ANTARA PIAGAM JAKARTA
DAN PIAGAM MADINAH
Catatan M.Rakib, Pekanbaru Riau Indonesia,
masih belajar ttg Teori Kritik Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif
Kebijaksanaan presiden harus berorienatasi kepada keslahaatan rakyat (Manutun lil maslahah)
Teori kritis adalah sebuah aliran pemikiran terhadap kepala pemerintahan yang
menekankan penilaian penerapan kebijaksanaan yang reflektif dan kritik dari masyarakat dan budaya dengan
menerapkan pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sebagai
istilah, teori kritis memiliki dua makna dengan asal-usul dan sejarah yang berbeda:
pertama berasal dari sosiologi dan yang kedua
berasal dari kritik sastra, dimana digunakan dan diterapkan sebagai istilah umum yang dapat
menggambarkan teori yang didasarkan atas kritik; dengan demikian, teori Max Horkheimer menggambarkan teori kritis adalah, sejauh berusaha "untuk membebaskan
manusia dari keadaan yang memperbudak mereka."
Dalam filsafat, istilah teori kritis menggambarkan
filosofi neo-Marxis dari Frankfurt School, yang dikembangkan di Jerman pada 1930-an. Teori
Frankfurt menarik tentang metode kritis Karl Marx dan Sigmund Freud. Teori Kritis menyatakan bahwa ideologi adalah kendala
utama untuk pembebasan manusia. Teori Kritis
didirikan sebagai sebuah sekolah pemikiran terutama oleh lima tokoh teori
Mazhab Frankfurt: Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin, dan Erich Fromm. Teori kritis modern telah bertambah dipengaruhi oleh György Lukacs dan Antonio Gramsci, serta generasi kedua sarjana Mazhab Frankfurt, terutama Jürgen Habermas. Dalam karya Habermas, teori kritis melampaui akar
teoritis dalam idealisme Jerman, dan
berkembang lebih dekat dengan pragmatisme Amerika. Kepedulian terhadap "dasar dan suprastruktur"
sosial adalah salah satu yang tersisa dari konsep filsafat Marxis di banyak
teori kritis kontemporer.
Sementara teori kritis telah sering kali
didefinisikan sebagai intelektual Marxis,kecenderungan
mereka untuk mengecam beberapa konsep Marxis dan untuk menggabungkan analisis
Marxian dengan tradisi sosiologis dan filosofis lainnya telah menimbulkan
tuduhan revisionisme oleh para Klasik, Ortodoks, dan Analisis Marxis, dan oleh
filsuf Marxis Leninis. Martin Jay telah menyatakan bahwa generasi
pertama teori kritis paling baik dipahami dengan tidak mempromosikan agenda
filosofis tertentu
Taqnin al-Ahkam
merupakan
aturan Islam yang berlaku untuk seluruh agama, berdasarkan tekat dan niat baik
bersama, demi keamanan dan kemajuan bersama.
MENURUT ABDULLAH
NASIH ULWAN DALAM BUKU PENDIDIKAN ...... yang berjudul Hukuman Dalam
Pendidikan Islam Menurut Abdullah Nasih .... 2. Jujur. 3. Toleransi. 4. Disiplin.
5. Kerja keras. 6. Kreatif. 7. Mandiri. 8.
Menurut Abdullah
Nasih Ulwan ada lima pokok pikiran tentang metode ... hukuman menurut
beliau diberikan hanya untuk menimbulkan efek jera dan menghantikan .... citra
yang baik sebagai orang yang disiplin, seimbang, dan bijaksana.
Taqnin al-ahkam dirunut jauh ke masa Rasulullah SAW. Artinya, taqnin bukanlah
sesuatu yang betul-betul baru sebagaimana dituduhkan oleh para ulama Wahabi
Arab Saudi. Sebagaimana diketahui oleh sejarah, Nabi Muhammad pernah menetapkan
Piagam Madinah yang mengatur kehidupan masyarakat, baik antara sesama muslim
maupun dengan non muslim.
Piagam Madinah
tersebut merupakan salah satu bentuk taqnin yang pernah dilakukan oleh
pemerintahan Rasulullah SAW saat itu. Namun meski ada upaya taqnin tersebut,
Rasulullah juga masih membuka peluang perbedaan pendapat di kalangan para
sahabatnya. Sikap akomodatif Rasulullah terhadap perbedaan pendapat bisa banyak
ditemukan dalam sejarah hukum Islam.
Dalam
perjalanan sejarah hukum Islam selanjutnya, upaya menyatukan masyarakat dalam
satu pandangan atas suatu putusan hukum juga dipelopori oleh Abdullah bin
al-Muqaffa. Ironisnya, Ibnu al-Muqaffa kemudian dihukum mati oleh penguasa saat
itu dengan tuduhan sebagai seorang zindiq. Saat itu, ia menyarankan kepada Abu
Ja’far al-Manshur untuk menetapkan taqnin dalam sebuah surat yang ia
namakan Risalah ash-Shahabah. Ia mengusulkan kepada sang khalifah untuk
mengumpulkan hukum-hukum fikih dan mewajibkan para hakim menggunakannya dalam
memutuskan perkara.
Usul Ibnu
al-Muqaffa kemudian betul-betul ditindaklanjuti oleh al-Manshur. Saat itu, sang
khalifah bertemu dengan Imam Malik, salah seorang tokoh ulama besar saat itu.
Sang ulama diminta oleh al-Manshur diminta untuk menyusun kompilasi hukum
Islam. Namun, Imam Malik menolak permintaan itu dan berkata, “Masyarakat sudah
terbiasa dengan berbagai macam pendapat. Mereka mendengar banyak hadis dan
meriwayatkan banyak riwayat. Mereka mengambil pendapat yang diarahkan kepada
mereka dan mengamalkannya meskipun mereka juga terbiasa dengan perbedaan
pendapat di tengah para sahabat Rasulullah SAW. Melarang mereka untuk meyakini
apa yang mereka yakini adalah sesuatu yang berbahaya. Biarkan saja masyarakat
apa adanya. Biarkan setiap anggota masyarakat memilih pandangan yang sesuai
dengan kondisi mereka.”
Di dua abad
terakhir ini, di kalangan dunia Islam, memang sudah ada upaya untuk melakukan taqnin
al-ahkam. Salah satunya adalah al-Fatawa al-Hindiyah yang disusun
oleh para ulama India. Dalam karya itu, disusun oleh undang-undang yang
berkaitan tentang ibadah, sanksi (uqubah), dan mu’amalah. Selain al-Fatawa
al-Hindiyah, ada juga al-Ahkam al-Adliyyah yang mengandung sejumlah
hukum tentang jual beli, dakwaan, dan vonis.
Kompilasi ini disahkan pada tahun 1869 oleh
Kekhalifahan Utsmani dan memuat 1.851 masalah yang umumnya berdasarkan pada
mazhab Hanafi. Kompilasi ini diberlakukan di kebanyakan negara-negara Arab
hingga pada pertengahan abad 10. Hanya saja kompilasi ini kemudian tidak lagi
mencukupi segala persoalan-persoalan baru yang timbul di masyarakat. Pada
perkembangan berikutnya, kompilasi ini kemudian diperbaharui dan dimasukkan
pengaruh-pengaruh dari undang-undang sipil.
Di Arab Saudi saat
diperintah oleh Raja Abdul Aziz, Ahmad bin Abdullah al-Qari, ketua Mahkamah
Tinggi Syari’ah di Mekkah, juga menyusun suatu kompilasi hukum Islam
berdasarkan mazhab Ahmad bin Hanbal. Al-Qari meringkas pandangan-pandangan
hukum Imam Ahmad yang bersumber dari berbagai karya utamanya. Kompilasi ini
mengandung 2.382 masalah dan diterbitkan dengan judul Majallah al-Ahkam
al-Adliyyah. Sayang, para ulama saat itu ramai-ramai menolak kompilasi
tersebut.
Pemikiran Taqnin di Kalangan Ulama
Klasik
Meskipun
istilah taqnin di kalangan ulama klasik tidak dikenal, namun hal
tersebut bisa ditarik kepada permasalahan tentang hukum mewajibkan para hakim
untuk memegang satu pendapat tertentu yang mereka gunakan untuk memutuskan
suatu perkara dan tidak boleh melanggar pendapat tersebut meskipun secara
pribadi mereka memiliki ijtihad sendiri. Tentang hal ini, para ulama klasik
terbagi menjadi dua kelompok, pertama melarang dan kedua membolehkan.
Menurut kelompok
pertama, tidak boleh mempersyaratkan seorang hakim untuk berpegangan pada
satu mazhab tertentu dalam memutuskan suatu perkara. Pandangan ini merupakan
pandangan mayoritas ulama, baik dari kalangan Maliki, Syafi’i, dan Hambali,
seperti Abu Yusuf, Muhammad bin al-Hasan yang notabene keduanya adalah murid
Abu Hanifah. Abu Qudamah juga berpendapat bahwa hal pandangan itu sudah tidak
diperselisihkan lagi. Ibnu Taimiyyah juga berpendapat demikian dan menyepakati
pandangan tersebut.
No comments:
Post a Comment