ALASAN PEMAAF BAGI ANAK
Catatan
M.RAKIB SH,.M.Ag Widyaiswara LPMP Pekaanbaru Riau Indonesia
2015
Terwujudnya suatu
tindak pidana tidak selalu menimbulkan dijatuhkannyam suatu sanksi pidana
terhadap pelakunya. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang,
seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut apabila
tindakannya melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar dan pemaaf. Seseorang
yang melakukan tindak pidana tidak boleh langsung dihukum atas perbuatannya,
tetapi harus diselidiki apakah perbuatannya tersebut termasuk dalam kategori
perbuatan yang dibenarkan atau dimaafkan atau tidak. Pertanggungjawaban pidana
dapat hapus apabila seseorang yang melakukan tindak pidana mempunyai alasan
pembenar dan pemaaf. KUHP Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda dan
masih dipakai sampai saat ini.
M.
NURFAIK –menyatakan “Alasan pembenar dan pemaaf dalam KUHP dan hukum
Islam,” dan kemudian meneliti aturan dalam KUHP perspektif hukum Islam. Dalam
rangka pembaharuan KUHP di Indonesia. Konsep
hukum Islam yang dapat memberikan kontribusi khususnya yang berkaitan dengan
alasan pembenar dan pemaaf. Ada teori pertanggungjawaban pidana, sebab
pembahasan tentang alasan pemaaf dan pembenar yang merupakan alasan penghapus pidana
menyangkut pembahasan tentang pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban
pidana ialah pembebanan seseorang akibat perbuatan yang dikerjakannya dengan
kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat-akibat dari
perbuatannya itu.
Skripsi M.Nurfaik nampaknya memaparkan tentang alasan pembenar dan
pemaaf dalam KUHP di Indonesia dan hukum Islam. Pendekatan yang digunakan dalam
menyelesaikannya dengan pendekatan normatif-yuridis. Alasan pembenar dan pemaaf
dalam KUHP di Indonesia pada dasarnya sudah sesuai dengan hukum Islam, di
samping masih terdapat perbedaan di antara kedua hukum tersebut, dan juga hukum
Islam lebih
komprehensif dalam mengatur alasan pembenar dan pemaaf.
Dasar penghapus pidana tentang
pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces)
dalam syariat Islam harus dipertanggungjawabkan kepada pembuat, sedangkan dalam
hukum positif di Indonesia tidak dikenakan hukuman. Dalam hukum Islam, anak di
bawah umur terbebas dari pertanggung jawaban pidana, tetapi dalam hukum positif
hanya mendapatkan keringanan pidana. Dalam pembaharuan KUHP di Indonesia, Asas
Structural Responsibility yang di anut dalam hukum Islam dapat diakomodasi.
Konsep ini menurut syariat Islam
mengandung pesan agar semua pihak merasa bertanggungjawab dan oleh karenanya
harus berhati-hati agar tidak mudah terjadi tindak pidana yang merugikan pihak/kepentingan
lain. Selain itu konsep tersebut juga menyiratkan suatu komitmen kuat dari
Islam dalam menawarkan hukum-hukumnya yang victim oriented. Karena melalui
konsep structural responsibility tersebut korban menjadi sangat diperhatikan
hak-haknya oleh hukum. div
KPAI: Belum Semua UU dan Perda
Dukung Perlindungan
Komisioner
Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan,
belum semua penyelenggara negara memiliki perspektif perlindungan anak
sehingga masih banyak peraturan yang tidak mendukung perlindungan anak.
"Tidak semua peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah yang mendukung perlindungan anak. Contohnya soal pemenuhan hak anak untuk memiliki akta lahir," kata Susanto melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (23/7/2015).
"Tidak semua peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah yang mendukung perlindungan anak. Contohnya soal pemenuhan hak anak untuk memiliki akta lahir," kata Susanto melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (23/7/2015).
Susanto mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, mengamanatkan akta lahir merupakan hak anak yang diberikan secara gratis. Namun, masih banyak peraturan daerah yang justru memungut biaya pembuatan akta lahir.
Selain belum semua penyelenggara negara memiliki perspektif perlindungan anak, Susanto menilai, juga belum ada kesamaan pemahaman terhadap perlindungan anak.
"Akibatnya, masih sering terjadi sengketa yang mengatasnamakan perlindungan anak," ujar Susanto.
Selain belum semua penyelenggara negara
memiliki perspektif perlindungan anak, Susanto menilai, juga belum ada kesamaan
pemahaman terhadap perlindungan anak."Akibatnya, masih sering terjadi
sengketa yang mengatasnamakan perlindungan anak," ujar Susanto.
Contoh lain terjadi di lembaga pendidikan. Susanto mengatakan, menurut Undang-Undang Perlindungan Anak,
Contoh lain terjadi di lembaga pendidikan. Susanto mengatakan, menurut Undang-Undang Perlindungan Anak,
1. Lembaga
Pendidikan harus steril dari kekerasan. Namun,
masih ada kejadian kekerasan
terhadap anak yang terjadi di lingkungan lembaga pendidikan.
2. "Perlindungan anak belum
terintegrasi dalam
peraturan terkait penyelenggaraan pendidikan," ucap dia.
Susanto mengatakan, kekerasan yang dialami anak tidak hanya di luar rumah. Sebab, kekerasan dalam pengasuhan anak juga masih terjadi.
Susanto mengatakan, kekerasan yang dialami anak tidak hanya di luar rumah. Sebab, kekerasan dalam pengasuhan anak juga masih terjadi.
3. Kekerasan dalam pengasuhan anak
biasanya dilatarbelakangi minimnya perspektif perlindungan anak, konflik keluarga, masalah ekonomi, pengaruh
lingkungan sosial dan komunitas serta budaya.
"Selain itu, kesadaran dan komitmen masyarakat terhadap perlindungan anak masih rendah dan lemah. Hal itu sangat memengaruhi kualitas penyelenggaraan perlindungan anak," tandas Susanto. (Ant/Mvi/Ein)
"Selain itu, kesadaran dan komitmen masyarakat terhadap perlindungan anak masih rendah dan lemah. Hal itu sangat memengaruhi kualitas penyelenggaraan perlindungan anak," tandas Susanto. (Ant/Mvi/Ein)
No comments:
Post a Comment