa pentingnya perang tafsir untuk memaknai
G-30-S ini bagi penguasa Orde Baru. Isinya jelas: PKI adalah dalang dari
gerakan itu yang sebenarnya bertujuan menggulingkan pemerintahan yang sah.1
Buku kedua terbit tidak lama kemudian pada akhir 1965, ketika script pertama
sudah digunakan oleh penguasa untuk melancarkan pemusnahan massal terhadap
anggota, pendukung dan simpatisan PKI serta keluarga mereka.
Dalih
Pembunuhan Massal tidak berpretensi dapat menjawab semua masalah. Malahan ada
pertanyaan terpenting yang menjadi kunci untuk memahami G-30-S belum terjawab:
siapa yang sebenarnya menyuruh pasukan-pasukan penculik membunuh para jenderal?
Jika memang tujuan dari gerakan itu adalah menghadapkan para jenderal
pemberontak kepada Soekarno, mengapa mereka dibunuh? Roosa mengakui
keterbatasannya dan mengatakan, “siapa tepatnya yang membunuh para perwira itu
masih belum diketahui.” (hlm. 60). Lembar-lembar misteri G-30-S dengan begitu
belum sepenuhnya terungkap, dan hanya penelitian yang mendalam terhadap
bukti-bukti – dan bukan dugaan atau khayalan yang berdasar pada keyakinan
tentang adanya dalang – yang dapat membantu menyingkap misteri ini.
Dua Peristiwa Berbeda tapi Terkait
Judul
buku ini, Dalih Pembunuhan Massal, memperlihatkan hubungan antara peristiwa
G-30-S dengan pembunuhan massal terhadap anggota, simpatisan dan pendukung PKI
dan organisasi gerakan kiri. Penguasa ORBA selama ini menjelaskan pembunuhan
massal sebagai “ekses” karena masyarakat marah melihat pengkhianatan PKI.
Seolah-olah reaksi terhadap PKI adalah sesuatu yang wajar/alamiah karena
perilaku PKI sendiri. Dalih Pembunuhan Massal dengan cermat memisahkan antara
apa yang kita ketahui telah terjadi berdasarkan bukti-bukti yang ada dengan
segala teori, tafsir dan juga fantasi mengenai peristiwa itu. Pembunuhan massal
dengan begitu bukan sebuah konsekuensi logis dari apa yang sesungguhnya
terjadi, tapi reaksi langsung terhadap script yang disusun oleh penguasa Orde
Baru.
Ben
Anderson (1987) menulis artikel di jurnal Indonesia yang diterbitkan
Universitas Cornell dengan judul “Bagaimana Para Jenderal itu Tewas?”
berdasarkan visum et repertum yang dibuat oleh tim dokter yang ditunjuk oleh
Soeharto. Visum itu bertolak belakang dengan berita-berita yang dimuat dalam
harian Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha – yang dikelola oleh Angkatan
Darat – bahwa para jenderal yang diculik pada dini hari 1 Oktober 1965
mengalami penyiksaan keji seperti pencungkilan mata dan pemotongan alat
kelamin. Visum itu jelas memperlihatkan bahwa tidak ada mata yang dicungkil dan
semua kemaluan utuh pada tempatnya. Pertanyaannya, mengapa Angkatan Darat tidak
mengumumkan kebenaran itu melalui media yang dikontrolnya, dan justru
membiarkan cerita-cerita yang tidak benar memenuhi halaman-halamannya?
Kita
juga tahu dari kesaksian dan keterangan mereka yang terlibat dalam pembasmian
PKI bahwa “kemarahan” massa yang seolah tidak bisa dikontrol sebenarnya adalah
reaksi terhadap berita-berita yang tidak benar dan diketahui tidak benar oleh
mereka yang menerbitkannya. Sampai sekarang belum diketahui peran dari tim
Angkatan Darat yang menyusun script tentang G-30-S dalam fantasi tentang
kekejaman di Lubang Buaya ini. Hal ini juga merupakan misteri yang masih harus
diselidiki karena akibatnya yang luar biasa. Di mana-mana pejabat militer
berpidato tentang “kekejaman” G-30-S yang tidak pernah terjadi dan menuntut
balas dengan membunuh sebanyak mungkin orang komunis.
Tapi
penyulut reaksi massal yang paling penting adalah pernyataan bahwa jika PKI
menang dan G-30-S berhasil maka banyak orang non-komunis, apalagi anti-komunis,
akan diperlakukan sama seperti cerita Angkatan Darat mengenai kekejaman di
Lubang Buaya (yang tidak pernah terjadi). Di banyak tempat beredar daftar orang
yang akan akan dihabisi oleh PKI seandainya G-30-S berhasil: pemimpin agama,
tokoh politik, pemuda dan mahasiswa. Dalam banyak wawancara, termasuk dengan
mereka yang terlibat dalam aksi kekerasan terhadap orang kiri, terungkap bahwa
daftar itu diumumkan oleh pemimpin militer yang “menemukannya” di kantor PKI
atau organisasi massa kiri. Bersamaan dengan itu kadang “ditemukan” juga
senjata api, uang dalam jumlah luar biasa, timbunan makanan, dan yang paling
menghebohkan alat pencungkil mata, yang di banyak daerah penghasil karet lebih
dikenal sebagai alat penyadap getah karet.
Aksi
kekerasan dan pembunuhan massal karena ini bukanlah reaksi alamiah terhadap
“kekejaman” G-30-S, tetapi terhadap representasi atau script yang ditulis oleh
Orde Baru mengenai peristiwa itu. Cerita-cerita bohong tentang kekejaman di
Lubang Buaya itulah yang membuat orang kemudian mengambil tindakan. Tapi tentu
itu tidak cukup. Di banyak tempat kita tahu bahwa pembunuhan massal disulut
langsung oleh pasukan militer, dan di beberapa tempat tidak akan terjadi
seandainya tidak dipimpin oleh militer.
Dengan
kesimpulan ini saya tidak hendak menggambarkan PKI sebagai domba dan militer,
AS dan siapa pun yang terlibat dalam kampanye fitnah dan pembunuhan massal
sebagai serigala. Saya juga tidak ingin mengatakan bahwa pembunuhan terhadap
para perwira di Lubang Buaya dapat dibenarkan. PKI memang berniat menguasai
negara, seperti juga partai politik yang lain. Di daerah-daerah banyak kadernya
yang aktif dan menurut cerita yang saya dengar, juga sangar dan kadang
mengintimidasi orang yang tidak sepaham. Demonstrasi PKI dan ormas kiri
biasanya sangat ramai dan juga menakutkan bagi mereka yang menjadi sasarannya.
Aksi-aksi sepihak untuk menegakkan UUPA 1960 yang dilancarkan BTI (dan
sebenarnya organisasi petani lain juga) memang kadang disertai bentrokan, mirip
dengan apa yang kita saksikan setiap hari di televisi sekarang ini. Tapi semua
itu tidak dapat menjelaskan mengapa pembunuhan massal terhadap orang PKI
terjadi setelah Oktober 1965.
Jika
pembunuhan massal tidak dapat dilihat sebagai reaksi alamiah terhadap G-30-S,
tapi sebagai tindakan yang disulut oleh script karangan Angkatan Darat, maka
kita juga tidak dapat melihat pembunuhan itu sebagai konflik antara PKI dan
kekuatan politik lainnya. Tidak ada pertempuran antara dua pihak seperti
layaknya sebuah konflik. Di beberapa tempat orang dengan sukarela pergi ke
tempat-tempat penahanan untuk “mengklarifikasi” posisi mereka terhadap G-30-S,
tapi tetap ditahan. Pembunuhan massal sepenuhnya merupakan orkestrasi dari
penguasa militer yang juga melibatkan elemen sipil di dalamnya. Masalahnya,
dalam script karangan penguasa Orde Baru, keterlibatan elemen sipil ini menjadi
“bukti” bahwa kemarahan terhadap PKI adalah sesuatu yang genuine tumbuh dari
bawah, dan bahwa peran tentara dalam semua urusan ini justru menyelamatkan
negara dari kehancuran. Teringat pepatah, “sekali mendayung dua tiga pulau
terlampaui.”
Dalih
Pembunuhan Massal menegaskan hal yang sangat penting, bahwa G-30-S
disalahtafsirkan secara sengaja, dipelintir dan dihadirkan kembali secara salah
pula agar menjadi dalih untuk melancarkan operasi pembasmian yang menjadi salah
satu kengerian terbesar dalam sejarah modern dunia. Walau masih ada beberapa
lubang dan misteri yang belum terungkap, karya John Roosa ini sudah memberikan
tilik-dalam yang baik tentang G-30-S sebagai sebuah gerakan. Tentu tidak dapat
dikatakan sebagai karya final. Tapi jika masih ada “teori dalang” lain yang
muncul berdasarkan dugaan dan desas-desus, maka itu hanya mungkin dilakukan
dengan resiko mempermalukan diri sendiri dan menunjukkan ketidaktahuan tentang
apa yang sudah diketahui luas. Setiap penulisan sejarah yang serius akan
mempertimbangkan dengan serius apa-apa yang sudah diketahui dan ditulis
sebelumnya. Tulisan tentang masa lalu yang disusun berdasarkan fantasi atau
khayalan dan desas-desus karena itu tidak layak mendapat perhatian serius.
LAKON ORBA TENYATA BERLANJUT ………….
BUKU APA LAGI YANG BAKAL DILARANG ……….?
DONLOT BUKU DALIH PEMBUNUHAN MASSAL
1. pernah diungkapkan
oleh bpk.roeslan abdoelgani tentang seputar
peristiwa G 30 S PKI tahun 1965 merupakan sebuah MISTERI.
2. pki dengan underbownya memang selalu membuat malapetaka di ne
geri ini sejak zaman kolonial belanda ( merupakan akumulasi peristi-
wa yang berakhir dengan antiklimaks ).
3. pada suatu kesempatan temu – wicara hm.soeharto mempersilahkan
ajaran komunisme untuk dipelajari ( bukan pki nya yang dipelari ).
4. demi anak – cucu kita agar sehat jasmani rokhani memerlukan seja -
rah bangsanya ( menilik pro kontra kejadian ), sejarah terbenar.
5. menghimbau dan menganjurkan kepada pemerhati sejarah negeri ini
semuanya lewat aa kopral untuk memboikot semua keputusan kejak-
saan agung yang berhubungan dengan butir ke 3. ( ke tiga ).
6. kalau bisa agar supaya segera dilaksanakan dan ditindak – lanjuti.
7. terimakasih kepada aa kopral cepot dengan serba sejarahnya se -
cara obyektif , akurat dengan perspektif kacamata pro dan kontra.
8. wassalamualaikum wr wb ( doktertoeloes malang ).
peristiwa G 30 S PKI tahun 1965 merupakan sebuah MISTERI.
2. pki dengan underbownya memang selalu membuat malapetaka di ne
geri ini sejak zaman kolonial belanda ( merupakan akumulasi peristi-
wa yang berakhir dengan antiklimaks ).
3. pada suatu kesempatan temu – wicara hm.soeharto mempersilahkan
ajaran komunisme untuk dipelajari ( bukan pki nya yang dipelari ).
4. demi anak – cucu kita agar sehat jasmani rokhani memerlukan seja -
rah bangsanya ( menilik pro kontra kejadian ), sejarah terbenar.
5. menghimbau dan menganjurkan kepada pemerhati sejarah negeri ini
semuanya lewat aa kopral untuk memboikot semua keputusan kejak-
saan agung yang berhubungan dengan butir ke 3. ( ke tiga ).
6. kalau bisa agar supaya segera dilaksanakan dan ditindak – lanjuti.
7. terimakasih kepada aa kopral cepot dengan serba sejarahnya se -
cara obyektif , akurat dengan perspektif kacamata pro dan kontra.
8. wassalamualaikum wr wb ( doktertoeloes malang ).
بسم الله الرحمن الرحيم
This entry was posted on Desember 24, 2009 byKopral
Cepot in Sejarah Indonesia Baru, Sejarah Pemberontakan, Wawasan
Ideologi and tagged Buku Yang Dilarang Beredar,Dalih Pembunuhan Massal,donlot buku dalih pembunuhan massal,download buku dalih pembunuhan massal gratis, G30S, John Rosa,Kudeta Soeharto, PKI.
Shortlink
Aku bukan masa lalu, tapi masa lalu
membawaku ke masa depan ~kopralogic~
Attention ! Serbasejarah dengan admin Kopral Cepot hanya menulis di blog ini, tidak buka lapak di blogspot, multiply atau lainnya... Hatur tangkyu ;)
Attention ! Serbasejarah dengan admin Kopral Cepot hanya menulis di blog ini, tidak buka lapak di blogspot, multiply atau lainnya... Hatur tangkyu ;)
Masukkan alamat email
Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang tulisan baru
melalui surat elektronik.
Bergabunglah dengan
1.466 pengikut lainnya.
No comments:
Post a Comment