MUSNAHNYA GHIROH AL-TASYRI’IYYAH
M.RAKIB SH.,PEKANBARU RIAU INDONESIA 2015
Citarasa
lezatnya ibadah hampir luntur di perguruan tinggi Islam, ghiroh keilaman masih
dipertanyakan di kalangan intelektual liberal.
Ghiroh
keislaman ingin dimatikan oleh Liberal, karena ada survey yang dilakukan oleh
beberapa penyelenggara kepada berbagai kalangan di Indonesia baik itu kalangan
mahasiswa, rumah tangga, professional, pejabat ataupun anggota legislative,
menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam Indonesia mendukung dan ingin penerapan syariat Islam
{1} , meski masih banyak juga yang tidak setuju. Ketidaksetujuan
tersebut lebih banyak disebabkan oleh mispresepsi terhadap syariat Islam dan
kekuatiran akan bahaya yang mungkin terjadi bila syariat Islam diterapkan di
Indonesia yang majemuk plus dan minimnya sosialisasi penggambaran indahnya
hidup dibawah syariat Islam.
Islam
adalah agama tauhid dan ajaran kepatuhan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya SAW,
yang mengajarkan kebenaran dan kebaikan kepada umat manusia. Islam secara
khusus bermakna keberserahan diri kepada Allah SWT, namun hakikat maknanya yang
lebih luas telah juga mencakup segala bentuk nilai kebaikan dan kesempurnaan.
Dan semenjak Islam telah mewakili segala bentuk nilai kebaikan, maka ia tentu
juga telah mencakup nilai kebebasan, yaitu kebebasan dalam makna yang lebih
sesuai dan benar menurut ukurannya, bukan kebebasan dalam makna yang tanpa
batas, karena kebebasan yang tanpa batas tentu hanyalah patut dimiliki oleh
makhluq yang tidak dibebani dengan anugerah akal.
Kebebasan
yang patut menurut Islam adalah kemerdekaan dalam memilih sesuatu selama
pilihan tersebut masih berada dalam lingkup kebenaran, yaitu kebenaran yang
dikehendaki oleh Allah SWT sebagaimana dalam tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Umat Islam bebas memilih peran apapun atau posisi manapun dalam kehidupannya, selama
bukan peran atau posisi yang dilarang oleh Islam itu sendiri, karena memang
keragaman peran atau posisi dalam tubuh umat Islam itu akan justru menjadikan
mereka saling melengkapi dan saling menguatkan. Jadi, pada dasarnya, umat Islam
itu sendiri telah memiliki hak dasar berupa kebebasan dalam memilih jalan
hidupnya masing-masing, yaitu jalan hidup di bawah naungan Islam. Mereka selalu
bebas untuk memilih beragam peran yang tersedia dalam lingkup kebenaran Islam.
Sehingga dengan demikian, justru ketika Islam
diimbuhi dengan istilah liberal, yang mana artinya ‘bebas’, maka justru saat
itulah makna kebebasan dalam Islam terkesan masih memiliki cacat, seakan-akan,
selama ini Islam belum cukup mampu untuk membebaskan umatnya dari
keterbelengguan, dan seakan-akan imbuhan tersebut adalah ungkapan protes atas
ketidaksempurnaan Islam, padahal Islam sendiri telah dinyatakan kesempurnaannya
oleh Allah SWT. Oleh karena itu, ketika Islam justru diimbuhi dengan istilah
liberal semacam itu, maka pada dasarnya itu bukanlah Islam dalam arti yang
benar dan sempurna.
Dan dalam hal ini, Jaringan ‘Islam’ Liberal
adalah kelompok yang memaksakan istilah liberal tersebut kepada Islam. Kelompok
ini terdiri dari orang-orang yang merindukan ‘kebebasan’ di dalam lingkup agama
Islam. Ia adalah sebuah komunitas pecinta kebebasan yang mengedepankan
pendayagunaan akal dalam upaya memaknai nilai-nilai ajaran agama Islam. Mereka
berkeyakinan bahwa ajaran apapun dalam agama Islam yang sampai tidak sesuai
dengan perhitungan akal manusia maka akan harus dikritisi atau bahkan harus
diganti dengan pola yang baru dan berbeda jika perlu. kelompok inilah yang
selalu mengutamakan kaidah akal, meskipun jika harus sampai mengesampingkan
kaidah mendasar yang telah disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dan konsekuensi dari pengutamaan akal di atas
dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah semacam itu tentu sangatlah berbahaya bagi
Islam itu sendiri, sebagaimana misalnya beberapa perkara berikut ini:
– Pluralisme agama
Semenjak akal menjadi alat utama untuk menimbang
kebenaran, pada akhirnya keragaman kapasitas akal manusia pun akan menghasilkan
kebenaran yang beragam pula, sehingga hakikat kebenaran pun menjadi sangat
relatif atau tergantung kepada akal manusia yang mana yang menyimpulkan
kebenaran tersebut. Dan dari sinilah muncul sebuah keyakinan liberal bahwa
kebenaran agama pun pada dasarnya juga hanya bersifat relatif, yang artinya,
bisa jadi semua agama itu benar dalam keadaannya masing-masing; Islam adalah
benar dalam keadaannya, Kristen adalah benar dalam keadaannya, Yahudi adalah
benar dalam keadaannya, demikian juga Hindu, Buddha, dan seterusnya, hingga
akhirnya, semua agama pun menjadi sama-sama benarnya. Dan sebagai akibatnya,
umat Islam akan boleh-boleh saja beribadah dan berdoa bersama dengan umat
Kristen, atau sebaliknya, dan seterusnya; karena menurut prinsip pluralisme
agama tersebut, semua agama adalah baik dan benar, dan tiada agama yang benar
secara mutlak.
– Penyamaan hak antara laki-laki dan
perempuan
Menurut perhitungan akal secara liberal, keadilan
adalah ketika semua manusia dapat memperoleh persamaan hak dalam hidup mereka,
di mana tidak semestinya terjadi kesenjangan dan ketimpangan di antara mereka,
termasuk antara laki-laki dan perempuan. Menurut keyakinan liberal, perempuan
haruslah mendapatkan hak dan kebebasan yang sama layaknya laki-laki, dan tidak
seharusnya memperoleh perlakuan yang dibeda-bedakan dari kaum laki-laki. Dan di
antara konsekuensi fatal dari keyakinan semacam itu adalah, bahwa dalam aturan
pembagian warisan, misalnya, jatah warisan bagi perempuan haruslah disamakan
dengan jatah warisan bagi laki-laki; atau juga misalnya dalam perkara shalat,
bahwa perempuan juga mesti diperbolehkan untuk menjadi imam shalat bagi
laki-laki; dan begitulah seterusnya dalam perkara-perkara yang lain, yang mana
pada intinya adalah bahwa perempuan haruslah disamakan dengan laki-laki dalam
hal apapun, di mana tiada lagi pemaksaan batasan bagi mereka.
– Pemisahan Islam dari unsur-unsur Arab
Dan konsekuensi lainnya dari pengutamaan akal di
atas dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah adalah pemisahan Islam dari
unsur-unsur Arab secara mutlak atau tanpa batasan dan ketentuan. Dalam hal ini,
faham liberal meyakini bahwa Islam itu bersifat universal atau menyeluruh bagi
umat manusia, sehingga Islam haruslah dilepaskan dari unsur-unsur Arab yang
mana hanya akan memberikan kesan bahwa Islam itu adalah miliknya bangsa Arab
saja, terutama unsur-unsur Arab yang tampak mengganggu bagi tradisi lokal
tertentu. Dan sebagai dampak dari keyakinan tersebut, kaum liberal pun sampai
tidak mempermasalahkan ketika ada yang pernah melaksanakan shalat dengan bacaan
yang tidak menggunakan bahasa Arab; seperti ketika mereka juga tidak
mempermasalahkan ketika ada Muslimah yang berakal dan baligh yang tidak memakai
jilbab di tempat umum, karena jilbab menurut mereka adalah produk lokal Arab
semata; atau juga ketika mereka menyamakan kedudukan jilbab tersebut dengan
kedudukan jubah bagi laki-laki Arab; dan seterusnya.
Dan selain beberapa perkara tersebut, di sana
tentu masih terdapat beragam konsekuensi lainnya, seperti sekulerisme,
inklusifisme, dan lain-lain yang semacamnya, yang mana itu semua sangat
menyesatkan dan berdampak kerusakan yang sangat berat bagi aqidah umat Islam
dan bagi syari’at Allah SWT. Semua perkara yang lahir dari pemikiran liberal
semacam itu memang tampak menjanjikan hal yang baru dan lebih membebaskan bagi
umat Islam, namun sebenarnya justru menunjukkan bahwa seolah-olah agama Islam
itu ternyata belum disempurnakan oleh Allah SWT, sehingga upaya penyempurnaan
dari manusia itu sendiri juga menjadi sangat diperlukan.
Ketika kita memperhatikan beberapa konsekuensi
tersebut di atas, kita mendapati masalah yang tentunya bukan sekedar tentang
perbedaan pendapat dalam hal yang dapat dimaklumi oleh Islam, melainkan justru
tentang perubahan dalam perkara mendasar yang merupakan pondasi ajaran Islam
itu sendiri. Dan tentunya, ketika sebuah pondasi bangunan itu harus dibongkar
untuk digantikan dengan pondasi yang baru, maka tentu itu akan sama saja dengan
mendirikan bangunan baru dari awal lagi. Dan jika bangunan baru tersebut akan
sama persis dengan bangunan yang telah dibongkar sebelumnya, maka tentu itu
hanya akan menjadi bentuk pembongkaran dan pembangunan ulang yang sia-sia,
karena sebelum dibongkar ataupun setelah dibongkar, ternyata wujudnya juga sama
saja. Namun jika bangunan baru tersebut harus berubah secara mendasar dan
justru berbeda dengan bangunan yang telah dibongkar sebelumnya, maka itu
berarti bahwa bangunan baru tersebut adalah sesuatu yang tersendiri, sedangkan
bangunan yang telah dibongkar sebelumnya juga adalah sesuatu yang tersendiri
lainnya. Artinya, Islam tetaplah Islam dengan kesempurnaannya, sedangkan
menciptakan “Islam yang baru” akan berarti menciptakan sesuatu yang lain yang
bukan Islam.
Dan itulah sebenarnya bentuk upaya pembongkaran
yang dilakukan oleh kelompok liberal terhadap Islam, meskipun Islam itu sendiri
juga telah sempurna pada hakikatnya. Dan dalam hal kesempurnaan Islam sebagai
agama tauhid dan syari’at penutup di akhir zaman, dan bahwa ia adalah
satu-satunya agama yang dibenarkan dan diridhai oleh Allah SWT, kita bisa
memperhatikan kembali beberapa dalil dari ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana yang
artinya berikut ini:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah
Kuridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Maaidah: 3)
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi
Allah hanyalah agama Islam.” (Aali ‘Imraan: 19)
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam,
maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Aali ‘Imraan: 85)
Setidaknya, dari ayat-ayat tersebut telah cukup
jelas bahwa agama Islam itu telah disempurnakan, sehingga tidak akan memerlukan
penyempurnaan lagi. Ketika keadaan zaman tampak semakin berubah dan beragam
permasalahan baru pun juga semakin bertambah dan tidak bisa dihindari, maka itu
bukan berarti bahwa Islam juga harus dirubah dan diperbaharui agar dapat
menyesuaikan dengan perkembangan zaman tersebut, karena pada hakikatnya, Islam
itu sendiri juga sudah merupakan wujud kemodernan mutlak, yaitu panduan
kebenaran yang tidak terikat oleh zaman. Islam akan selalu modern di segala
waktu, baik di masa lalu, masa kini ataupun di masa depan nantinya. Yang akan
selalu berubah hanyalah keadaan zaman, sedangkan yang dapat berubah dari Islam
bukanlah hakikat Islam itu sendiri, melainkan kesimpulan-kesimpulan teknis yang
bukan perkara pokok agama, untuk sekedar menyesuaikan dengan perubahan teknis
pada setiap zamannya, yang itu pun juga tidak sampai keluar dari lingkup aturan
dasar yang sudah ditetapkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dan contoh perubahan teknis yang dimaksud
tersebut bahkan dapat kita temui di zaman generasi pertama umat Islam
sepeninggal Rasulullah SAW, di mana ketika itu tulisan ayat-ayat al-Qur’an baru
mulai dikumpulkan dan disatukan; padahal sebelumnya, ketika Rasulullah SAW
masih hidup di tengah-tengah mereka, tulisan ayat-ayat al-Qur’an masih
terpisah-pisah dan tersebar dalam beragam media yang berbeda, dan hanya terjaga
urutannya melalui hafalan para sahabat saja. Dan itulah mungkin contoh
perubahan teknis dalam Islam yang telah diperbolehkan di zaman generasi pertama
umat Islam.
Adapun untuk zaman sekarang ini, maka contoh
perubahan teknis semacam itu adalah ketika ayat-ayat al-Qur’an tersebut telah
disimpan dalam bentuk data digital, baik berupa tulisan maupun berupa suara,
sehingga umat Islam pun dapat lebih mudah dalam membaca dan mendengarkan
ayat-ayat al-Qur’an. Maka dalam hal ini, kita tentu tidak lantas menyimpulkan
bahwa al-Qur’an ternyata telah berubah secara hakikatnya, melainkan yang
berubah hanyalah teknis penyimpanan data ayat-ayatnya saja, dan bukan
unsur-unsur mendasar dari al-Qur’an itu sendiri. Dan demikianlah mungkin contoh
bentuk perubahan yang diperbolehkan dalam Islam. Karena bagaimanapun juga,
Islam adalah agama yang telah sempurna dan tidak perlu dirubah-rubah lagi. Ia
adalah agama yang ‘selalu baru’ sampai berakhirnya dunia kelak.
Dan dari sudut pandang ini, maka ‘pembaharuan’
atau perubahan yang diupayakan oleh kaum liberal terhadap aturan Islam tersebut
pastinya tidak mungkin bisa dibenarkan, baik oleh kaidah akal maupun terlebih
lagi oleh kaidah al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam hal kebenaran agama-agama,
khususnya, kelompok liberal telah jelas menyalahi kaidah akal yang semestinya
tidak boleh dilanggar, karena mereka telah memungkiri adanya satu agama yang
paling benar secara mutlak di antara agama-agama yang begitu jelas perbedaannya
tersebut. Sedangkan menurut kaidah yang dapat diterima oleh akal kita, hakikat
kebenaran itu sebenarnya dapat terbagi menjadi dua, yaitu kebenaran relatif dan
kebenaran mutlak. Kebenaran relatif adalah bentuk kebenaran yang bercabang,
yang mana setiap cabangnya dapat menjadi pilihan yang tepat dan benar;
misalnya, ketika kita ingin menghasilkan bilangan “satu”, maka itu bisa
dilakukan dengan berbagai cara menghitung yang berbeda, baik dengan cara dua
dikurangi satu, atau satu dikali satu, ataupun tiga dibagi tiga, dan
seterusnya, yang mana semua cara menghitung tersebut adalah sama-sama benarnya
meskipun tampak berbeda di permukaan, karena memang hasil dari semua itu adalah
sama, yaitu “satu”, yang mana merupakan bilangan yang kita tuju.
Adapun kebenaran mutlak, maka itu adalah bentuk
kebenaran yang tunggal atau satu-satunya, yang tidak mungkin ada pilihan lain
selain kebenaran yang satu tersebut; misalnya, ketika kita ingin membeli beras
sebanyak tiga kilogram, maka menyebutkan bilangan “tiga” adalah pilihan yang
mutlak, yang tidak bisa digantikan dengan bilangan-bilangan lainnya, karena
tentu tidak mungkin penjual beras akan mempersiapkan “tiga” kilogram beras
ketika yang kita sebutkan adalah “satu” kilogram beras, misalnya. Tentu saja
tidak mungkin kita akan menyebutkan “satu” ketika yang kita maksud sebenarnya
adalah “tiga”, begitu juga sebaliknya; karena tiga adalah tiga, dan satu adalah
satu. Keduanya, tiga kilogram dan satu kilogram, tidak akan pernah bisa
disamakan meskipun dihitung atau ditimbang dengan cara yang bagaimanapun,
kecuali jika memang alat penimbangnya sedang tidak benar atau telah rusak. Dan
di antara bentuk kerusakan pada akal kita adalah ketika kita sampai membenarkan
bahwa “tiga dibagi satu” adalah sama dengan “satu”, atau bahwa “satu dibagi
tiga” adalah juga sama dengan “satu”.
No comments:
Post a Comment