KEKERASAN
AKADEMIK DI UNIVERSITAS
Kekerasan Akademik, dosen yang diktator, ada pula WC fakultas yang kotor, dan ruang belajar yang tidak
layak, serta fasilitas kampus yang tidak memadai. Mahasiswa menjadi korban
“perkelahian” dua kubu akademisi tersebut. Kekerasan akademik adalah hal paling
terkutuk yang tega dilakukan birokrasi terhadap mahasiswa. Mengancam skorsing
dan drop out adalah senjata birokrasi untuk menakut-nakuti
mahasiswa yang turun aksi.
Bagi
mahasiswa, ancaman
itu adalah pembodohan yang dilakukan orang terhormat. Sama dengan
anggapan Cicreo, ancaman itu tidak dibenarkan dilakukan oleh seorang pejabat. Permasalahan
itu membuat lembaga mahasiswa memiliki “kepentingan” agar kejadian seperti itu
tidak terulang lagi.
Kebenaran
memang berbeda sekedip mata dengan ketidakbenaran. Dosen mungkin kecewa dengan
dekan, begitupun mahasiswa. Aksi yang dilakukan tim dosen tersebut setidaknya
membuktikan bahwa bukan lembaga mahasiswa saja yang resah terhadap kemiskinan
hati pemimpin kita untuk berbuat lebih baik bagi “warganya”.
Dalam
novel Imperium karya Robert Harris, Tokoh Marcus Tellius Cicero
adalah pengacara yang berani menggugat pemangku jabatan gubernur Roma, Verres.
Korupsi yang dilakukan gubernur itu memang keterlaluan, ia tega memiskinkan
banyak penduduk kota.
Kisah
dimulai ketika Tiro, sekretaris pribadi senator Romawi, Marcus Tullius Cicero,
membuka pintu pada suatu hari bulan november yang dingin dan menemukan seorang
pria tua yang ketakutan, penduduk Sisilia yang menjadi korban perampokan
gubernur Romawi korup, Verres. Orang itu meminta Cicero mewakilinya menuntut
sang gubernur. Namun, bagaimana seorang senator yang tidak kaya, tak dikenal,
bahkan dibenci kaum aristokrat, dapat memulai tuntutan terhadap seorang
gubernur Romawi yang kejam dan memiliki pendukung di tempat tinggi?
***
Fakultas kita saat ini mengalami krisis kepercayaan. Dekan yang memimpin
telah mencoreng statuta Universitas Hasanuddin, seperti itulah yang diungkapkan
Guru Besar Fakultas Sastra, Prof. Dr. H. Muhammad Darwis, MS dalam orasinya di
depan Gedung Mattulada, bersama beberapa dosen yang kecewa melihat Fakultas
Sastra saat ini.
Mereka turun aksi menuntut Dekan Prof. Dr. Burhanuddin Arafah agar memperbaiki kinerja dan kepemimpinanya. Permasalahan yang berbelit-belit seperti tidak pernahnya terselenggara rapat senat untuk pembahasan program kerja dan anggaran serta pertanggung jawaban dekan, pemilihan ketua, dan sekretaris jurusan tanpa memperoleh pengesahan senat, serta lembaga senat fakultas yang dibiarkan lowong selama lebih delapan bulan sehingga telah menyalahi statuta fakultas. Masalah itu memang mengundang berbagai kecaman dan menyulut kemarahan warga fakultas sastra.
Berniat
Untuk Pindah Kampus,
atmosfer kampus menjadi buruk, kualitas proses belajar mengajar menurun.Sekiranya
civitas akademik pada dunia pendidikan tinggi harus memiliki kepekaan terhadap
lingkungan internal dan eksternal yang menjadi salah satu penyebab terjadinya
tindak kekerasan dalam dunia pendidikan. Introspeksi diri juga harus dilakukan
bagi civitas akademik, meliputi peraturan akademik sampai dengan etika, sarana
dan prasarana. Khususnya, tentang peraturan akademik di buat apakah dapat
menekan terjadinya tindak kekerasan atau justru memiliki peluang tinggi untuk
memicu terjadinya tindak kekerasan. Demikian juga, dosen harus peka terhadap
mahasiswa ketika melihat mahasiswa yang menunjukkan perilaku agresif dalam
kampus.
Isa Wahyudi Direktur Inspire Indonesia menyatakan, “Tindak
kekerasan di dunia pendidikan sudah lama dan sering terjadi.” Bullying pada
siswa di SMA 34 Pondok Labu Jakarta Selatan bukan satu-satunya tindak kekerasan
yang telah terjadi disekolah, tetapi diperkirakan juga merebak di
sekolah-sekolah lain. Lebih ironis, tindak kekerasan juga terjadi pada
mahasiswa dan civitas academic di beberapa perguruan tinggi di negeri ini yang
notabene sebagai lembaga yang lebih mengedepankan intelektualitas.
Tindak kekerasan memiliki beragam bentuk mulai dari kejahatan kecil sampai dengan ancaman yang membahayakan kehidupan seseorang. Sumber kekerasan karena tindak aktor atau kelompok aktor, kekerasan juga lahir dari sebuah produk struktur dan kekerasan bisa berasal dari jejaringan antara aktor dengan struktur sampai kekerasan yang paling nyata juga diperlihatkan oleh struktur seperti perguruan tinggi, lembaga pemerintah dan bahkan negara. Kekerasan bukan hanya dapat dilihat dari bentuk, aktor yang terlibat, idiologi yang diyakini melainkan sudah menginternalisasi dan menjadi watak kepribadian seseorang atau kelompok. Kekerasan yang paling parah adalah kekerasan kultural sebagai bentuk kekerasan yang melestarikan kekerasan personal maupun kekerasan struktural.
Tindak kekerasan memiliki beragam bentuk mulai dari kejahatan kecil sampai dengan ancaman yang membahayakan kehidupan seseorang. Sumber kekerasan karena tindak aktor atau kelompok aktor, kekerasan juga lahir dari sebuah produk struktur dan kekerasan bisa berasal dari jejaringan antara aktor dengan struktur sampai kekerasan yang paling nyata juga diperlihatkan oleh struktur seperti perguruan tinggi, lembaga pemerintah dan bahkan negara. Kekerasan bukan hanya dapat dilihat dari bentuk, aktor yang terlibat, idiologi yang diyakini melainkan sudah menginternalisasi dan menjadi watak kepribadian seseorang atau kelompok. Kekerasan yang paling parah adalah kekerasan kultural sebagai bentuk kekerasan yang melestarikan kekerasan personal maupun kekerasan struktural.
Kekerasan adalah perbuatan yang dapat
berupa fisik maupun non fisik, dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak
berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang merugikan pada korban
(fisik atau psikis) yang tidak dikendaki oleh korban. Kekerasan terhadap
perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedan jenis kelamin yang
berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual,
psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Menurut satu skripsi yang masuk ke
internet, pada tahun 1992, penegasan bahwa kekerasan sebagai salah satu bentuk diskriminasi
terhadap perempuan merupakan memontum yang penting bagi advokasi gerakan
penegak hak-hak asasi manusia khususnya hak asasi perempuan. Penegasan ini
dilatari oleh penajaman konsep hak asasi manusia tersebut telah ditegaskan oleh
Komite PBB yaitu tentang penghapusan diskriminasi. Seiring dengan
dikeluarkannya duapuluh butir rekomendasi khusus dari Komite PBB tersebut yang
isinya mengenai landasan aksi yang harus dilakukan oleh Negara
-
Negara peserta Konvensi Penghapusan
Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Dari latar
belakang ini mulai terjadi kemajuan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
masalah kekerasan terhadap perempuan baik yang 4,7,9Universitas Sumatera Utaradilakukan
oleh pemerintah maupun masyarakat diberbagai negara termasuk Indonesia
No comments:
Post a Comment