TERNYATA MEMUKUL ANAK
TIDAK SHALAT BESAR HIKMAHNYA
Catatan M.Rakib SH.,M.Ag Pekanbaru Riau Indonesia. 2015
Penulis setuju dengan pendapat Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu
‘Imran)
Anak
tak selamanya harus disikapi lembut. Terkadang kita perlu menghukumnya karena
kenakalan atau kesalahan mereka. Tentunya semua itu dalam bingkai pendidikan.
Sehingga tidak bertindak berlebihan yang justru mempengaruhi kejiwaan si anak.
Saat
ini di bawah Children Act 2004, orangtua dibenarkan melakukan kekerasan pada
anak dengan alasan rasional dan tidak menimbulkan luka atau bekas.Peneliti
menanyai 179 anak belasan tahun mengenai seberapa sering mereka mereka dihukum
secara fisik saat mereka anak-anak dan berapa usia mereka saat terakhir
dipukul.
Jawaban mereka kemudian dibandingkan
dengan informasi yang mereka berikan tentang kelakuann yang sekiranya
terpengaruh akibat dipukul. Informasi itu termasuk kelakuan antisosial,
aktivitas seksual dini, kekerasan dan depresi, juga aspek positif tentang sukses
sacara akademik dan ambisi.
Anak, bagaimanapun juga tak terlepas
dari berbagai macam tingkah dan polahnya. Beragam perilaku dapat kita saksikan
pada diri mereka. Masing-masing anak dalam satu keluarga pun seringkali berbeda
perangainya. Terkadang di antara mereka ada yang nampak amat patuh dan sangat
mudah diatur. Sedangkan yang lain, demikian bandel atau sering melakukan
berbagai pelanggaran.
Yang demikian ini tentu tak boleh dibiarkan. Mau tak mau, orang tua harus mengetahui seluk-beluk mengarahkan anak. Haruskah segala keadaan dihadapi dengan kelemahlembutan dan penuh toleransi? Atau sebaliknya, selalu diatasi dengan hardikan dan wajah yang garang?
Selayaknya orang tua mengetahui sisi-sisi yang perlu dipertimbangkan ketika hendak menghukum anak, karena setiap keadaan menuntut sikap yang berbeda. Orang tua perlu meninjau, apakah permasalahan yang terjadi merupakan sesuatu yang betul-betul tercela atau tidak? Apakah si anak yang melakukannya mengetahui akan kejelekan dan bahaya hal tersebut, ataukah dia dalam keadaan tidak mengerti tentang hal itu maupun hukumnya?
Pada dasarnya, orang tua perlu menyertakan kelemahlembutan dalam mengarahkan anak-anaknya. Demikianlah contoh yang dapat ditemukan dari sosok Rasulullah teladan dalam mengarahkan dan membimbing umat beliau. Bahkan demikianlah sifat Rasulullah n yang disebutkan dalam Kitabullah:
“Maka karena rahmat Allah-lah engkau
bersikap lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap kaku dan keras
hati, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)
Al-Hasan Al-Bashri t mengatakan: “Ini adalah akhlak Muhammad n yang Allah I utus dengan membawa akhlak ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/106)
Bukankah termasuk kewajiban terbesar dan perkara terpenting bagi seseorang untuk meneladani akhlak beliau yang mulia ini? Serta bergaul dengan manusia sebagaimana beliau bergaul, dengan sikap lembut, akhlak yang baik dan melunakkan hati mereka, dalam rangka menunaikan perintah Allah I dan memikat hati hamba-hamba Allah I untuk mengikuti agama-Nya? (Taisirul Karimir Rahman, hal. 154)
Begitu banyak anjuran Rasulullah n untuk bersikap lemah lembut. Di antaranya disampaikan oleh istri beliau, ‘Aisyah x, ketika beliau bersabda:
Al-Hasan Al-Bashri t mengatakan: “Ini adalah akhlak Muhammad n yang Allah I utus dengan membawa akhlak ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/106)
Bukankah termasuk kewajiban terbesar dan perkara terpenting bagi seseorang untuk meneladani akhlak beliau yang mulia ini? Serta bergaul dengan manusia sebagaimana beliau bergaul, dengan sikap lembut, akhlak yang baik dan melunakkan hati mereka, dalam rangka menunaikan perintah Allah I dan memikat hati hamba-hamba Allah I untuk mengikuti agama-Nya? (Taisirul Karimir Rahman, hal. 154)
Begitu banyak anjuran Rasulullah n untuk bersikap lemah lembut. Di antaranya disampaikan oleh istri beliau, ‘Aisyah x, ketika beliau bersabda:
“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah
itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Allah memberikan pada kelembutan apa
yang tidak Dia berikan pada kekerasan dan apa yang tidak Dia berikan pada yang
lainnya.” (HR. Muslim no. 2593)
Maknanya, Allah I memberikan pahala atas kelembutan yang tidak Dia berikan pada yang lainnya. Al-Qadhi mengatakan bahwa maknanya, dengan kelembutan itu akan dapat meraih berbagai tujuan dan mudah mencapai apa yang diharapkan, yang tidak dapat diraih dengan selainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/144)
Demikian pula ‘Aisyah x mengisahkan bahwa Rasulullah r pernah memerintahkan kepadanya:
Maknanya, Allah I memberikan pahala atas kelembutan yang tidak Dia berikan pada yang lainnya. Al-Qadhi mengatakan bahwa maknanya, dengan kelembutan itu akan dapat meraih berbagai tujuan dan mudah mencapai apa yang diharapkan, yang tidak dapat diraih dengan selainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/144)
Demikian pula ‘Aisyah x mengisahkan bahwa Rasulullah r pernah memerintahkan kepadanya:
“Hendaklah engkau bersikap lembut.
Karena tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu, kecuali pasti memperindahnya.
Dan tidaklah kelembutan itu tercabut dari sesuatu, kecuali pasti
memperjeleknya.” (HR. Muslim no. 2594)
Maksudnya, hendaklah engkau bersikap lembut dengan berlemah lembut kepada siapa pun yang ada di sekitarmu, sederhana dalam segala sesuatu dan menghukum dengan bentuk yang paling ringan dan paling baik. (Faidhul Qadir, 4/334)
Dalam riwayat dari Jarir bin Abdillah z, Rasulullah n bersabda:
Maksudnya, hendaklah engkau bersikap lembut dengan berlemah lembut kepada siapa pun yang ada di sekitarmu, sederhana dalam segala sesuatu dan menghukum dengan bentuk yang paling ringan dan paling baik. (Faidhul Qadir, 4/334)
Dalam riwayat dari Jarir bin Abdillah z, Rasulullah n bersabda:
“Barangsiapa
yang terhalang dari kelembutan, dia akan terhalang dari kebaikan.” (HR. Muslim
no. 2592)
Oleh karena itu, apabila orang tua ingin memperbaiki keadaan anaknya, hendaknya menggunakan kata-kata yang lembut dan berbagai bentuk anjuran. Apabila tidak memungkinkan menggunakan kata-kata yang baik, maka dapat digunakan ucapan yang mengandung hardikan, juga ancaman sesuai dengan kesalahan dan perbuatan dosa yang dilakukan. Apabila hal itu tidak dapat dilakukan dan tidak memberi manfaat, maka saat itulah dibutuhkan pukulan.
Namun bagaimanapun, keadaan setiap anak berbeda. Demikian pula tabiat mereka. Di antara mereka ada yang cukup dengan pandangan mata untuk mendidik dan memarahinya, dan hal itu sudah memberikan pengaruh yang cukup mendalam serta membuatnya berhenti dari kesalahan yang dilakukannya. Ada anak yang bisa mengerti dan memahami maksud orang tua ketika orang tua memalingkan wajahnya sehingga dia berhenti dari kesalahannya. Ada yang cukup diberi pengarahan dengan kata-kata yang baik. Ada pula anak yang tidak dapat diperbaiki kecuali dengan pukulan. Tidak ada yang memberi manfaat padanya kecuali sikap yang keras. Saat itulah dibutuhkan pukulan dan sikap keras sekedar untuk memperbaiki keadaan si anak dengan tidak melampaui batas. Ibarat seorang dokter yang memberikan suntikan kepada seorang pasien. Suntikan itu memang akan terasa sakit bagi si pasien, namun itu hanya diberikan sesuai kadar penyakitnya. Sehingga boleh seseorang bersikap keras terhadap anak-anaknya manakala melihat mereka lalai atau mendapati kesalahan pada diri mereka. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 170-171)
Rasulullah r memerintahkan orang tua untuk memukul anaknya apabila mereka enggan menunaikan shalat ketika telah berusia 10 tahun. Demikian yang disampaikan Abdul Malik bin Ar-Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah r bersabda:
Oleh karena itu, apabila orang tua ingin memperbaiki keadaan anaknya, hendaknya menggunakan kata-kata yang lembut dan berbagai bentuk anjuran. Apabila tidak memungkinkan menggunakan kata-kata yang baik, maka dapat digunakan ucapan yang mengandung hardikan, juga ancaman sesuai dengan kesalahan dan perbuatan dosa yang dilakukan. Apabila hal itu tidak dapat dilakukan dan tidak memberi manfaat, maka saat itulah dibutuhkan pukulan.
Namun bagaimanapun, keadaan setiap anak berbeda. Demikian pula tabiat mereka. Di antara mereka ada yang cukup dengan pandangan mata untuk mendidik dan memarahinya, dan hal itu sudah memberikan pengaruh yang cukup mendalam serta membuatnya berhenti dari kesalahan yang dilakukannya. Ada anak yang bisa mengerti dan memahami maksud orang tua ketika orang tua memalingkan wajahnya sehingga dia berhenti dari kesalahannya. Ada yang cukup diberi pengarahan dengan kata-kata yang baik. Ada pula anak yang tidak dapat diperbaiki kecuali dengan pukulan. Tidak ada yang memberi manfaat padanya kecuali sikap yang keras. Saat itulah dibutuhkan pukulan dan sikap keras sekedar untuk memperbaiki keadaan si anak dengan tidak melampaui batas. Ibarat seorang dokter yang memberikan suntikan kepada seorang pasien. Suntikan itu memang akan terasa sakit bagi si pasien, namun itu hanya diberikan sesuai kadar penyakitnya. Sehingga boleh seseorang bersikap keras terhadap anak-anaknya manakala melihat mereka lalai atau mendapati kesalahan pada diri mereka. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 170-171)
Rasulullah r memerintahkan orang tua untuk memukul anaknya apabila mereka enggan menunaikan shalat ketika telah berusia 10 tahun. Demikian yang disampaikan Abdul Malik bin Ar-Rabi’ bin Sabrah dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah r bersabda:
“Perintahkanlah anak untuk shalat
ketika telah mencapai usia tujuh tahun. Dan bila telah berusia sepuluh tahun,
pukullah dia bila enggan menunaikannya.” (HR. Abu Dawud no. 494, dan dikatakan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasan shahih)
Banyak contoh yang dapat dilihat dari para pendahulu kita yang shalih. Di antaranya dikisahkan oleh Nafi’ t, maula (bekas budak) Abdullah bin ‘Umar c:
Banyak contoh yang dapat dilihat dari para pendahulu kita yang shalih. Di antaranya dikisahkan oleh Nafi’ t, maula (bekas budak) Abdullah bin ‘Umar c:
“Bahwasanya Abdullah bin ‘Umar z
apabila mendapati salah seorang anggota keluarganya bermain dadu, beliau
memukulnya dan memecahkan dadu itu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no.
1273. Asy-Syaikh Al-Albani t berkata dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul
isnad mauquf)
Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah x, sebagaimana penuturan Syumaisah Al-’Atakiyyah:
Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah x, sebagaimana penuturan Syumaisah Al-’Atakiyyah:
“Pernah
disebutkan tentang pendidikan bagi anak yatim di sisi ‘Aisyah x, maka beliau
pun berkata, ‘Sungguh, aku pernah memukul anak yatim yang ada dalam asuhanku
hingga dia telungkup menangis di tanah.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad
no. 142, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabul Mufrad:
shahihul isnad)
Akan tetapi, ada yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Orang tua tidak diperkenankan memukul wajah. Hal ini secara umum dilarang Rasulullah r, sebagaimana dalam hadits Abi Hurairah z:
Akan tetapi, ada yang perlu diperhatikan dalam hal ini. Orang tua tidak diperkenankan memukul wajah. Hal ini secara umum dilarang Rasulullah r, sebagaimana dalam hadits Abi Hurairah z:
“Apabila
salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.” (HR.
Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)
Para ulama mengatakan bahwa ini adalah larangan memukul wajah secara tegas. Karena wajah merupakan sesuatu yang lembut yang terkumpul padanya seluruh keindahan. Anggota-anggota tubuh yang ada di wajah demikian berharga, dan sebagian besar penginderaan seseorang diperoleh dengan anggota tubuh tersebut. Sehingga terkadang pukulan di wajah bisa menghilangkan atau mengurangi fungsi anggota tubuh itu, terkadang pula menjadikan wajah cacat. Sementara cacat di wajah itu sendiri demikian buruk karena nampak jelas dan tidak mungkin ditutupi. Dan pada umumnya pukulan di wajah itu tidak lepas dari kemungkinan timbulnya cacat. Termasuk pula dalam larangan ini seseorang yang memukul istri, anak, ataupun budaknya dalam rangka mendidik, hendaknya dia hindari wajah. (Syarh Shahih Muslim, 16/164)
Hal lain yang perlu diperhatikan pula, pukulan pada si anak adalah semata-mata dalam rangka mendidik.
Para ulama mengatakan bahwa ini adalah larangan memukul wajah secara tegas. Karena wajah merupakan sesuatu yang lembut yang terkumpul padanya seluruh keindahan. Anggota-anggota tubuh yang ada di wajah demikian berharga, dan sebagian besar penginderaan seseorang diperoleh dengan anggota tubuh tersebut. Sehingga terkadang pukulan di wajah bisa menghilangkan atau mengurangi fungsi anggota tubuh itu, terkadang pula menjadikan wajah cacat. Sementara cacat di wajah itu sendiri demikian buruk karena nampak jelas dan tidak mungkin ditutupi. Dan pada umumnya pukulan di wajah itu tidak lepas dari kemungkinan timbulnya cacat. Termasuk pula dalam larangan ini seseorang yang memukul istri, anak, ataupun budaknya dalam rangka mendidik, hendaknya dia hindari wajah. (Syarh Shahih Muslim, 16/164)
Hal lain yang perlu diperhatikan pula, pukulan pada si anak adalah semata-mata dalam rangka mendidik.
Yang dimaksud dengan pukulan yang
mendidik adalah pukulan yang tidak membahayakan. Sehingga tidak diperkenankan
seorang ayah memukul anaknya dengan pukulan yang melukai, tidak boleh pula
pukulan yang bertubi-tubi tanpa ada keperluan. Namun bila dibutuhkan, misalnya
sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah
boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai. Karena
Rasulullah r memerintahkan orang tua untuk memukul bukan untuk menyakiti si
anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. (Syarh Riyadhish
Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/123-124)
Semua ini perlulah kiranya untuk diketahui oleh orang tua yang hendak mengarahkan anak-anak mereka, mengingat tanggung jawab yang dibebankan ke pundak mereka, manakala Rasulullah r bersabda:
Semua ini perlulah kiranya untuk diketahui oleh orang tua yang hendak mengarahkan anak-anak mereka, mengingat tanggung jawab yang dibebankan ke pundak mereka, manakala Rasulullah r bersabda:
“Ketahuilah,
setiap kalian adalah penanggung jawab dan akan ditanyai tentang tanggung
jawabnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia adalah penanggung jawab dan
kelak akan ditanya tentang mereka. Seorang laki-laki adalah penanggung jawab
atas keluarganya dan kelak dia akan ditanya tentang mereka. Seorang istri
adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak suaminya, dan kelak akan
ditanya. Seorang hamba sahaya adalah penanggung jawab harta tuannya dan kelak dia
akan ditanya tentangnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan
kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5188 dan
Muslim no. 1829)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
London-Penelitian
menunjukkan bahwa anak sampai usia enam tahun yangh mendapat hukuman fisik
prestasi di sekolah lebih baik dan lebih optimistis dibanding rekan mereka yang
tidak pernah dipukul (keerasan fisik) oleh orangtua mereka.
Penelitian
yang dilakukan di AS ini tentu saja memicu pro-kontra dan membuat marah aktivis
antikekerasan pada anak-anak. Mereka selama ini gagal untuk mencegah hukuman
fidsik pada anak-anak di Inggris.
Saat
ini di bawah Children Act 2004, orangtua dibenarkan melakukan kekerasan pada
anak dengan alasan rasional dan tidak menimbulkan luka atau bekas.
Peneliti
menanyai 179 anak belasan tahun mengenai seberapa sering mereka mereka dihukum
secara fisik saat mereka anak-anak dan berapa usia mereka saat terakhir
dipukul.
Jawaban
mereka kemudian dibandingkan dengan informasi yang mereka berikan tentang
kelakuann yang sekiranya terpengaruh akibat dipukul. Informasi itu termasuk
kelakuan antisosial, aktivitas seksual dini, kekerasan dan depresi, juga aspek
positif tentang sukses sacara akademik dan ambisi.
Mereka
yang dipukul sampai usia enam tahun menunjukkan performa lebih baik pada hampir
semua aspek kategori positif dan tidak lebih buruk pada aspek negatif dibanding
mereka yang tidak pernah dipukul.
diceples
diceples
diceples
Remaja
yang masih mendapat hukuman fisik dari usia tujuh sampai 11 tahun juga lebih
sukses sekolahnya dibanding yang tidak mendapat hukuman fisik, tetapi pada
aspek negatifnya lebih buruk, seperti suka berkelahi.
Marjorie
Gunnoe, professor of psychology di Calvin College in Grand Rapids, Michigan
yang meneliti masalah ini mengatakan tidak ada perbedaan antara pria dan wanita
serta ras.
Namun
penelitian ini ditolak oleh organisasi National Society for the Prevention of
Cruelty to Children (NSPCC), yang melarang hukuman fisik pada anak. “Pemelitian
lain menunjukkan hukuman fisik mempengaruhi perilaku dan perkembangan mental,
dan membuat mereka menjadi antisosil,” demikian jurubicara NSPCC.
Namun kelompok lain yakni Parents Outloud, menerima baik hasil penelitian ini, dan mengatakan bahwa orangtua seharusnya tidak dihukum melakukan hukuman fisik ringan. “Sangat sulit menerangkan secara verbal pada anak mengapa sesuatu yang mereka telah lakukan salah,” kata Margaret Morrissey, jurubicara.telegraph/rr
Namun kelompok lain yakni Parents Outloud, menerima baik hasil penelitian ini, dan mengatakan bahwa orangtua seharusnya tidak dihukum melakukan hukuman fisik ringan. “Sangat sulit menerangkan secara verbal pada anak mengapa sesuatu yang mereka telah lakukan salah,” kata Margaret Morrissey, jurubicara.telegraph/rr
No comments:
Post a Comment