TENTANG KEMALUAN
Analisis M.Rakib S.H.,M.Ag Pekanbaru Riau Indonesia
Gurindam Pasal ke – 10
.
وَ الَّذينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حافِظُونَ َ
QS Al-Mukminun :(5) Dan orang-orang yang selalu menjaga kemaluan (kelamin)
mereka.
Beruntunglah orang yang memelihara kemaluannya
إِلاَّ
عَلى أَزْواجِهِمْ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومينَ َ
(6) Kecuali
terhadap isterinya atau hambasahayanya, m
Seorang lelaki
Indonesia telah disengat
kemaluannya oleh lebah saat berdoa di
dalam di kuil, lalu dia berdoa : "Ya
tuhan, hilangkan sakitnya, tetapi
kekalkan bengkaknya.
kemaluannya oleh lebah saat berdoa di
dalam di kuil, lalu dia berdoa : "Ya
tuhan, hilangkan sakitnya, tetapi
kekalkan bengkaknya.
supaya kemaluan jangan menerpa dengan ...
isteri dan
gundik janganlah alpa, supaya kemaluan jangan menerpa.
Dalam bahasa Melayu, kata “kemaluan”.bukan berarti alat kelamain laiki-laki
atau perempuan. Yang mempopulerkan kata kemaluan sebagai “Alat Kelamin” hanya orang Betawi dan
orang Jawa, sedangkan orang sumatra dan kalimantan, tidak demikian. Menyebut
sitilah kemaluan, orang di luar sumatera akan menundukkan kepala karena malu. Terbayang
di mata ketika pujangga besar itu menundukkan kepala, khusuk, dan tekun,
menciptakan Gurindam Dua belas yang nantinya akan membuat nama Raja Ali Haji
bergema hingga ke pelosok nusantara, sementara di depannya terbentang lembar
demi lembar Gurindam Dua belas yang baru saja dibacakan oleh budak berumur
sekolah hingga dewasa. Dia, dengan segala perenungan, segala upaya penggalian
jiwa, menyuguhkan kepada generasi masa depan sebuah karya yang di dalamnya
penuh dengan petuah dan tunjuk ajar, nasihat, dan segala macam pesan-pesan
hidup. Lalu pada kesempatan yang berbeda, bentuk yang telah sempurna itu,
kembali direngkuh oleh orang Melayu kini.
Tak sudah-sudah saya dibuat bergetar olehnya. Selain karena tamadun
Melayu, kini terlihat sibuk menyingkap tabir gelap yang menyelimuti badannya
dengan segenap khasanah budaya sendiri, orang Melayu pantaslah menikmati
kembali masa-masa seperti yang dinikmati oleh mereka, para Fir‘aun. Zaman
keemasan, dimana setiap bentuk hasil karya budaya diagung-agungkan, diletakkan
pada tempat yang berbeda dengan porsi politik, ekonomi, dan sosial, membawa
pada alur yang begitu luas pada ceruk terdalam pemikiran umat manusia.
Raja Ali Haji telah berhasil
menunjukkan semua itu. Dia dengan bersungguh-sungguh, sambil tak henti-henti
membentangkan segala macam petuah, kini beristirahat tenang di surga. Saya tahu
itu. Dia telah selesaikan tugasnya, hanya tinggal kita, para generasi penerus
yang mesti bertungkus kelumus untuk mencacakkan kembali buah budaya ke tengah
leguh legah kehidupan dunia.
Barangkali pantaslah bila
nuansa besar yang ikut menjelma dalam setiap derap langkah lomba membaca
Gurindam Dua belas itu, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Natuna,
merasuk hingga ke titik terdalam perenungan orang Melayu tentang keagungan. Dan
memang, Melayu selalu menghadirkan bentuk kebudayaan sebagai sebuah entitas
budaya, dalam bentuk yang jauh berbeda dengan yang lainnya. Bukan karena Melayu
sangat akrab- kononnya berhulu pada Al Quran- akan tetapi terletak pada konsep
yang terkandung di dalamnya. Kemelayuan dihadirkan dalam bentuk ritual-ritual
budaya.
”Jika hendak mengenal orang
berbangsa, lihat pada budi dan bahasa.” Ini kata Raja Ali Haji lebih dari seratus tahun yang lalu. Akan tetapi
hingga saat ini, ia menyamai sebuah teori sosial kontemporer, baik tentang
struktur masyarakat, mau pun menyangkut tentang ciri khas suatu bentuk
kebudayaan yang digambarkan oleh para ahli-ahli antropologi budaya. Tidak
cenderung mengajari dengan maksud berlawanan. Sebaliknya, melalui Gurindam Dua
belas, orang Melayu mempunyai “alat”- kalau boleh saya katakan demikian- untuk
menunjukkan jati dirinya.
Karya yang satu ini, dengan segala macam kelebihannya, telah membantu orang
Melayu mewujudkan kembali cita-cita yang dulu sempat terkubur dalam; menjadi
bagian dari tamadun dunia yang kini terus bergejolak.
Jadi, sayang sekiranya bila
dalam momentum lomba membaca Gurindam Dua belas yang baru saja dilangsungkan
itu, hanya mencapai sasaran kulit luarnya saja. Bukan mengapa, kehadiran
Gurindam Dua belas di tanah Melayu, tidak akan memberikan tapak sedikit pun
bila setiap insan Melayu hanya menangkapnya sebatas ritual belaka. Sebaliknya,
bila budak-budak Melayu yang tersebar itu, baik dari generasi dahulu, generasi
sekarang, hingga generasi mendatang, benar-benar mampu menyerap dan mereduksi
kembali setiap denyut kehidupan dari Gurindam Dua belas tanpa sedikit pun
kesangsian, saya berani menjamin, kehidupan Melayu benar-benar telah mengarah
pada pembenahan. Lubang-lubang kebocoran yang ada selama ini di sepanjang
batang tubuh budaya Melayu, dapat segera ditutup. Begitu juga dengan pemikiran
yang jauh dari bentuk-bentuk kemelayuan, mulai diarahkan sedemikian rupa.
Benar, memang benar, melalui
Gurindam Dua belas, puak Melayu kembali di ajak untuk duduk sejenak dari segala
macam rutinitas pekerjaan keseharian yang terlalu padat. Renungkan, bukankah
telah terlalu jauh kita melangkah dari alur Melayu? Alur itu sebenarnya akan
menuntun kita sebagai orang Melayu pada tempat dimana di dalamnya menempatkan
orang Melayu kekinian sebagai khalifah. Lantas mengapa masih saja orang Melayu
merasa risih bila diajak untuk menempuh kebaikan?
Saya masih ingat kata Raja
Ali Haji dalam Gurindamnya yang terkenal itu. Begini katanya, “jika
hendak mengenal orang yang mulia, lihatlah pada kelakuan dia.” Sang Raja
menyinggung tentang kelakuan. Bukan yang lain disinggungnya, akan tetapi
tentang kelakuan. Padahal kalau hendak jujur, teraju panjang baik itu adat
resam orang Melayu dalam bergaul, petuah-petuah di dalam menempuh hidup, maupun
sampai pada tata cara perkawinan, sudah dijabarkan oleh kebudayaan Melayu.
Tinggal saja bagaimana orang Melayu menjabarkannya di dalam kehidupan
sehari-hari. Itulah sebabnya mengapa bunyi Gurindam Dua Belas itu masih tetap
relefan hingga sekarang. Ada pesan untuk menuntun orang Melayu benar-benar
teguh sebagai orang Melayu, bukan malah bertindak sebagai Melayu yang di
dalamnya bukan Melayu.
Begitulah, rangkaian pertandingan yang
berlangsung dengan sangat sederhana itu, ternyata mendedahkan kepada banyak
mata tentang terjadinya upaya mengkerdilkan makna dari Gurindam Dua Belas. Ini
dapat dilihat dari timbulnya “inisiatif” para dewan juri untuk mengubah
beberapa isi redaksi yang terkandung di dalam naskah asli. Padahal bila hendak
mengangkat sebentuk karya budaya, seperti Gurindam Dua Belas misalnya, mestilah
harus membebaskan ia dari segala macam bentuk pengekangan nilai, baik itu dari
sudut pandang norma, mau pun agama. Di situ, Gurindam Dua Belas didedahkan
bukan lagi utuh sebagai sebuah karya sastra murni yang di dalamnya banyak
menyuguhkan nilai-nilai pencerahan dan petuah, melainkan berlubang di
sana-sini.
Saya khawatir, ketika perubahan isi redaksi itu terjadi tanpa diiringi
dengan hujah yang ternukil di dalamnya, kemungkinan besar roh yang terkandung
di dalam Gurindam Dua Belas, akan kabur maknanya. Tidak jelas. Padahal gejala
yang ada di tengah puak Melayu dimana semakin tidak jelasnya bentuk jati diri
orang Melayu dalam menyikapi pergulatan hidup, tampak begitu besar peranannya
dalam menggundulkan nilai-nilai teradisional Melayu sebagai sebuah entitas.
Di sini, Gurindam Dua Belas diposisikan
bukan lagi untuk memperkenalkan khasanah budaya lama kepada generasi sekarang,
melainkan telah berubah menjadi sebentuk pajangan belaka. Lihat saja dari
penuturan yang terlanjur dibuat oleh hampir seluruh peserta, dinilai jauh dari
kesungguhan untuk kembali menimang seperti apa yang ada di masa dulu. Hal ini kena mengena dengan bentuk bahasa
yang dipakai pada masa itu, bukan sekarang. Dan saya kira, dalam hal ini Hasan
Yunus memang benar, “apa bila bahasa Melayu, yang di Indonesia dengan melewati
proses tertentu menjadi Bahasa Indonesia dan di Malaysia menjadi Bahasa
Malaysia, hanya sebagai lingua fanca maka bahasa itu akan kehilangan
nuansa-nuansa yang ragam dan tidak memiliki dimensi kedalaman.” Dia, Gurindam
Dua Belas itu, tidak lagi mempunyai jiwa.
Maka, bahasa dalam kontek
Gurindam Dua belas, adalah bahasa yang mempunyai periodesasi. Ini dilontarkan
oleh salah seorang dewan juri. Ia memaparkan dengan panjang lebar tentang teori
bahasa yang menurutnya menjadi dasar mengapa terjadi perubahan isi redaksi dari
Gurindam Dua Belas. Selain karena akan menimbulkan salah tangkap bagi telinga
orang awam, itu juga akan berakibat pada semakin terpuruknya bahasa itu
sendiri, padahal sasaran yang hendak dicapai tidaklah demikian. Sayangnya dewan
juri tidak menyadari, dengan mengganti kata “kemaluan” (pasal 10) menjadi
“malunya”, justru semakin menjebak Gurindam Dua Belas dalam kubangan penjara
yang berwajah idiot. Ini bukan bersifat organis, melainkan lebih pada
strukturalis.
Keadaan organis menghendaki
Gurindam Dua belas hadir dalam bentuknya yang utuh, jauh dari pengekangan dalam
bentuk ruang dan waktu. Ia berhaluan lebih luas bila dibandingkan dengan
keadaan strukturalis.
No comments:
Post a Comment