DELINKUENSI KENAKALAN REMAJA
M.RAKIB JL.CIPTAKARYA
. MUBALLIGH IKMI PEKANBARU RIAU
INDONESIA. 2015
Delinkuensi,
kenakalan remaja. Secara kritis, remaja akan lebih banyak rasa ingin mencoba,
rasa ingin tahu.dan melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan
hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para
remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini
diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam
melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi
lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik
dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan
berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena
mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang
mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa
perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang
baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap “pemberontakan” remaja
terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat.
Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang
mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik.pada masa remaja ia akan mempertanyakan
mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat
mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu
saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri
remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak
menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai
nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak
akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan
yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan
nilai-nilai tersebut.
Peranan
orangtua atau pendidik sangat besar dalam memberikan alternatif jawaban dari
hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua yang bijak akan
memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa
berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu
memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja
tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua
dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru”
memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan
oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.
BUDAK REMAJA
Budak
dalam bahasa Melayu, artinya generasi muda, atau remaja. Kata “remaja” berasal
dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity
(Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang
remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai
periode. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja
(adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa
remaja (adolescence).
Menurut
Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara
masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13
tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
Menurut
Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11
hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa
remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17
tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock
karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan
yang lebih mendekati masa dewasa.
Papalia
& Olds (2001) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara
kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat
bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan
yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan
dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan
cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.
Transisi
perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak
masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock,
1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis
misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa
antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan
kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak
(Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001).
Remaja:
pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa
Yang
dimaksud dengan perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada rentang
kehidupan (Papalia & Olds, 2001). Perubahan itu dapat terjadi secara
kuantitatif, misalnya pertambahan tinggi atau berat tubuh; dan kualitatif,
misalnya perubahan cara berpikir secara konkret menjadi abstrak (Papalia dan
Olds, 2001). Perkembangan dalam kehidupan manusia terjadi pada aspek-aspek yang
berbeda. Ada tiga aspek perkembangan yang dikemukakan Papalia dan Olds (2001),
yaitu:
(1) perkembangan fisik,
(2)
perkembangan kognitif, dan
(3)
perkembangan kepribadian dan sosial.
Aspek-aspek
perkembangan pada masa remaja
1)
Perkembangan
fisik
Yang
dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak,
kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001).
Perubahan pada tubuh ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh,
pertumbuhan tulang dan otot, dan kematangan organ seksual dan fungsi
reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-kanak yang cirinya
adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah kematangan.
Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan
kemampuan kognitif (Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001).
2)
Perkembangan
Kognitif
Menurut
Piaget (dalam Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia
karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja
secara aktif membangun dunia kognitif mereka, di mana informasi yang didapatkan
tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja
sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide-ide yang lebih penting dibanding
ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide tersebut. Seorang remaja
tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu
mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.
Perkembangan
kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar,
berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan
bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari
struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas untuk
eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut
tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam Papalia
& Olds, 2001).
Tahap
formal operations adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara
abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta
pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal
remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu
menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal. Berbeda dengan
seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang hanya mampu
memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja
berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang
masih berupa rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2001). Remaja dapat
memahami bahwa tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada
masa yang akan datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan
konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat
membahayakan dirinya.
Pada
tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana
mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan.
Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari
kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai
mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu
perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001).
Salah
satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya
ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir egosentrisme
(Piaget dalam Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud dengan egosentrisme di
sini adalah “ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain”
(Papalia dan Olds, 2001). Elkind (dalam Beyth-Marom et al., 1993; dalam Papalia
& Olds, 2001) mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme
yang dikenal dengan istilah personal fabel.
Personal
fabel adalah “suatu cerita yang kita katakan pada diri kita sendiri mengenai
diri kita sendiri, tetapi [cerita] itu tidaklah benar” . Kata fabel berarti
cerita rekaan yang tidak berdasarkan fakta, biasanya dengan tokoh-tokoh hewan.
Personal fabel biasanya berisi keyakinan bahwa diri seseorang adalah unik dan
memiliki karakteristik khusus yang hebat, yang diyakini benar adanya tanpa
menyadari sudut pandang orang lain dan fakta sebenarnya. Papalia dan Olds
(2001) dengan mengutip Elkind menjelaskan “personal fable” sebagai berikut :
“Personal
fable adalah keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak terpengaruh oleh
hukum alam. Belief egosentrik ini mendorong perilaku merusak diri
[self-destructive] oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis
terlindung dari bahaya. Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya
tidak mungkin hamil [karena perilaku seksual yang dilakukannya], atau seorang
remaja pria berpikir bahwa ia tidak akan sampai meninggal dunia di jalan raya
[saat mengendarai mobil], atau remaja yang mencoba-coba obat terlarang [drugs]
berpikir bahwa ia tidak akan mengalami kecanduan. Remaja biasanya menganggap
bahwa hal-hal itu hanya terjadi pada orang lain, bukan pada dirinya”.
Pendapat
Elkind bahwa remaja memiliki semacam perasaan invulnerability yaitu keyakinan
bahwa diri mereka tidak mungkin mengalami kejadian yang membahayakan diri,
merupakan kutipan yang populer dalam penjelasan berkaitan perilaku berisiko
yang dilakukan remaja (Beyth-Marom, dkk., 1993). Umumnya dikemukakan bahwa
remaja biasanya dipandang memiliki keyakinan yang tidak realistis yaitu bahwa
mereka dapat melakukan perilaku yang dipandang berbahaya tanpa kemungkinan
mengalami bahaya itu.
Beyth-Marom,
dkk (1993) kemudian membuktikan bahwa ternyata baik remaja maupun orang dewasa
memiliki kemungkinan yang sama untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku
yang berisiko merusak diri (self-destructive). Mereka juga mengemukakan adanya
derajat yang sama antara remaja dan orang dewasa dalam mempersepsi
self-invulnerability. Dengan demikian, kecenderungan melakukan perilaku
berisiko dan kecenderungan mempersepsi diri invulnerable menurut Beyth-Marom,
dkk., pada remaja dan orang dewasa adalah sama.
Perkembangan
kepribadian dan sosial
Yang
dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu
berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan
perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang lain
(Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada masa
remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian
identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang
penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001).
Perkembangan
sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang
tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak,
remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah,
ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds,
2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran kelompok teman sebaya adalah
besar.
Pada
diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat.
Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk
menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku
banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).
Kelompok
teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang
remaja tentang perilakunya (Beyth-Marom, et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et
al, 1993; Papalia & Olds, 2001). Conger (1991) dan Papalia & Olds
(2001) mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama
bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi
remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara
berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya
(Conger, 1991).
Ciri-ciri Masa Remaja
Masa
remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang
cepat baik secara fisik, maupun psikologis. Ada beberapa perubahan yang terjadi
selama masa remaja.
1.
Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang
dikenal dengan sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini
merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa
remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa
remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa
ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka
diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih
mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan
terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir
yang duduk di awal-awal masa kuliah.
2.
Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual.
Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan
kemampuan mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik
perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi
maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi
tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
3.
Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain.
Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa
kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini
juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka
remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang
lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja
tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama,
tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.
4.
Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak
menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.
5.
Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi.
Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan
tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan
mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.
2.2
Tugas perkembangan remaja
Tugas
perkembangan remaja menurut Havighurst dalam Gunarsa (1991) antara lain :
*
memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan
kawan sebaya, baik laki-laki maupun perempuan
*
memperoleh peranan sosial
*
menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif
*
memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
*
mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri
*
memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan
*
mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga
*
membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidup
Erikson
(1968, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001) mengatakan bahwa tugas utama
remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan
krisis ke-5 dalam tahap perkembangan psikososial yang diutarakannya. Tugas
perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja
dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan
peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).
Untuk
menyelesaikan krisis ini remaja harus berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya,
apa perannya dalam masyarakat, apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang
pada akhirnya menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan
menentukan peran, sikap, nilai, serta minat yang dimilikinya.
MORAL PADA
MASA REMAJA
Pengertian
Istilah
moral berasal dari kata Latin “mos” (moris) yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan
kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau
prinsip-prinsip moral.
Nilai-nilai
moral itu, seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara
ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan, dan memelihara hak orang lain,
serta larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi.
Seseorang
dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan
nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi
Perkembangan
moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak memperoleh
nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya. Dia belajar
untuk mengenal nlai-nilai dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Dalam mengembangkan nilai moral anak, peranan orangtua sangatlah penting,
terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orangtua yang perlu
diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak , diantaranya sebagai berikut :
a.
Konsisten
dalam mendidik anak
Ayah
dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau
membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang
dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan
pada waktu lain.
b.
Sikap
orangtua dalam keluarga
Secara
tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau
sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses
peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan
sikap disiplin semu oada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh atau sikap
masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggungjawab dan kurang
mempedulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua
adalah sikap kasih saying, keterbukaan, musyawarah (dialogis).
Hippocrates dan Galenus Bapak Kedokteran Yunani
Hipocrates
berpendapat, bahwa yang mempengaruhi tipe kepribadian seseorang adalah jenis cairan tubuh yang paling dominan, yaitu:
- Tipe Choleris
Tipe
ini disebabkan cairan empedu kuning yang dominan dalam tubuhnya. Sifatnya agak
emosi, mudah marah dan mudah tersinggung.
- Tipe melancholis
Tipe
ini disebabkan cairan empedu hitam yang dominan dalam tubuhnya. Sifatnya agak
tertutup, rendah diri, mudah sedih sering putus asa.
- Tipe Plegmatis
Tipe
ini dipengaruhi oleh cairan lendir yang dominan. Sifat yang dimilikinya agak
statis, lamban, apatis, pasif, pemalas.
- Tipe Sanguinis
Tipe
ini dipengaruhi oleh cairan darah merah yang dominan. Sifat yang dimilikinya
agak aktif, cekatan, periang, mudah bergaul.
Disamping
Hippocrates,
masih banyak lagi tokoh-tokoh psikologi yang membagi tipe kepribadian berdasarkan
aspek biologis. Mereka membaginya berdasarkan bagian yang berbeda-beda atau
ciri khas yang berbeda, jadi juga ditemukan hasil yang berbeda pula. Pembagian
pada aspek ini juga dilakukan oleh Kretcmer, dan Sheldon.
2.
Aspek Sosiologis
Pembagian
ini didasarkan kepada pandangan hidup dan kualitas sosial seseorang. Yang
menegemukakan teorinya berdasarkan aspek sosiologis ini ialah;
Edward Spranger
Ia
berpendapat bahwa kepribadian seseorang ditentukan oleh pandangan hidup mana
yang dipilihnya. Berdasarkan hal itu ia membagi tipe kepribadian menjadi;
1)
Tipe teoritis, orang yang perhatiannya selalu diarahkan kepada masalah teori
dan nilai-nilai; ingin tahu, meneliti dan mengemukakan pendapat.
2)
Tipe ekonomis, yaitu orang yang perhatiannya tertuju kepada manfaat sesuatu
berdasarkan faedah yang mendatangkan untung rugi.
3)
Tipe esthetis, yaitu orang yang perhatiannya tertuju kepada masalah-masalah
keindahan.
4)
Tipe sosial yaitu orang yang perhatiannya tertuju ke arah kepentingan masyarakat
dan pergaulan.
5)
Tipe politis, yaitu orang yang perhatiannya tertuju kepada kepentingan
kekuasaan, kepentingan dan organisasi.
6)
Tipe religius, yaitu tipe orang yang taat kepada ajaran agama, senang
masalah-masalah ketuhanan dan keyakinan.
Muray
Muray
membagi tipe kepribadian menjadi;
1)
Tipe teoritis yaitu orang yang menyenangi ilmu pengetahuan berpikir logis dan
rasional.
2)
Tipe humanis, yaitu tipe orang yang memiliki sifat kemanusiaan yang mendalam.
3)
Tipe sensasionis yaitu tipe orang yang suka sensasi dan berkenalan.
4)
Tipe praktis yaitu tipe orang yang giat bekerja dan mengadakan praktek.
3.
Aspek Psikologis.
Dalam
pembagian tipe kepribadian berdasarkan psikologis Prof. Hevman mengemukakan
bahwa dalam diri manusia terdapat tiga unsur: emosionalitas, aktivitas dan
fungsi sekunder (proses penggiring).
- Emosionalitas merupakan unsur yang mempunyai sifat yang didominasi oleh emosi yang positif, sifat umumnya adalah kurang respek terhadap orang lain, perkataan berapi-api, tegas, bercita-cita dinamis, pemurung, suka berlebih-lebihan.
- Aktivitas, yaitu sifat yang dikuasai oleh aktivitas gerakan, sifat umum yang tampak adalah lincah, praktis, berpandangan luas, ulet, periang dan selalu melindungi kepentingan orang lemah.
- Fungsi sekunder (proses penggiring), yaitu sifat yang didominasi oleh kerentanan perasaan, sifat umum yang tampak; watak tertutup, tekun, hemat, tenang dan dapat dipercaya.
Selanjutnya
Carl Gustav yang membagi manusia menjadi dua pokok.
- Tipe extrovert, yaitu orang yang terbuka dan banyak berhubungan dengan kehidupan nyata.
- Tipe introvert, yaitu orang yang tertutup dan cenderung kepada berpikir dan merenung.
Masing-masing
dari tipe extrovert dan introvert memiliki tipe pikiran, perasaan, penginderaan
dan intuisi. Sehingga tupe kepribadian manusia tersebut terbagi atas:
- Tipe pemikiran terbuka.
- Tipe perasaan terbuka.
- Tipe penginderaan terbuka.
- Tipe intuisi terbuka.
- Tipe pemikiran tertutup.
- Tipe perasaan tertutup.
- Tipe penginderaan tertutup.
- Tipe intuisi tertutup.
Sebenarnya masih banyak lagi selain
tipe-tipe di atas pembagian tipe kepribadian menurut para ahli. Hal tersebut
dikarenakan berbeda ahli yang mengemukakan berbeda pula pandangannya dan dasar
penggolongannya. Yang perbedaan tersebut mengakibatkan perbedaan pembagian.
Namun yang telah disebutkan diatas kiranya cukup untuk sebagai bekal dalam
rangka mendalami dan membahas kepribadian dalam pandangan psikologi agama.
Pada
tahun 1980 penulis mendapatkan perpeloncoan dari para senior di IAIN Susqa
Pekanbaru,Riau Indonesia, dengan praktek
mengisap kompeng, merayap ditanah, meminta tandatangan dipersulit, didenda,
dibentak dan memakai pakaian tidak senonoh, bahkan kepala harus dibotakkan,
paling tiak, dipotong sangat-sangat pendek. Kini ada Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil memberi
perhatian serius pada tahapan kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) di seluruh
sekolah di Kota Bandung pada tahun ajaran baru 2015-2016. Wali Kota secara
tegas mengharamkan perpeloncoan yang berujung pada aksi kekerasan.
Dalam masyarakat diusahakan
agar konflik yang terjadi tidak berakhir dengan kekerasan. Oleh karena itu
diperlukan adanya suatu prasyarat, yaitu sebagai berikut.
a. Setiap kelompok yang terlibat
dalam konflik harus menyadari akan adanya situasi konflik di antara mereka.
b. Pengendalian konflik-konflik
tersebut hanya mungkin dapat dilakukan apabila berbagai kekuatan sosial yang
saling bertentangan itu terorganisir dengan jelas.
c. Setiap kelompok yang terlibat
dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan permainan tertentu yang telah
disepakati bersama. Aturan tersebut pada saatnya nanti akan menjamin
keberlangsungan hidup kelompok-kelompok yang bertikai tersebut.
Apabila prasyarat di atas tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang terlibat
konflik, maka besar kemungkinan konflik akan berubah menjadi kekerasan. Secara
umum, kekerasan dapat didefinisikan sebagai perbuatan seseorang atau sekelompok
orang yang menyebabkan cedera atau hilangnya nyawa seseorang atau dapat
menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Sementara itu, secara
sosiologis, kekerasan dapat terjadi di saat individu atau kelompok yang
melakukan interaksi sosial mengabaikan norma dan nilai-nilai sosial yang
berlaku di masyarakat dalam mencapai tujuan masing-masing. Dengan diabaikannya
norma dan nilai sosial ini akan terjadi tindakan-tindakan tidak rasional yang akan
menimbulkan kerugian di pihak lain, namun dapat menguntungkan diri sendiri.
Menurut Soerjono Soekanto, kekerasan (violence) diartikan sebagai
penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda. Sedangkan
kekerasan sosial adalah kekerasan yang dilakukan terhadap orang dan barang,
oleh karena orang dan barang tersebut termasuk dalam kategori sosial tertentu.
"Saya tegaskan bahwa saya tidak setuju adanya plonco dan kekerasan fisik. Saya akan pastikan lewat Kadisdik itu tidak akan terjadi di Kota Bandung," tegas pria yang akrab disapa Emil itu saat ditemui wartawan di Balai Kota Bandung, Jln. Wastukancana, Senin (27/7).
Emil menuturkan, kekerasan fisik dalam masa orientasi tidak akan membuat siswa menjadi lebih baik. Yang diperlukan sekarang, tambahnya, justru soal fokus pada peningkatan karakter siswa agar menjadi lebih sopan dan santun.
"Sudah lewat lah masa perpeloncoan fisik seperti itu. Menurut saya itu warisan jadul, harus dihilangkan. Hadirkanlah MOS yang lebih edukatif dan fokus pada peningkatan karakter. Sekarang dibutuhkan itu anak-anak sekolah Bandung yang lebih sopan dan santun," tuturnya.
Dalam kesempatan itu, Emil juga mengklaim sudah meminta kepada Dinas Pendidikan (Disdik) untuk menyediakan layanan pengaduan. Langkah itu dilakukan untuk menampung adanya pelanggaran pada MOS termasuk soal antisipasi adanya pungutan-pungutan liar.
"Saya sudah minta ke Disdik untuk membuat hotline. Minggu ini kita rilis," ujar Emil.
Lebih lanjut Emil berharap, dengan dihilangkannya praktek perpeloncoan di sekolah-sekolah, Kota Bandung bisa menjadi percontohan daerah kondusif.
"Kota Bandung bisa menjadi percontohan kondusifitas selain toleransi agama supaya tidak terjadi seperti di Tolikara," tegasnya.
Lucky M. Lukman
terimakasih banyak, sangat menarik sekali...
ReplyDelete