KARENA KATA DOCTRINAL JUGA DAPAT MENGANDUNG ARTI LAIN YAITU
AJARAN (AGAMA)
1. Menemukan
Azaz Atau Doktrin
Menemukan Azaz
Atau Doktrin Hukum yang berlaku, sedangkan hukum
non-doktrinal adalah hukum dalam arti prilaku masyarakat tentang
hukum.Secara sustantive pendapat
Soetandyo ini mungkin tidak bermasalah ketika diterapkan kepada hukum pada
umumnya, termasuk hukum positif dan hukum Islam di Indonesia, tetapi dari segi
penggunaan atau pemilihan istilah terasa dapat mengandung kerancuan ketika
diterapkan kepada kajian hukum Islam sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab
fikih misalnya.
Penemuan hukum termasuk
kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang hukum, seperti
hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum pajak. Ia adalah
aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum. Dalam menjalankan profesinya,
seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat keputusan-keputusan hukum,
berdasarkan hasil analisanya terhadap fakta-fakta yang diajukan sebagai masalah
hukum dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum positif. Sementara itu, sumber
hukum utama yang menjadi acuan dalam proses analisis fakta tersebut adalah
peraturan perundangan-undangan.
Dalam hal ini yang menjadi masalah, adalah
situasi dimana peraturan Undang-undang tersebut belum jelas, belum lengkap atau
tidak dapat membantu seorang ahli hukum dalam penyelesaian suatu perkara atau
masalah hukum. Dalam situasi seperti ini, seorang ahli hukum tidak
dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan perkara tersebut. Artinya,
seorang ahli hukum harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan
perkara yang bersangkutan. Seorang ahli hukum harus mampu berperan dalam
menetapkan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan
hukum, walaupun peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya.
Memberikan arti kata doctrinal sebagai aturan
tertulis itu tentulah bersifat arbitrary, karena kata doctrinal
juga dapat mengandung arti lain yaitu ajaran (agama), sehingga ketika kita
mencoba meletakkan label doctrinal terhadap kitab fikih sebagai kumpulan aturan
tertulis hukum Islam mengundang kerancuan. Alasannya ialah bahwa kitab fikih
itu memang bersifat doctrinal ketika isinya adalah bersandar Soetandyo
Wognjosoebroto, HUKUM: PARADIGMA, METODE DAN DINAMIKA MASALAHNYA, Penerbit
Elsam dan Huma, Jakarta, 2002, pp. 147-163. Menurut Syamsudin atributasi
pendapat ini kepada Soetandyo pertama kali terlihat pada makalah beliau pada
tahun 1994 berjudul “Masalah Metodologik Dalam Penelitian Hukum Sehubungan
Dengan Masalah Keragaman Konseptualnya,”yang disajikan pada Forum Komunikasi
Hasil Penelitian Bidang Hukum, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, 1994. Lihat M. Syamsuddin, OPERASIONALISASI
PENELITIAN HUKUM, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, p. 36. Adapun
buku-buku tentang metode penelitian hukum yang mengikuti cara klasifikasi ini
misalnya Bambang Sunggono, METODOLOGI PENELITIAN HUKUM, Penerbit PT Raja
Grafindo Indonesia, 1997.
Mungkin istilah penelitian hukum
doctrinal juga bukan asli dari Soetandyo, karena sebagian peneliti Barat juga
telah memakainya seperti Hutchinson, sebagaimana dikutip Peter Mahmud Marzuki,
yang menggunakan kata doctrinal reseach ketika menjelaskan salah satu kategori
penelitian hukum. Ungkapannya itu: “Doctrinal research: Research which provides
a systematic exposition of the rules governing a particular legal category ...”
Lihat Peter Mahmud Marzuki, PENELITIAN HUKUM, Penerbit Prenada Media, edisi
pertama, Jakarta, 2005, p. 32. kepada ayat-ayat hukum dari Al-Quran atau
hadis-hadis hukum, tetapi tentu tidak boleh dilupakan bahwa sebagian bahkan
sebagian besar isi kitab fikih juga hasil ijtihad ulama yang tidak dapat
dikategorikan sebagai doctrinal ajaran agama. Dengan demikian kategorisasi
obyek kajian hukum sebagai doctrinal dan non-doktrinal yang diperkenalkan
Soetandyo dapat menimbulkan kerancuan ketika diterapkan kepada salah satu
bentuk literature hukum Islam yang disebut fikih yang memang mengandung unsur-unsur
doctrinal dan non-doktrinal keagamaan sekaligus, sehingga sebaiknya kategorisasi
ini tidak digunakan.
Adapun Soerjono Soekanto
berpendapat bahwa penelitian hukum itu dari segi tujuannya terdiri atas dua macam yaitu
penelitian hukum normative dan penelitian hukum sosiologis atau empiric. Menurut
Soeryono, termasuk ke dalam penelitian hukum
normative adalah penelitian azaz-azaz hukum, kajian hukum positif seperti UUD dan
UU, sistimatika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan
perbandingan hukum. Adapun yang termasuk ke dalam hukum sosiologis atau empiric
menurut Soerjono ialah penelitian identifikasi hukum tidak tertulis dan
penelitian efektivitas hukum. Pendapat ini mungkin lebih dapat diterapkan dalam
kajian hukum Islam, karena hukum Islam
memang terdiri atas aturan yang bersifat normative dan prilaku masyarakat di
seputar hukum yang bersifat sosiologis atau empiric. Meskipun demikian, terdapat
beberapa catatan terhadap pendapat ini ketika kita terapkan kedalam penelitian hukum
Islam. Salah satu catatan atau bahkan keberatan terhadap pendapat Soerjono ialah
bahwa ia memasukkan penelitian hukum azaz atau penelitian azaz-azaz hukum kedalam
kategori penelitian hukum normative. Sesungguhnya penelitian hukum azaz atau
azaz-azaz hukum adalah penelitian filsafat hukum dan setiap filsafat tentu
selalu bersifat spekulatif dan tidak bersifat normative.
Mungkin lebih tepat jika penelitian filsafat
hukum dikeluarkan dari kategori penelitian hukum normative dan diletakkan dalam
kategori tersendiri yaitu kategori penelitian filsafat hukum. Dengan demikian maka
penelitian hukum itu terdiri atas tiga macam, yaitu penelitian pada tataran
filsafat hukum, penelitian hukum normative, dan penelitian hukum sosiologis
atau empiric. Catatan lain terhadap pendapat Soerjono ialah bahwa kajian
sejarah hukum dimasukkannya ke dalam lingkup kajian hukum normative. Tentu saja
sejarah sebagai ilmu, termasuk sejarah hukum, selalu bersifat deskriptif dan
unik, sehingga tidak pernah bersifat normative. Dengan demikian lebih tepat
jika kajian sejarah hukum dimasukkan ke dalam wilayah kajian hukum empiric.
Catatan lain lagi untuk pendapt Soerjono ialah bahwa untuk jenis penelitian
ketiga itu disebutnya dengan istilah penelitian hukum Soerjono Soekanto,
PENGANTAR PENELITIAN HUKUM, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press),
cetakan ketiga, Jakarta, 1986, p.
51. Beberapa buku metode penelitian yang uraiannya menggunakan istilah yang
dipromosikan
Soerjono ini antara lain Mukti Fajar
dan Yulianto Ahmad, DUALISME PENELITIAN HUKUM: NORMATIF & EMPIRIS, Penerbit
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010. Juga Faisar Aananda Arfa, METODOLOGI
PENELITIAN HUKUM ISLAM, Penerbit Citapustaka Media Perintis, Bandung, 2010. sosiologis
atau empiric. Sesungguhnya tentu lebih tepat kalau disebut penelitian hukum empiric
saja, karena bentuknya bukan hanya sosiologi hukum, tetapi juga antropologi hukum,
arkeologi hukum, sejarah hukum, sejarah lembaga-lembaga hukum, kajian tokoh
hukum, politik hukum, psikologi hukum, filologi hukum, ekonomi hukum, dan sebagainya.
Dengan beberapa modifikasi terhadap pendapat Soerjono tersebut maka ketika kita
terapkan kepada studi hukum Islam akan terlihatlah klasifikasi obyek studi
hukum Islam sebagai berikut:
Studi filsafat hukum Islam atau
studi pada tataran filsafat hukum. Termasuk ke dalam kategori ini adalah semua
topik atau pertanyaan yang tercakup dalam kajian ushul fikih, baik ushul fikih
sebagai filsafat hukum maupun ushul fikih sebagai teori hukum. Dalam bahasa
Inggeris memang ushul fikih diterjemahkan sebagai “philosophy of Islamic law”
atau “Islamic legal theories”. Kajian terhadap konsep-konsep dalam ushul fikih
seperti apa itu keadilan (al-‘adalah), apa itu tujuan Syariat Islam (maqasid
al-syari’ah), apa itu maslahah al-mursalah, dan apa itu sadd al-dzari’ah
(precautionary procedures) termasuk ke dalam studi hukum Islam sebagai filsafat
hukum (philosophy of Islamic law), sedangkan kajian terhadap konsep-konsep
seperti metode istinbat hukum, penerapan istinbat hukum terhadap sesuatu
masalah, kajian tentang qai’dah fikhiyyah, dan kajian qai’dah ushuliyyah
termasuk ke dalam studi hukum Islam sebagai teori hukum (Islamic legal
theories). Studi hukum Islam normative.
Termasuk ke dalam kategori ini ialah
semua kajian tentang literature hukum Islam yang meliputi ayat-ayat ahkam,
hadis-hadis ahkam, kitab-kitab fikih, keputusan-keputusan pengadilan agama,
fatwa-fatwa mufti/ulama (individual dan kolektif), Undang-Undang Dasar atau
biasa disebut “dustur” negara-negara Muslim (anggota Organisasi Kerjasama
Islam, OKI), undang-undang yang berlaku di Negara-negara Muslim seperti UU
Perkawinan di Indonesia dan UU Perkawinan di Pakistan, perjanjian-perjanjian
internasional yang melibatkan
Negara-negara Muslim baik perjanjian
antara dua Negara Muslim maupun antara suatu Negara Muslim dan Negara
non-Muslim.
Deklarasi-Deklarasi Internasional yang melibatkan Negara-negara Muslim seperti Deklarasi
Universal HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (1948) dan The Cairo Declaration of
Islamic Human Rights (1990),perikatan-perikatan antar berbagai pihak yang
melibatkan individu atau organisasi Muslim, surat-surat wasiat, surat-surat
ikrar waqaf, kajian perbandingan mazhab (muqaranat al-mazahib), kajian
perbandingan hukum yang berlaku di Negara-negara Muslim (muqranat al-qawanin),
dan kajian sinkronisasi hukum antara berbagai literature hukum Islam seperti
antara UU dan kitab-kitab fikih atau antara UU dan nash (kajian perbandingan
vertical).
Perlu ditambahkan bahwa termasuk ke dalam
kajian hukum Islam normative adalah kajian tentang hukum adat di
masyarakat-masyarakat . Muslim, karena hukum adat itu meskipun tidak tertulis
tetapi bersifat mengatur (normative) bahkan terkadang dilengkapi dengaan
ancaman sanksi social atau sanksi material yang jelas. Studi hukum Islam
empiric. Termasuk ke dalam studi hukum Islam kategori ini ialah studi sosiologi
hukum Islam yang mengkaji mengenai pola-pola prilaku dan interaksi masyarakat
di seputar hukum Islam baik sebagai sebab maupun sebagai respon terhadap hukum
Islam atau dampak hukum Islam.
Studi Antropologi Hukum Islam yang mengkaji manusia atau masyarakat Muslim dengan segala
konsep dan system simboliknya serta peralatan yang digunakan termasuk produk
budaya material dan non-materialnya di bidang hukum, kajian arkeologi hukum
yang mengkaji artifak arkeologis yang pernah digunakan sebagai sarana
pelaksanaan hukum Islam; studi filologi hukum Islam yang mengkaji
manuscript-manuskrip karya ulama atau fuqoha masa silam mengenai hukum Islam
yang tidak diterbitkan; studi politik hukum Islam yang mengkaji tarik-menarik
kekuasaan antar berbagai kelompok dalam masyarakat dalam proses pengundangan
atau pelaksanaan suatu ketentuan hukum Islam, baik yang bersifat mendorong
maupun menghalangi pengundangan dan pemberlakuan itu; studi psikologi
hukum Islam yang mengkaji pola-pola
gejala psikologis dari para individu atau
Masyarakat Muslim dalam proses
pengundangan dan pemberlakuan hukum seperti kesiapan atau ketidaksiapan mental
masyarakat untuk pemberlakuan hukum qisas atau hudud dalam suatu masyarakat
Muslim di suatu negeri;
Studi Ekonomi Hukum Islam yang mengkaji bagaimana
pengundangan dan pemberlakuan suatu ketentuan dalam hukum Islam mempunyai aspek
ekonomis bagi masyarakatnya, selain kajian tentang hukum ekonomi Syari’ah
positif (field work); studi sejarah hukum Islam yang sering disebut “tarikh
al-tasyri” baik untuk masa klasik, pertengahan, atau modern Islam (termasuk
sejarah pemberlakuan hukum Islam di sesuatu Negara Muslim zaman modern dan
dominasi taqlid atau dinamika ijtihadnya); studi sejarah lembaga-lembaga hukum Islam
yang mengkaji kelahiran dan peran lembaga-lembaga hukum Islam seperti Pengadilan
Surambi atau Pengadilan Agama, lembaga Wilayatul Hisbah, lembaga Qadi dan qadi
al-qudat, dan lembaga-lembaga fatwa baik nasional seperti Darl al-Ifta di Mesir
dan Majlis Ulama Indonesia (MUI) di Indonesia maupun internasional seperti Majma’al-buhuts
li al-fiqhi al-Islami yang disponsori OKI; dan studi tokoh hukum Islam yang
mengkaji latar belakang social, politik, dan cultural para fuqoha di suatu negeri
serta pengaruhnya terhadap dinamika atau kejumudan pemikiran-pemikiran hukum
yang dihasilkannya. Dengan memperhatikan kepada ketiga kategori penelitian
hukum Islam hasil modifikasi terhadap pendapat Soerjono tersebut di atas
nampaklah bahwa wilayah kajian hukum Islam itu ternyata luas sekali.
Itulah sebabnya perlu ditegaskan bahwa mengartikan
studi hukum Islam hanya sebagai kajian istinbat hukum adalah sangat tidak memadai,
bahkan mempersempit makna studi hukum Islam itu sendiri. Dahulu memang dikesankan
demikian, seolah-olah studi hukum Islam adalah studi istinbat hukum. Jikapun
diperluas sedikit, studi hukum Islam adalah studi tentang fikih dan ushul
fikih. Hal itu juga direfleksikan dalam kurikulum pesantren dan madrasah,
bahkan perguruan tinggi agama Islam. Sekarang, ketika disadari bahwa studi
hukum Islam juga dapat meminjam metodologi studi hukum pada umumnya, maka
wilayah cakupan studi hukum itupun meluas.
No comments:
Post a Comment