HUKUM
ISLAM SOHIH
LIKULLI ZAMAN WA MAKAN
M.RAKIB SH., M.Ag
Memukul
anak itu adalah perintah Allah.
Sekalipun,
dituduh bertentangan dengan hak asasi Barat,
Tapi
tidak bertentangan dengan hak asasi Allah.
Anak dipukul, supaya mereka tahu
siapa dirinya
Tidak salat, apa akibatnya.
Beruntunglah, ketika mereka tahu
siapa Tuhannya
ketika mereka tunduk menjatuhkan
kening mereka
serata lantai dengan telapak
kakinya
sujud tubuhnya
sujud hatinya
sujud jiwanya
sujud ke-aku-annya
mereka tahu kerendahannya
mereka tahu kekecilannya
mereka tahu kekerdilannya
mereka tahu kehinaanya
mereka tahu ketiadaan dirinnya
mereka menyebut-nyebut nama
Tuhannya
Tuhannya berkata..
Aku yang punya nama
Aku datang
Ketika Tuhannya hadir
Dengan kebesaranNya
betapa takutnya mereka
Ancaman Tuhannya
Siksa Tuhannya
Azab Tuhannya
Neraka Tuhannya
betapa gembiranya mereka
ni’mat Tuhannya
karunia Tuhannya
rahmat Tuhannya
Syurga Tuhannya
betapa cintanya mereka
ketika mereka tahu
Tuhannya mengasihi mereka
Tuhannya menyayangi mereka
Tuhannya mencintai mereka
Dari Fakultas Syariah IAIN Hukum Islam adalah hukum yang dinamis,
keberadaanya relevan (Skripsi: Miswan), setiap saat (Sohih likulli zaman wa
makan), baik dalam ranah konsep maupun penggunaan. Namun karena Islam datangnya
dari negeri Arab, banyak para praktisi hukum kita yang menggunakan dan
mengambil hukum secara utuh seperti yang dilakukan oleh orang arab (Arab
Centris). Padahal secara budaya antara Indonesia dan arab jauh sangat berbeda.
Termasuk pola pegambilan hukum yang dilakukan oleh para hakim agama di
Indonesia. Secara praktek karena begitu banyaknya kasus yang masuk di
pengadilan agama tingkat I, banyak para hakim take for granted dari pasal per
pasal yang disediakan oleh pemerintah, dalam hal ini kalau pernikahan adalah
undang-undang no 1 tahun 1974 atau secara material menggunkan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) secara umum. Padahal kasus hukum selalu berkembang, dan dilihat
dari faktor sosial dan psikologis orang yang berperkara sangatlah berbeda dari
sebelum-sebelumnya. Para hakim masih beraliran positivisme yang mengacu pada
dogma hukum.
Positivisme hukum sudah menjadi panutan di
berbagai produk hukum Indonesia, termasuk Peradilan Agama yang melalui
Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 menggunakan KHI sebagai produk hukum yang
mapan dan menjadi pegangan bagi hakim-hakim agama di seluruh Indonesia. Padahal
permasalahan perdata yang dialami masing-masing dearah ini berbeda-berbeda
secara budaya dan adat. Sebenarnya, kalau ada keinginan menyatukan fikih dalam
sebuah KHI sangat tidak mungkin terjadi. Sebab umat Islam sangat plural mazhab
fikihnya. Oleh karena itu sudah saatnya para hakim juga kembali berijtihad
untuk memutuskan segala persoalan yang ditanganinya sesuai dengan konteks
masyarakat, tidak hanya mengacu pada teks-teks dan realitas terdahulu. Oleh
karena itu, untuk keluar dari dogmaisme tersebut, tokoh-tokoh ushul fiqh
kontemporer menawarkan konsep atau metodologi penafisran hukum sebagai
alternatif pengembangan dunia hukum Islam, tertutama negara-negara yang masih
berqiblat pada formalisme hukum termasuk Indonesia yang merambah pada Pengadilan
Agama.
Gagasan teori Ushul Fiqh Kontemporer
itu lebih menekankan metodologi menafsirkan atau menemukan hukum yang tidak
hanya mengacu pada teks, tapi harus berpacu pada realitas sosial bukan pada
undang-undang atau kepastian hukum semata, kali ini penulis menggunkan contoh
tiga tokoh yang penulis anggap sebagai pemikir Islam kontemporer yang sejalan
dengan hukum kemasyarakatan sekarang yaitu : Fazlur Rahman, dengan menggunakan
konsep double movmentnya, Rahman mencoba menafsirkan ayat atau undang-undang
dengan menghubungkan unsur yang dialektis antara dua unsur yang terdapat dalam
Al-Qur'an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan sebagai sejarah
kemanusian yang profan disisi yang lain. Muhammad Syahrur dengan teori
batasnya, yang menghubungkan antara garis lurus teks dengan menguhungungkan
dengan realitas masyrakat sekarang.
Nasr Hamid Abu Zaid dengan teori ta'wilnya.
Yaitu dihubungkan dengan panafsiran yang tidak hanya mengungkap makna teks
secara linguistik gramatikal saja tetapi lebih jauh lagi menyentuh pada spirit
teks yang nantinya akan terartikulasikan dalam makna signifikansi. Oleh karena
itu dari penjelasan di atas, penulis ingin melakukan penelitian untuk
melahirkan gagasan ijtihad hakim agama di Indonesia yang lebih humanis ditarik
dari relevansinya teori Ushul Fiqh Kontemporer dengan pendekatan ketiga tokoh
tersebut.
Deskripsi Alternatif :
Hukum Islam adalah hukum yang dinamis, keberadaanya relevan setiap saat (Sohih likulli zaman wa makan), baik dalam ranah konsep maupun penggunaan. Namun karena Islam datangnya dari negeri Arab, banyak para praktisi hukum kita yang menggunakan dan mengambil hukum secara utuh seperti yang dilakukan oleh orang arab (Arab Centris). Padahal secara budaya antara Indonesia dan arab jauh sangat berbeda. Termasuk pola pegambilan hukum yang dilakukan oleh para hakim agama di Indonesia. Secara praktek karena begitu banyaknya kasus yang masuk di pengadilan agama tingkat I, banyak para hakim take for granted dari pasal per pasal yang disediakan oleh pemerintah, dalam hal ini kalau pernikahan adalah undang-undang no 1 tahun 1974 atau secara material menggunkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara umum.
Padahal kasus hukum selalu berkembang,
dan dilihat dari faktor sosial dan psikologis orang yang berperkara sangatlah
berbeda dari sebelum-sebelumnya. Para hakim masih beraliran positivisme yang
mengacu pada dogma hukum. Positivisme hukum sudah menjadi panutan di berbagai
produk hukum Indonesia, termasuk Peradilan Agama yang melalui Instruksi
Presiden Nomor 1 tahun 1991 menggunakan KHI sebagai produk hukum yang mapan dan
menjadi pegangan bagi hakim-hakim agama di seluruh Indonesia. Padahal
permasalahan perdata yang dialami masing-masing dearah ini berbeda-berbeda
secara budaya dan adat. Sebenarnya, kalau ada keinginan menyatukan fikih dalam
sebuah KHI sangat tidak mungkin terjadi. Sebab umat Islam sangat plural mazhab
fikihnya.
Oleh karena itu sudah saatnya para hakim juga kembali berijtihad untuk
memutuskan segala persoalan yang ditanganinya sesuai dengan konteks masyarakat,
tidak hanya mengacu pada teks-teks dan realitas terdahulu. Oleh karena itu,
untuk keluar dari dogmaisme tersebut, tokoh-tokoh ushul fiqh kontemporer
menawarkan konsep atau metodologi penafisran hukum sebagai alternatif
pengembangan dunia hukum Islam, tertutama negara-negara yang masih berqiblat
pada formalisme hukum termasuk Indonesia yang merambah pada Pengadilan Agama.
Gagasan teori Ushul Fiqh Kontemporer itu lebih menekankan metodologi
menafsirkan atau menemukan hukum yang tidak hanya mengacu pada teks, tapi harus
berpacu pada realitas sosial bukan pada undang-undang atau kepastian hukum
semata, kali ini penulis menggunkan contoh tiga tokoh yang penulis anggap
sebagai pemikir Islam kontemporer yang sejalan dengan hukum kemasyarakatan
sekarang yaitu : Fazlur Rahman, dengan menggunakan konsep double movmentnya,.
Rahman mencoba menafsirkan ayat atau
undang-undang dengan menghubungkan unsur yang dialektis antara dua unsur yang
terdapat dalam Al-Qur'an yaitu wahyu ketuhanan yang suci di satu sisi dan
sebagai sejarah kemanusian yang profan disisi yang lain. Muhammad Syahrur
dengan teori batasnya, yang menghubungkan antara garis lurus teks dengan
menguhungungkan dengan realitas masyrakat sekarang. Nasr Hamid Abu Zaid dengan
teori ta'wilnya. Yaitu dihubungkan dengan panafsiran yang tidak hanya
mengungkap makna teks secara linguistik gramatikal saja tetapi lebih jauh lagi
menyentuh pada spirit teks yang nantinya akan terartikulasikan dalam makna
signifikansi. Oleh karena itu dari penjelasan di atas, penulis ingin melakukan
penelitian untuk melahirkan gagasan ijtihad hakim agama di Indonesia yang lebih
humanis ditarik dari relevansinya teori Ushul Fiqh Kontemporer dengan
pendekatan ketiga tokoh tersebut.
No comments:
Post a Comment