Monday, August 10, 2015

Alasan pembenar dan pemaaf dalam KUHP dan hukum Islam,”



ALASAN PEMAAF BAGI ANAK

 
Catatan M.RAKIB  SH,.M.Ag    Widyaiswara LPMP Pekaanbaru Riau Indonesia 2015


         Terwujudnya suatu tindak pidana tidak selalu menimbulkan dijatuhkannyam suatu sanksi pidana terhadap pelakunya. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakannya melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar dan pemaaf. Seseorang yang melakukan tindak pidana tidak boleh langsung dihukum atas perbuatannya, tetapi harus diselidiki apakah perbuatannya tersebut termasuk dalam kategori perbuatan yang dibenarkan atau dimaafkan atau tidak. Pertanggungjawaban pidana dapat hapus apabila seseorang yang melakukan tindak pidana mempunyai alasan pembenar dan pemaaf. KUHP Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda dan masih dipakai sampai saat ini. 

         M. NURFAIK –menyatakan “Alasan pembenar dan pemaaf dalam KUHP dan hukum Islam,” dan kemudian meneliti aturan dalam KUHP perspektif hukum Islam. Dalam rangka pembaharuan KUHP di Indonesia.  Konsep hukum Islam yang dapat memberikan kontribusi khususnya yang berkaitan dengan alasan pembenar dan pemaaf. Ada teori pertanggungjawaban pidana, sebab pembahasan tentang alasan pemaaf dan pembenar yang merupakan alasan penghapus pidana menyangkut pembahasan tentang pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana ialah pembebanan seseorang akibat perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu.
          Skripsi M.Nurfaik nampaknya memaparkan tentang alasan pembenar dan pemaaf dalam KUHP di Indonesia dan hukum Islam. Pendekatan yang digunakan dalam menyelesaikannya dengan pendekatan normatif-yuridis. Alasan pembenar dan pemaaf dalam KUHP di Indonesia pada dasarnya sudah sesuai dengan hukum Islam, di samping masih terdapat perbedaan di antara kedua hukum tersebut, dan juga hukum Islam lebih komprehensif dalam mengatur alasan pembenar dan pemaaf.
           Dasar penghapus pidana tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) dalam syariat Islam harus dipertanggungjawabkan kepada pembuat, sedangkan dalam hukum positif di Indonesia tidak dikenakan hukuman. Dalam hukum Islam, anak di bawah umur terbebas dari pertanggung jawaban pidana, tetapi dalam hukum positif hanya mendapatkan keringanan pidana. Dalam pembaharuan KUHP di Indonesia, Asas Structural Responsibility yang di anut dalam hukum Islam dapat diakomodasi.
           Konsep ini menurut syariat Islam mengandung pesan agar semua pihak merasa bertanggungjawab dan oleh karenanya harus berhati-hati agar tidak mudah terjadi tindak pidana yang merugikan pihak/kepentingan lain. Selain itu konsep tersebut juga menyiratkan suatu komitmen kuat dari Islam dalam menawarkan hukum-hukumnya yang victim oriented. Karena melalui konsep structural responsibility tersebut korban menjadi sangat diperhatikan hak-haknya oleh hukum. div
KPAI: Belum Semua UU dan Perda Dukung Perlindungan
              Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan, belum semua penyelenggara negara memiliki perspektif perlindungan anak sehingga masih banyak peraturan yang tidak mendukung perlindungan anak.

            "Tidak semua peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah yang mendukung perlindungan anak. Contohnya soal pemenuhan hak anak untuk memiliki akta lahir," kata Susanto melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (23/7/2015).


              Susanto mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, mengamanatkan akta lahir merupakan hak anak yang diberikan secara gratis. Namun, masih banyak peraturan daerah yang justru memungut biaya pembuatan akta lahir.

Selain belum semua penyelenggara negara memiliki perspektif perlindungan anak, Susanto menilai, juga belum ada kesamaan pemahaman terhadap perlindungan anak.


"Akibatnya, masih sering terjadi sengketa yang mengatasnamakan perlindungan anak," ujar Susanto.
   

 Selain belum semua penyelenggara negara memiliki perspektif perlindungan anak, Susanto menilai, juga belum ada kesamaan pemahaman terhadap perlindungan anak."Akibatnya, masih sering terjadi sengketa yang mengatasnamakan perlindungan anak," ujar Susanto.

Contoh lain terjadi di lembaga pendidikan. Susanto mengatakan, menurut Undang-Undang Perlindungan Anak,
1.      Lembaga Pendidikan harus steril dari kekerasan. Namun, masih ada kejadian kekerasan terhadap anak yang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan.
2.      "Perlindungan anak belum terintegrasi dalam peraturan terkait penyelenggaraan pendidikan," ucap dia.

Susanto mengatakan, kekerasan yang dialami anak tidak hanya di luar rumah. Sebab, kekerasan dalam pengasuhan anak juga masih terjadi.
3.      Kekerasan dalam pengasuhan anak biasanya dilatarbelakangi minimnya perspektif perlindungan anak, konflik keluarga, masalah ekonomi, pengaruh lingkungan sosial dan komunitas serta budaya.

"Selain itu, kesadaran dan komitmen masyarakat terhadap perlindungan anak masih rendah dan lemah. Hal itu sangat memengaruhi kualitas penyelenggaraan perlindungan anak," tandas Susanto. (Ant/Mvi/Ein)

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook