BULLYING DI PESANTREN TEMPO DULU
Drs.M.Rakib S.H.,M.Ag..LPMP. Pekanbaru Riau Indonesia 2015, membuat
catatan tentang kekerasan di pesantren Tempo Dulu.
Apakah arti kata bullying ? Istilah
ini di Indonesia masih terdengar asing dan sulit mencari padanannya, untuk itu
mari kita simak beberapa definisi berikut:
o
Menurut kamus Webster, makna dari
kata bullying adalah penyiksaan atau pelecehan yang dilakukan tanpa motif tapi
dengan sengaja dilakukan berulang-ulang terhadap orang yang lebih lemah.
o
Adapun menurut Yayasan SEJIWA,
bullying adalah suatu situasi di mana terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang
dilakukan orang/kelompok kepada seseorang hingga membuat korban merasa
terintimidasi.
o
Secara umum bullying dapat diartikan
sebagai sikap agresi dari seseorang atau kelompok dengan tujuan untuk menyakiti
orang lain baik secara fisik maupun mental.
Sebuah
penelitian yang Disusun Oleh: Farkhan Basyirudin bahwa di
dewasa ini banyak beredar berita
baik di media cetak maupun elektronik mengenai kasus tindak kekerasan yang
ditimbulkan oleh para pelajar. Mulai dari kasus tawuran antar sekolah, geng,
sampai tindak kekerasan dan penindasan siswa sekolah yang dilakukan para senior
kepada juniornya.
Pada
dasarnya perilaku-perilaku yang mengandung unsur tindakan agresivitas yang
sistematis, terencana dan bertujuan dari satu pihak dengan pihak lain melalui
penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang, terjadi secara 2 berulang selama
periode waktu tertentu baik berupa kekerasan
fisik maupun psikologis, merupakan karakteristik khusus yang dikenal dengan
istilah bullying (Sullivan, 2001). Masih menurut Sullivan (2005) Bullying
adalah tindakan negatif, yang bersifat
agresif atau manipulatif dalam rangkaian tindakan yang dilakukan oleh satu
orang atau lebih terhadap orang lain. Biasanya selama periode waktu tertentu yang
didasarkan pada ketidakseimbangan kekuatan. Sedangkan menurut Coloroso (2007), bullying
adalah tindakan intimidasi yang
dilakukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Tindakan penindasan
inidapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti
seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak
berdaya.
Bentuknya bisa bersifat fisik seperti
memukul, menampar, dan memalak. Bersifat verbal seperti memaki, menggosip, dan
mengejek, serta psikologis seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan,
dan mendiskriminasi. Kekerasan dan perilaku negatif ini dapat terjadi di luar
maupun di dalam sekolah. Coloroso (2007) menambahkan, perilaku bullying/bullies
tidak
memperhitungkan alasan mengapa
mereka melakukan bullying tersebut.
Terkadang pelaku hanya mencari
alasan yang dapat diterima atas tindakan yang ia lakukan, misalnya melakukan bullying
untuk mendisiplinkan adik kelas atau korban. Tetapi perilaku tersebut
berlangsung selama periode yang cukup lama dan membuat korban mengalami luka baik
fisik maupun psikologis.
Menurut Lipkins (2008), kebanyakan
mereka menjadi pelaku karena
terbentuk, bukan karena berbakat.
Merekaterbentuk karena pernah menjadi
korban penindasan. Mereka pernah di
tindas, menyaksikan penindasan, dan pada akhirnya sampai tiba giliran mereka
untuk menindas. Mereka itulah para anggota senior yang mempunyai kedudukan penting,
kemampuan yang lebih, atau kepribadiannya yang disegani. Biasanya siswa-siswa
senior berger
ak dalam satu angkatan. Mereka melakukan
bullying terhadap siswa-siswa juniornya karena mereka merasa mendapatkan
kesempatan melakukannya lantaran pernah menjadi korban bullying saat menjadi
siswa junior. Sementara
siswa-siswa korban mereka pun dibina
untuk menyimpan dendam dan kejengkelan yang akan mereka lampiaskan saat mereka
menjadi siswa senior pada angkatan yang akan datang (SEJIWA, 2008). Seperti
halnya kasus yang menyita banyak perhatian masyarakat terjadi di SMAN 82
(3/11/2009). Korban adalah Ade Fauzan, siswa kelas I yang menjadi korban
kekerasan dari siswa kelas III. terpaksa dirawat di RS Pusat Pertamina (RSPP),
Jakarta Selatan karena di pukul dan dikeroyok oleh siswa kelas III hingga pingsan
selama 3 jam. (www.detiknews.com).
Pada kenyataannya, tindak kekerasan
pada remaja tidak hanya berlaku
pada institusi pendidikan SMA saja, melainkan
sudah merambah ke dunia
pesantren. Sebagai contoh kasus, dua
santri Pondok Pesantren (Ponpes) Assalaam di Pabelan, Kartasura, Sukoharjo, masuk
RS Panti Waluyo dipukuli seniornya (13/7/2007). Pemukulan itu dilakukan oleh
para santripembimbing usai santri-santri Takhassus belajar malam. Sebab siswa
Assalaam berasal dari berbagai suku di Indonesia (www.suaramerdeka.com). Setidaknya
berdasarkan data yang dikumpulkan Komnas
Perlindungan Anak (KPA) angka kekerasan di sekolah pada tahun 2009 meningkat
hinga 20% dibanding pada tahun 2008.
Menurut Sekjen KPA, Sirait (2009)
telah terjadi aksi bullying atau kekerasan di sekolah sebanyak 472 kasus. Angka
ini meningkat dari
tahun 2008, yang jumlahnya sebanyak
362 kasus. (www.detiknews.com)
Di Indonesia belum ada data memadai karena
penelitian tentang fenomena
bullying masih baru. Akan tetapi
dari hasil studi yang dilakukan ahli intervensi
bullying asal Amerika, Huneck (2006)
mengungkapkan bahwa 10-16 persen siswa Indonesia melaporkan mendapat ejekan,
cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan ataupun didorong, sedikitnya sekali
dalam seminggu.
(http://run18.multiply.com)
Dijkstra dkk, (2008) menyebutkan bahwa,
dari 3.312 subjek laki-laki dan perempuan,
yang terbagi antara kelompok remaja populer dan non-populer menunjukkan
perilaku bullying oleh rema
ja populer berhubungan pada alasan perbedaan
status sosial yang melekat pada mereka.
Menurut penelitian dari Yayasan
Sejiwa sebuah lembaga swadaya
masyarakat yang peduli dengan
masalah kekerasan di sekolah, melakukan survey pada workshop antibullying pada
28 April 2006. hasil survey ya
ng di hadiri oleh 250 peserta
tersebut, 94,9 % peserta yang hadir menyatakan bahwa bullying memang terjadi di
sekolah-sekolah Indonesia. Namun jenis-jenis tindakan bullying yang mereka
laporkan dalam workshop tersebut amat beragam (SEJIWA, 2008). Dengan banyaknya
fenomena perilaku remaja melakukan tindak kekerasan dan penindasan atau bisa
disebut dengan perilaku
bullying, menimbulkan pertanyaan
mengenai penalaran dan nilai-nilai moral
yang mereka anut sehingga muncul perilaku tersebut.
Menurut Kohlberg perkembangan penalaran
moral manusia terdiri dari
tiga tingkat, yaitu tingkat
pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Masing-masing tingkat
diikuti dengan dua tahap perkembangan
moral (Santrock, 2002). Kohlberg
menambahkan bahwa moralitas pasca-konvensional seharusnya dicapai selama masa
remaja dalam tahap ini individu mempunyai keyakinan moral dan dapat
menyesuaikan diri dengan
standar sosial yang
diinternalisasikan dengan didasarkan pada rasa hormat
kepada orang lain (Hurlock, 1980). kan
tetapi Kohlberg (1995) dalam penelitian empirisnya menyebutkan bahwa tidak
semua orang akan mencapai
tahap tertinggi, melainkan hanya minoritas
kecil yaitu hanya 5 sampai
10 persen dari seluruh penduduk,
bahkan kemudian angka inipun masih diragukannya.
. Diakui pula, suatu saat orang dapat
jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebutnya sebagai “regresi
fungsional”. Senada dengan hal tersebut,
Hurlock (1980) menjelaskan bahwa remaja yang tidak berhasil melakukan peralihan
kedalam tahap moralitas dewasa, maka
tugas tersebut di selesaikan pada
awalmasa dewasa. Sehingga mereka membentuk kode moral berdasarkan tahapan
konsep moral sebelumnya yang secara sosial belum tentu dapat di terima. Artinya,
sesuai yang dikatakan oleh
Yusuf (2002), dengan masih adanya remaja
pada tingkat pra-konvensional atau konvensional, maka tidaklah heran apabila
diantara remaja masih banyak yang melakukan dekadensi moral termasuk didalamnya
perilaku bullying
.
No comments:
Post a Comment