Tuesday, August 25, 2015

DOCTRINAL MENGANDUNG ARTI AJARAN (AGAMA)





KARENA KATA DOCTRINAL JUGA DAPAT MENGANDUNG ARTI LAIN YAITU AJARAN (AGAMA)

1.      Menemukan Azaz Atau Doktrin

        Menemukan Azaz Atau Doktrin Hukum yang berlaku, sedangkan hukum non-doktrinal adalah hukum dalam arti prilaku masyarakat tentang
hukum.Secara sustantive pendapat Soetandyo ini mungkin tidak bermasalah ketika diterapkan kepada hukum pada umumnya, termasuk hukum positif dan hukum Islam di Indonesia, tetapi dari segi penggunaan atau pemilihan istilah terasa dapat mengandung kerancuan ketika diterapkan kepada kajian hukum Islam sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab fikih misalnya.

                Penemuan hukum termasuk kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum pajak. Ia adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum. Dalam menjalankan profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat keputusan-keputusan hukum, berdasarkan hasil analisanya terhadap fakta-fakta yang diajukan sebagai masalah hukum dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum positif. Sementara itu, sumber hukum utama yang menjadi acuan dalam proses analisis fakta tersebut adalah peraturan perundangan-undangan.

              Dalam hal ini yang menjadi masalah, adalah situasi dimana peraturan Undang-undang tersebut belum jelas, belum lengkap atau tidak dapat membantu seorang ahli hukum dalam penyelesaian suatu perkara atau masalah hukum. Dalam situasi seperti ini, seorang ahli hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan perkara tersebut. Artinya, seorang ahli hukum harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Seorang ahli hukum harus mampu berperan dalam menetapkan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan hukum, walaupun peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya.

        Memberikan arti kata doctrinal sebagai aturan tertulis itu tentulah bersifat arbitrary, karena kata doctrinal juga dapat mengandung arti lain yaitu ajaran (agama), sehingga ketika kita mencoba meletakkan label doctrinal terhadap kitab fikih sebagai kumpulan aturan tertulis hukum Islam mengundang kerancuan. Alasannya ialah bahwa kitab fikih itu memang bersifat doctrinal ketika isinya adalah bersandar Soetandyo Wognjosoebroto, HUKUM: PARADIGMA, METODE DAN DINAMIKA MASALAHNYA, Penerbit Elsam dan Huma, Jakarta, 2002, pp. 147-163. Menurut Syamsudin atributasi pendapat ini kepada Soetandyo pertama kali terlihat pada makalah beliau pada tahun 1994 berjudul “Masalah Metodologik Dalam Penelitian Hukum Sehubungan Dengan Masalah Keragaman Konseptualnya,”yang disajikan pada Forum Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Hukum, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 1994. Lihat M. Syamsuddin, OPERASIONALISASI PENELITIAN HUKUM, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, p. 36. Adapun buku-buku tentang metode penelitian hukum yang mengikuti cara klasifikasi ini misalnya Bambang Sunggono, METODOLOGI PENELITIAN HUKUM, Penerbit PT Raja Grafindo Indonesia, 1997.

          Mungkin istilah penelitian hukum doctrinal juga bukan asli dari Soetandyo, karena sebagian peneliti Barat juga telah memakainya seperti Hutchinson, sebagaimana dikutip Peter Mahmud Marzuki, yang menggunakan kata doctrinal reseach ketika menjelaskan salah satu kategori penelitian hukum. Ungkapannya itu: “Doctrinal research: Research which provides a systematic exposition of the rules governing a particular legal category ...” Lihat Peter Mahmud Marzuki, PENELITIAN HUKUM, Penerbit Prenada Media, edisi pertama, Jakarta, 2005, p. 32. kepada ayat-ayat hukum dari Al-Quran atau hadis-hadis hukum, tetapi tentu tidak boleh dilupakan bahwa sebagian bahkan sebagian besar isi kitab fikih juga hasil ijtihad ulama yang tidak dapat dikategorikan sebagai doctrinal ajaran agama. Dengan demikian kategorisasi obyek kajian hukum sebagai doctrinal dan non-doktrinal yang diperkenalkan Soetandyo dapat menimbulkan kerancuan ketika diterapkan kepada salah satu bentuk literature hukum Islam yang disebut fikih yang memang mengandung unsur-unsur doctrinal dan non-doktrinal keagamaan sekaligus, sehingga sebaiknya kategorisasi ini tidak digunakan.

            Adapun Soerjono Soekanto berpendapat bahwa penelitian hukum itu dari segi  tujuannya terdiri atas dua macam yaitu penelitian hukum normative dan penelitian  hukum sosiologis atau empiric. Menurut Soeryono, termasuk ke dalam penelitian  hukum normative adalah penelitian azaz-azaz hukum, kajian hukum positif seperti UUD dan UU, sistimatika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Adapun yang termasuk ke dalam hukum sosiologis atau empiric menurut Soerjono ialah penelitian identifikasi hukum tidak tertulis dan penelitian efektivitas hukum. Pendapat ini mungkin lebih dapat diterapkan dalam kajian hukum Islam,  karena hukum Islam memang terdiri atas aturan yang bersifat normative dan prilaku masyarakat di seputar hukum yang bersifat sosiologis atau empiric. Meskipun demikian, terdapat beberapa catatan terhadap pendapat ini ketika kita terapkan kedalam penelitian hukum Islam. Salah satu catatan atau bahkan keberatan terhadap pendapat Soerjono ialah bahwa ia memasukkan penelitian hukum azaz atau penelitian azaz-azaz hukum kedalam kategori penelitian hukum normative. Sesungguhnya penelitian hukum azaz atau azaz-azaz hukum adalah penelitian filsafat hukum dan setiap filsafat tentu selalu bersifat spekulatif dan tidak bersifat normative.

        Mungkin lebih tepat jika penelitian filsafat hukum dikeluarkan dari kategori penelitian hukum normative dan diletakkan dalam kategori tersendiri yaitu kategori penelitian filsafat hukum. Dengan demikian maka penelitian hukum itu terdiri atas tiga macam, yaitu penelitian pada tataran filsafat hukum, penelitian hukum normative, dan penelitian hukum sosiologis atau empiric. Catatan lain terhadap pendapat Soerjono ialah bahwa kajian sejarah hukum dimasukkannya ke dalam lingkup kajian hukum normative. Tentu saja sejarah sebagai ilmu, termasuk sejarah hukum, selalu bersifat deskriptif dan unik, sehingga tidak pernah bersifat normative. Dengan demikian lebih tepat jika kajian sejarah hukum dimasukkan ke dalam wilayah kajian hukum empiric. Catatan lain lagi untuk pendapt Soerjono ialah bahwa untuk jenis penelitian ketiga itu disebutnya dengan istilah penelitian hukum Soerjono Soekanto, PENGANTAR PENELITIAN HUKUM, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press),
cetakan ketiga, Jakarta, 1986, p. 51. Beberapa buku metode penelitian yang uraiannya menggunakan istilah yang dipromosikan

           Soerjono ini antara lain Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, DUALISME PENELITIAN HUKUM: NORMATIF & EMPIRIS, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010. Juga Faisar Aananda Arfa, METODOLOGI PENELITIAN HUKUM ISLAM, Penerbit Citapustaka Media Perintis, Bandung, 2010. sosiologis atau empiric. Sesungguhnya tentu lebih tepat kalau disebut penelitian hukum empiric saja, karena bentuknya bukan hanya sosiologi hukum, tetapi juga antropologi hukum, arkeologi hukum, sejarah hukum, sejarah lembaga-lembaga hukum, kajian tokoh hukum, politik hukum, psikologi hukum, filologi hukum, ekonomi hukum, dan sebagainya. Dengan beberapa modifikasi terhadap pendapat Soerjono tersebut maka ketika kita terapkan kepada studi hukum Islam akan terlihatlah klasifikasi obyek studi hukum Islam sebagai berikut:

           Studi filsafat hukum Islam atau studi pada tataran filsafat hukum. Termasuk ke dalam kategori ini adalah semua topik atau pertanyaan yang tercakup dalam kajian ushul fikih, baik ushul fikih sebagai filsafat hukum maupun ushul fikih sebagai teori hukum. Dalam bahasa Inggeris memang ushul fikih diterjemahkan sebagai “philosophy of Islamic law” atau “Islamic legal theories”. Kajian terhadap konsep-konsep dalam ushul fikih seperti apa itu keadilan (al-‘adalah), apa itu tujuan Syariat Islam (maqasid al-syari’ah), apa itu maslahah al-mursalah, dan apa itu sadd al-dzari’ah (precautionary procedures) termasuk ke dalam studi hukum Islam sebagai filsafat hukum (philosophy of Islamic law), sedangkan kajian terhadap konsep-konsep seperti metode istinbat hukum, penerapan istinbat hukum terhadap sesuatu masalah, kajian tentang qai’dah fikhiyyah, dan kajian qai’dah ushuliyyah termasuk ke dalam studi hukum Islam sebagai teori hukum (Islamic legal theories). Studi hukum Islam normative.

       Termasuk ke dalam kategori ini ialah semua kajian tentang literature hukum Islam yang meliputi ayat-ayat ahkam, hadis-hadis ahkam, kitab-kitab fikih, keputusan-keputusan pengadilan agama, fatwa-fatwa mufti/ulama (individual dan kolektif), Undang-Undang Dasar atau biasa disebut “dustur” negara-negara Muslim (anggota Organisasi Kerjasama Islam, OKI), undang-undang yang berlaku di Negara-negara Muslim seperti UU Perkawinan di Indonesia dan UU Perkawinan di Pakistan, perjanjian-perjanjian internasional yang melibatkan
Negara-negara Muslim baik perjanjian antara dua Negara Muslim maupun antara suatu Negara Muslim dan Negara non-Muslim.

         Deklarasi-Deklarasi Internasional yang melibatkan Negara-negara Muslim seperti Deklarasi Universal HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (1948) dan The Cairo Declaration of Islamic Human Rights (1990),perikatan-perikatan antar berbagai pihak yang melibatkan individu atau organisasi Muslim, surat-surat wasiat, surat-surat ikrar waqaf, kajian perbandingan mazhab (muqaranat al-mazahib), kajian perbandingan hukum yang berlaku di Negara-negara Muslim (muqranat al-qawanin), dan kajian sinkronisasi hukum antara berbagai literature hukum Islam seperti antara UU dan kitab-kitab fikih atau antara UU dan nash (kajian perbandingan vertical).

         Perlu ditambahkan bahwa termasuk ke dalam kajian hukum Islam normative adalah kajian tentang hukum adat di masyarakat-masyarakat . Muslim, karena hukum adat itu meskipun tidak tertulis tetapi bersifat mengatur (normative) bahkan terkadang dilengkapi dengaan ancaman sanksi social atau sanksi material yang jelas. Studi hukum Islam empiric. Termasuk ke dalam studi hukum Islam kategori ini ialah studi sosiologi hukum Islam yang mengkaji mengenai pola-pola prilaku dan interaksi masyarakat di seputar hukum Islam baik sebagai sebab maupun sebagai respon terhadap hukum Islam atau dampak hukum Islam.

         Studi Antropologi Hukum Islam yang mengkaji manusia atau masyarakat Muslim dengan segala konsep dan system simboliknya serta peralatan yang digunakan termasuk produk budaya material dan non-materialnya di bidang hukum, kajian arkeologi hukum yang mengkaji artifak arkeologis yang pernah digunakan sebagai sarana pelaksanaan hukum Islam; studi filologi hukum Islam yang mengkaji manuscript-manuskrip karya ulama atau fuqoha masa silam mengenai hukum Islam yang tidak diterbitkan; studi politik hukum Islam yang mengkaji tarik-menarik kekuasaan antar berbagai kelompok dalam masyarakat dalam proses pengundangan atau pelaksanaan suatu ketentuan hukum Islam, baik yang bersifat mendorong maupun menghalangi pengundangan dan pemberlakuan itu; studi psikologi
hukum Islam yang mengkaji pola-pola gejala psikologis dari para individu atau
Masyarakat Muslim dalam proses pengundangan dan pemberlakuan hukum seperti kesiapan atau ketidaksiapan mental masyarakat untuk pemberlakuan hukum qisas atau hudud dalam suatu masyarakat Muslim di suatu negeri;

         Studi Ekonomi Hukum Islam yang mengkaji bagaimana pengundangan dan pemberlakuan suatu ketentuan dalam hukum Islam mempunyai aspek ekonomis bagi masyarakatnya, selain kajian tentang hukum ekonomi Syari’ah positif (field work); studi sejarah hukum Islam yang sering disebut “tarikh al-tasyri” baik untuk masa klasik, pertengahan, atau modern Islam (termasuk sejarah pemberlakuan hukum Islam di sesuatu Negara Muslim zaman modern dan dominasi taqlid atau dinamika ijtihadnya); studi sejarah lembaga-lembaga hukum Islam yang mengkaji kelahiran dan peran lembaga-lembaga hukum Islam seperti Pengadilan Surambi atau Pengadilan Agama, lembaga Wilayatul Hisbah, lembaga Qadi dan qadi al-qudat, dan lembaga-lembaga fatwa baik nasional seperti Darl al-Ifta di Mesir dan Majlis Ulama Indonesia (MUI) di Indonesia maupun internasional seperti Majma’al-buhuts li al-fiqhi al-Islami yang disponsori OKI; dan studi tokoh hukum Islam yang mengkaji latar belakang social, politik, dan cultural para fuqoha di suatu negeri serta pengaruhnya terhadap dinamika atau kejumudan pemikiran-pemikiran hukum yang dihasilkannya. Dengan memperhatikan kepada ketiga kategori penelitian hukum Islam hasil modifikasi terhadap pendapat Soerjono tersebut di atas nampaklah bahwa wilayah kajian hukum Islam itu ternyata luas sekali.

         Itulah sebabnya perlu ditegaskan bahwa mengartikan studi hukum Islam hanya sebagai kajian istinbat hukum adalah sangat tidak memadai, bahkan mempersempit makna studi hukum Islam itu sendiri. Dahulu memang dikesankan demikian, seolah-olah studi hukum Islam adalah studi istinbat hukum. Jikapun diperluas sedikit, studi hukum Islam adalah studi tentang fikih dan ushul fikih. Hal itu juga direfleksikan dalam kurikulum pesantren dan madrasah, bahkan perguruan tinggi agama Islam. Sekarang, ketika disadari bahwa studi hukum Islam juga dapat meminjam metodologi studi hukum pada umumnya, maka wilayah cakupan studi hukum itupun meluas.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook