KEJAHATAN ANAK PEJABAT
ANAK-ANAK
MELAKUKAN PERBUATAN JAHAT
Catatan
M.Rakib SH.,M.Ag. LPMP Pekanbaru Riau Indonesia
Tanggal
18 September 1970 Sumarijem yang saat itu berusia 18 tahun tengah menanti bus
di pinggir jalan dan tiba-tiba diseret masuk kedalam sebuah mobil oleh beberapa
pria, didalam mobil Sumarijem (Sum Kuning) diberi bius (Eter) hingga tak
sadarkan diri, Ia dibawa ke sebuah rumah di daerah Klaten dan diperkosa
bergilir hingga tak sadarkan diri.
Kasus
ini cukup pelik karena menurut Jendral Pur Hoegeng mantan Kapolri bahwa para
pelaku pemerkosaan adalah anak-anak pejabat dan salah seorang di antaranya
adalah anak seorang pahlawan revolusi (Hoegeng-Oase menyejukkan di tengah
perilaku koruptif para pemimpin bangsa, penerbit Bentang).
Dalam
bukunya juga disebutkan bahwa Sum Kuning ditinggalkan ditepi jalan, Gadis malang
ini pun melapor ke polisi. Bukannya dibantu, Sum malah dijadikan tersangka
dengan tuduhan membuat laporan palsu.
Dipublikasikan di dalam
Warta Badiklat Kejaksaan Republik Indonesia, Tahun 1 - Edisi 04 - Juli - 2013.
Pada
awalnya, pengadilan anak dibentuk karena dilatar belakangi sikap keprihatinan
yang melanda negara-negara Eropa dan Amerika atas tindakan kriminalisasi yang
dilakukan anak dan pemuda yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Pembentukan pengadilan anak ini dimaksudkan untuk menanggulangi keadaan
tersebut, sekaligus untuk menghindari pelaksanaan proses peradilan pidana yang
tidak menguntungkan bagi anak, sehingga anak tidak diperlakukan sama seperti
orang dewasa.
Sementara
di Indonesia sendiri, dalam rangka mewujudkan suatu peradilan yang benar-benar
memperhatikan kepentingan anak, maka diwujudkan peradilan yang terbatas bagi anak
untuk menjamin kepentingan anak melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak, yang kemudian telah diperbaharui juga dengan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
Sejalan dengan hal tersebut, Harkristuti Harkrisnowo
mengungkapkan bahwa Undang-undang yang mengatur mengenai Pengadilan Anak pada
prinsipnya akan memberikan landasan hukum yang bersifat nasional untuk
perlindungan hukum bagi anak melalui tatanan peradilan anak. Selain itu UU
tersebut juga ditujukan sebagai perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai
dalam melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak
yang bermasalah dengan hukum maupun penegakan
hak-hak anak dan hukum anak untuk mewujudkan prinsip kepentingan yang terbaik
bagi anak (the best interest of the child) (Harkristuti, 2002 : 8).
Namun pada praktiknya, Steven Allen mengungkapkan
bahwa lebih dari 4,000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya
atas kejahatan ringan seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak
mendapatkan dukungan dari pengacara maupun dinas sosial. Maka tidaklah
mengejutkan, sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan ke
penjara atau rumah tahanan. Lebih jauh lagi, mereka seringkali disatukan
dengan orang dewasa karena kurangnya alternatif terhadap hukuman penjara.
Mereka ditempatkan dalam posisi yang penuh bahaya: terjerumus ke dalam
penyiksaan oleh narapidana dewasa dan aparat penegak hukum (Steven, 2002 : 1)
Ruben Achmad juga mengungkapkan bahwa sebanyak
84,2 % anak-anak yang menjadi tahanan, di tempatkan didalam lembaga penahanan
dan pemenjaraan untuk orang-orang dewasa dan pemuda
(Ruben, www.ypha.or.id, 2012). Kondisi tersebut tentu sangat
memprihatinkan, karena keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan
pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, akan menempatkan anak-anak
pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan.
Efektifitas Peradilan Anak
Secara
normatif, Indonesia sendiri telah memiliki aturan yang pada dasarnya sangat
menjunjung tinggi dan memperhatikan hak-hak dari anak yaitu diratifikasinya
Konvensi Hak Anak (KHA) dengan keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.
Selain itu, terdapat pula peraturan perundang-undangan lain yang telah dibuat
oleh pemerintah Indonesia untuk mendukung terjaminnya Hak-hak anak, antara
lain; Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan berbagai peraturan lainnya yang
mengatur mengenai anak. Dengan dibuatnya berbagai peraturan tersebut, terlihat
bahwa Negara pada dasarnya sangat memperhatikan dan melindungi hak-hak anak.
Namun
sayangnya ketika sudah masuk keadalam ranah praktik yakni dalam penegakan
hukumnya, (law enforcement) sering mengalami permasalahan yang cukup
pelik (Harkristuti, 2002 : 4). Salah satunya adalah terkait pelaksanaan
sistem pemidanaan yang sampai sekarang, terkadang masih memperlakukan anak-anak
yang terlibat sebagai pelaku tindak pidana itu seperti pelaku tindak
pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak ditempatkan dalam posisi
sebagai seorang pelaku kejahatan yang patut untuk mendapatkan hukuman
yang sama dengan orang dewasa dan berlaku
di Indonesia. Contohnya adalah seperti yang terjadi di Sumatera
Utara, dimana hampir semua kasus anak pelaku tindak pidana di Pengadilan Negeri
Kabanjahe diputuskan dengan pidana penjara, bahkan ada kasus anak pelaku tindak
pidana yang dijatuhi hukuman pidana Seumur Hidup yaitu terhadap LG (16 tahun)
oleh hakim Pengadilan Negeri Kabanjahe, Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara
(Maidin, 2008 : 127).
Padahal, apabila berdasarkan ketentuan di
dalam pasal 26 ayat (1) UU Pengadilan Anak, seharusnya dakwaan terhadap anak
pelaku tindak pidana adalah maksimal setengah dari dakwaan orang dewasa, dan
kalaupun anak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada
anak tersebut adalah paling lama 10 (sepuluh) tahun (Vide Pasal 26 ayat (2) UU
3/97 tentang Pengadilan Anak).
Selain
itu, konsep pemidanaan pada dasarnya lebih berorientasi kepada individu pelaku
atau biasa disebut dengan pertanggungjawaban individual/personal (Individual
responsibility) dimana pelaku dipandang sebagai individu yang mampu untuk
bertanggung jawab penuh terhadap perbuatan yang dilakukannya, sehingga konsep
pemidanaan lebih tepat untuk diterapkan kepada orang dewasa, karena anak adalah
individu yang belum dapat menyadari secara penuh atas tindakan/perbuatan yang
dilakukannya, hal ini disebabkan karena anak merupakan individu yang belum matang
dalam emosional dan berpikir.
Oleh
karena itu, dengan mekanisme penerapan sistem peradilan anak yang dilakukan
hingga saat ini, maka penulis menilai bahwa efektifitas dan tujuan dari
pembentukan sistem peradilan anak itu sendiri tidak akan tercapai, dan bahkan
dipertanyakan karena hanya akan memberikan dampak psikologis yang hebat bagi
anak yang pada akhirnya, akan mempengaruhi perkembangan mental dan jiwa dari
anak kedepannya.
Konsep Restorative Justice dalam Sistem
Peradilan Anak
Masyarakat
Internasional semakin menyadari dan menyepakati bahwa perlu ada perubahan paradigma dalam menangani
permasalahan peradilan anak, karena sistem peradilan yang berlandaskan pada
keadilan retributif dan restitutif hanya akan menimbulkan
kesewenang-wenangan oleh para aparat penegak hukum, baik Polisi, Jaksa, ataupun
Hakim. Sementara anak yang menjadi pelaku tindak pidana, sedikit sekali
diberikan kesempatan untuk menyampaikan versi keadilan yang mereka inginkan,
alhasil tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh anak justru kian meningkat
karena di penjara, mereka justru mendapat tambahan pengetahuan untuk melakukan
kejahatan dan kemudian merekrut anak lain untuk mengikutinya.
Oleh karenanya, Konvensi Negara-negara di dunia
telah mencerminkan paradigma baru untuk menghindari peradilan pidana anak.
Salah satunya dengan menerapkan konsep Restorative Justice sebagai
alternatif yang populer di berbagai belahan dunia untuk penanganan anak yang
bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif
(Gordon, 2005 : 5). Restorative Justice itu sendiri bertujuan
untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga dan masyarakat untuk
memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan
keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat (George,
2002 : 1).
M.
Wright menjelaskan bahwa konsep Restorative Justice pada dasarnya
sederhana, dimana ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal
dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun
perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada
korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga
dan masyarakat bila diperlukan (Wright, 1992 : 525).
Sejalan
dengan hal tersebut, Jim Consedine, juga berpendapat bahwa konsep keadilan
retributif dan restitutif harus digantikan oleh Restorative Justice.
Dimana tujuan hakiki yang ingin diwujudkan adalah terciptanya moral justice
dan social justice dalam penegakan hukum, selain mempertimbangkan legal
justice. Serta terwujudnya keseimbangan di masyarakat pasca putusan hakim
(Jim, 1995 : 11).
Melalui
Restorative Justice, kepentingan korban tetap akan diperhatikan
melalui mekanisme kompensasi atau ganti rugi dengan tetap memperhatikan hak
asasi anak yang yang menjadi pelaku tindak pidana (UNICEF, 2002 : 74). Dengan
begitu, anak yang melakukan tindak pidana dapat dihindarkan dari proses hukum
formal seperti yang dimuat di dalam Article 40 paragraph 3 subparagraph (a)
of Convention on the Rights of the Child, yang mana menyatakan bahwa “The
establishment of a minimum age below which children shall be presumed not to
have the capacity to infringe the penal law”.
Asas Diversi dalam Sistem Peradilan Anak
Sejalan
dengan konsep restorative justice, penerapan asas diversi sebagaimana
yang telah diatur didalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak perlu untuk diterapkan bagi penyelesaian kasus anak. Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Jack E. Bynum yang menyatakan bahwa diversi
merupakan tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan /menempatkan pelaku tindak
pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana (Marliana, 2008 : 2).
Konsep dari diversi itu sendiri pada pokoknya
merupakan pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah melakukan
tindak pidana dari proses formal dengan atau tanpa syarat (Ruben, 2005 : 5-6),
dimana tujuannya adalah untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak yang
mana penyelesaikan perkara tersebut berada di luar proses peradilan.
Menurut
Levine konsep diversi dimulai dengan pendirian peradailan anak pada abad ke-19
yang bertujuan untuk mengeluarkan anak dari proses peradilan orang dewasa agar
anak tidak lagi diperlakukan sama dengan orang dewasa, prinsip utama
pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal
dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan, dimana
dalam pelaksanaanya aparatur penegak hukum menunjukkan pentingnya ketaatan
kepada hukum dan aturan dengan cara pendekatan persuasif dan menghindari
penangkapan yang menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan, dan dapat juga
dengan cara mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke proses informal,
dimana pengalihan tersebut ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap
anak yang berkonflik dengan hukum (baik korban maupun pelaku) (Edward, 1987 :
252).
Adanya
asas diversi merupakan salah satu bentuk upaya untuk memberikan keadilan kepada
kasus anak yang telah terlanjur diproses didalam sistem peradilan anak. Dengan
dilaksanakannya diversi, maka setidaknya ada 3 (tiga) hal yang ingin dituju,
yakni : (Peter, 2004 : 160)
Pertama, adanya pelaksanaan
kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat
penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau
pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang
diberikan. Dalam hal ini, pelaku akan menerima tanggung jawab atas
perbuatannya dan diharapkan tidak akan mengulangi perbuatannya untuk kedua
kalinya.
Kedua, pelayanan sosial oleh
masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu
melaksanakan fungsi untuk mengawasi, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada
pelaku dan keluarganya. Dalam hal ini, masyarakat dapat turut serta memberikan
peran pengawasan sekaligus perbaikan kepada pelaku maupun kepada keluarga
pelaku.
Ketiga, menuju proses
restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice
orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku
bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan
bersama antara korban pelaku dan masyarakat.
Dengan melalui penerapan diversi ini, maka
diharapkan akan menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan dan turut serta
mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, sekaligus menanamkan rasa tanggung
jawab kepada anak yang menjadi pelaku tindak pidana.
No comments:
Post a Comment