BAGAIMANA MENGHUKUM
GURU BESAR YANG ZALIM?
(Kejadian Di Luar Negeri)
Walaupun kejadian ini di luar negeri tapi dapat
dijadikan I’tibar
Mahasiswa Terheran-Heran mengapa guru Profesor Doktor bisa tega menzalimi
mahasiswanya yang sudah terdesak, kuliah sudah 8 tahun, perbaikan disertasi
sudah 21 kali, tidak kunjung ditandatangani. Ketika Mahasiswa Memahami Hukum
Adalah Sebagai Panglima untuk menjawab persoalan mahasiswa yang teraniaya,
memutuskan, ataupun menyelesaikan suatu perkara di luar kampus atau kasus lain,
ternyata sang profesor zalim itu tidak
kena hukuman. Tidak sedikit peraturan perundangan sebagai hukum tersebut mandul
tidak melahirkan apa yang diharapkan mahasiswa atau masyarakat itu sendiri. Mirip dengan pendaapat
Mahfud MD. Dalam bukunya “Politik Hukum di Indonesia” bahwa :
…Mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu
dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat,
atau penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak
mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak
dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam
menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan
banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan pemegang kekuasaan dominan…
Menurut Amir Sabri.
Template Awesome Inc.. Diberdayakan oleh Blogger. Secara jujur saja
kita harus katakan bahwa sebuah hukum yang demokratis yang berlaku juga untuk
guru besar penguji, pembimbing aturan adalah selalu membesut dari bumi.
Artinya, ia merupakan perwujudan dari nilai-nilai yang melembaga didalam
masyarakat yang menjadi sasarannya, kemudian untuk dengan arif menata dan
menyinergikan persilangan kepentingan yang juga harus dipelihara, senyatanya
terjadi dalam tabel hidup dimasyarakat. Lebih dari itu, terutama didunia
modren, hukum bahkan kemudian meluaskan fungsinya untuk melakukan social engineering, rekayasa sosial,
menciptakan sebuah masyarakat yang menjadi cita-cita sebuah bangsa yang
menamakan dirinya sebagai negara hukum. Hukum adalah hasil ciptaan masyarakat,
tetapi sekaligus ia juga menciptakan masyarakat. Sehingga konsep dalam berhukum
seyogyanya adalah sejalan dengan perkembangan masyarakatnya. Kalau kita
menyorot konsepsi Nonet dan Selznick bahwa “Perkembangan hukum sejalan dengan
perkembangan Negara:”
Represif,
adalah saat negara poverty of power,
sumber daya kekuasaanya lemah sehingga harus represif.
Otonom, adalah
saat kepercayaan kepada negara semakin meningkat, pembangkangan mengecil.
Birokrasi dipersempit menjadi rasional, hukum dibuat oleh dan secara
profesional dilembaga-lembaga negara tanpa kontaminasi dan subordinasi oleh
negara.
Responsif, adalah
untuk mengatasi kekakuan dan tak sensitifnya hukum terhadap perkembangan
sosial. Senantiasa dikurangi dan kewenangan membuat hukum diserahkan kepada
unit-unit kekuasaan yang lebih rendah agar lebih memahami inti persoalan
masyarakat.
Kalau kita mau melihat bagaimana
bangunan hukum, maka bagian yang tidak terpisahkan adalah penegakan hukum (law enforcement), bagaimana
penegakan hukum kita, paling tidak ada penegakan hukum dalam arti luas dan ada
pula dalam arti sempit. Dalam arti luas adalah melingkupi pelaksanaan dan
penerapan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang
dilakukan oleh subyek hukum, kalau dalam artian sempit adalah kegiatan
penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan
perundang-undangan.
Dalam hal penegakan hukum, yang
paling pokok disamping yang lain adalah bagaimana meningkatkan kualitas proses
pembudayaan hukum sesuai dengan budaya masing-masing tempat, pemasyarakatan
sehingga sistem komunikasi dan sosialisasi menjadi yang utama, dan tidak kalah
pentingnya adalah pendidikan hukum (law
socialization and law education) sehingga dengan pendidikan hukum
tersebut menjadikan proses pendewasaan dalam berhukum termasuk pendidikan
politik kaitannya dengan hukum. Philipe Nonet dan Philip Selzbick dalam
pandangannya sangat fokus terhadap pengayaan dalam ilmu hukum terutama dalam
menganalisis institusi-institusi hukum.
Bangkitnya ilmu sosial berkontribusi
dalam ranah ilmu hukum terutama ilmu politik sangat signifikan terhadap
perubahan dan perkembangan didunia hukum. Nonet dan Selznick menyatakan:
…..Politik pada saat itu menempatkan keadilan pada urutan
teratas dalam agenda kepentingan publik. Hak-hak sipil, kemiskinan, kejahatan,
protes massal, kerusuhan kaum urban, kerusakan lingkungan, dan penyalahgunaan
kekuasaan, semua itu, tidak seperti masa-masa sebelumnya, dipandang sebagai
masalah sosial yang sangat urgen untuk dipecahkan…..
….perubahan hukum akan datang melalui proses politik, bukan
dari pelaksanaan kebebasan atau keleluasaan yang ada pada agen-agen hukum yag
merespons tuntutan-tuntutan yang bersifat partisan.
Untuk menuntut bagaimana
tahapan-tahapan evolusi bangsa Indonesia dalam berhukum terutama kaitannya
dengan ketertiban sosial politik hukum sejak zaman kolonial sampai kemerdekaan
telah melalui beberapa tahapan, namun kita harus mengakui bahwa pada zaman
kolonial dengan tidak mengabaikan kejahatan dari arti penjajahan itu sendiri,
sesungguhnya dalam hal penegakan hukum adalah sangat baik karena cara
berhukumnya pada saat itu mengikuti karakteristik perkembangan masyarakatnya,
yaitu bagi golongan Eropa dihormati berlakunya hukum Eropa dan bagi bangsa
Indonesia (pribumi) dihormati diberlakukannya juga hukum sebagaimana
karakteristik budaya, adat setempat, dan sangat memelihara (walau tidak sama
dengan menghargai) nilai-nilai agama sehingga kebijakan dualisme tersebut
membuat tegaknya bangunan hukum relatif mampu mengelola bukan saja berbagai kepentingan
tetapi juga berabad-abad lamanya mampu mencengkramkan jajahannya di Indonesia
Raya ini. Dalam hal ini secara tegas Prof. Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan
dalam bukunya “Hukum dalam masyarakat bahwa:
Hukum Eropa dinyatakan berlaku untuk penduduk golongan
Eropa, sedangkan untuk golongan pribumi tetap diakui berlakunya kebiasaan, adat
istiadat dan pranata agama mereka, dengan catatan selama tidak bertentangan
dengan apa yang disebut “asas kepatutan dan adab yang baik”. Semua itu tersebut
dalam pasal 75 Reglemen Tata Pemerintahan Hindia Belanda (Indische Regeringsreglement) dari
tahun 1854.
No comments:
Post a Comment