Friday, August 7, 2015

KRITIK TERPEDAS TERHADAP HUKUMAN BOTAK GUNDUL DI PESANTREN




KRITIK TERPEDAS TERHADAP
HUKUMAN BOTAK GUNDUL DI PESANTREN

Catatan M.Rakib SH. Mubaligh IKMI Pekanbaru Riau Indonesia 3015
Orang yang menkritik bukan M.Rakib SH.,M.Ag, tapi Siti Rofi’ah.Hanya saja bahasan kritik ini ada kaitannya dengan disertasi M.Rakib S3 di UIN Suska Riau Indonesia, Agustus tahun 2015 di Kampus Panam Pekanbaru Riau
Ta’zir; Budaya “Anarkis” di Kalangan Pesantren

Inilah Kritik cerdas Oleh: Siti Rofi'ah (Semarang)
Kata Rofi]ah  “Masih teringat jelas dalam ingatan ketika kepala-kepala itu dicukur” dengan acak-acakan, setelah itu tubuh mereka basah kuyup dengan bau yang tidak sedap, ya mereka disiram air comberan. Tak cukup sampai disitu, mereka masih harus berdiri semalaman. “Ritual” itu harus mereka jalankan untuk “menebus” kesalahan yang mereka perbuat.

ensiklopedia bebas
        Teori kritis adalah sebuah aliran pemikiran yang menekankan penilaian reflektif dan kritik dari masyarakat dan budaya dengan menerapkan pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sebagai istilah, teori kritis memiliki dua makna dengan asal-usul dan sejarah yang berbeda: pertama berasal dari sosiologi dan yang kedua berasal dari kritik sastra, dimana digunakan dan diterapkan sebagai istilah umum yang dapat menggambarkan teori yang didasarkan atas kritik; dengan demikian, teori Max Horkheimer menggambarkan teori kritis adalah, sejauh berusaha "untuk membebaskan manusia dari keadaan yang memperbudak mereka."[1]
       Dalam filsafat, istilah teori kritis menggambarkan filosofi neo-Marxis dari Frankfurt School, yang dikembangkan di Jerman pada 1930-an. Teori Frankfurt menarik tentang metode kritis Karl Marx dan Sigmund Freud. Teori Kritis menyatakan bahwa ideologi adalah kendala utama untuk pembebasan manusia.[2] Teori Kritis didirikan sebagai sebuah sekolah pemikiran terutama oleh lima tokoh teori Mazhab Frankfurt: Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin, dan Erich Fromm. Teori kritis modern telah bertambah dipengaruhi oleh György Lukacs dan Antonio Gramsci, serta generasi kedua sarjana Mazhab Frankfurt, terutama Jürgen Habermas. Dalam karya Habermas, teori kritis melampaui akar teoritis dalam idealisme Jerman, dan berkembang lebih dekat dengan pragmatisme Amerika. Kepedulian terhadap "dasar dan suprastruktur" sosial adalah salah satu yang tersisa dari konsep filsafat Marxis di banyak teori kritis kontemporer.[3]
       Sementara teori kritis telah sering kali didefinisikan sebagai intelektual Marxis,[4] kecenderungan mereka untuk mengecam beberapa konsep Marxis dan untuk menggabungkan analisis Marxian dengan tradisi sosiologis dan filosofis lainnya telah menimbulkan tuduhan revisionisme oleh para Klasik, Ortodoks, dan Analisis Marxis, dan oleh filsuf Marxis Leninis. Martin Jay telah menyatakan bahwa generasi pertama teori kritis paling baik dipahami dengan tidak mempromosikan agenda filosofis tertentu


       Tulisan diatas sedikit menggambarkan bagaimana para santri menjadi “korban” dari sebuah sistem, sebuah tradisi, yang sampai sekarang masih banyak terjadi di kalangan pondok pesantren. Tradisi itu adalah ta’zir.

Ta’zir adalah sebuah hukuman yang dijatuhkan pada santri yang melanggar aturan pondok pesantren. Ta’zir di sini lebih diartikan sebagai bentuk hukuman yang berupa kekerasan fisik. Bentuknya bisa bermacam-macam tergantung kebijakan masing-masing pesantren. Entah bagaimana sejarahnya, budaya ini menjadi begitu membumi di kalangan pesantren.

Mengamati fenomena tersebut, ada satu kekhawatiran dalam benak saya jika kemudian tradisi itu akan terus berlanjut sampai sekarang. Sebuah institusi pendidikan, apalagi sebuah pesantren yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai luhur pada masyarakat sudah tidak sepantasnya melakukan tindakan yang menurut saya lebih mengarah pada tindakan yang anarkis.

Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengubah tradisi tersebut menjadi satu hal yang lebih mendidik dan “humanis”, ini menyangkut dengan hukuman yang ditimpakan kepada mereka yang sudah tidak relevan lagi.

Selain hal diatas, kenapa masyarakat di lingkungan pesantren masih banyak yang menggunakan cara tersebut? Tradisi ta’zir bagi saya sama dengan budaya perpeloncoan saat memasuki tahun ajaran baru bagi siswa sekolah yang sekarang sudah mulai ditinggalkan. Perpeloncoan kemudian diganti dengan cara-cara yang lebih arif semisal olahraga, permaian dan sebagainya. Tampaknya masyarakat sudah bisa menilai bahwa bahwa cara-cara tradisional seperti perpeloncoan merupakan cara yang sudah tidak relevan lagi dan tidak mendidik.
Tapi hal itu tidak terjadi pada pondok pesantren. Adanya tradisi ta’zir yang sampai sekarang masih dilestarikan adalah satu bentuk-paling tidak menurut saya-budaya feodal yang sampai saat ini masih berjalan.

Walaupun tidak menutup kemungkinan sudah ada pesantren yang tidak menggunakan sistem tersebut, atau paling tidak sudah mengganti bentuk hukumannya dengan hukuman yang lebih mendidik, akan tetapi dari data yang ada pesantren yang menggunakan cara itu masih banyak.
Dari hasil pengamatan saya, dari 21 pesantren yang ada di Salatiga 17 diantaranya masih menggunakan cara ta’zir untuk menghukum santrinya. Ini menunjukkan bahwa cara tersebut masih sangat “diminati” dan dianggap sebagai cara yang ampuh serta efektif untuk mengatasi masalah pelanggaran yang dilakukan santri.


Landasan filosofis dari dibuatnya sebuah hukuman adalah untuk membuat pelaku pelanggaran jera dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Disini Ta’zir sudah tidak mampu memenuhi hal itu. Bahkan dari informasi yang ada, para santri yang sudah pernah terkena ta’zir kebanyakan tidak menjadi jera bahkan malah menjadi semakin penasaran dan kebal dengan hukuman itu. Akhirnya tujuan hukuman itu sendiri tidak tercapai.


Untuk merubahnya, tentunya harus dimulai pada persoalan yang paling mendasar, yaitu bagaimana tokoh-tokoh pembuat kebijakan dalam pesantren (para pengurus yang juga termasuk santri, dan paling utama adalah Kyai sebagai tokoh sentral dalam sebuah pesantren) memahami esensi sebuah hukuman dan bagaimana efisiensinya terhadap obyek yang terkena hukuman, dalam hal ini adalah santri. Apakah cara-cara seperti ta’zir masih tepat dipertahankan, atau jangan-jangan hanya menjadi tradisi turun temurun yang sia-sia?

Mungkin zaman dahulu ta’zir sangat efektif diberlakukan dalam sebuah pesantren, sampai-sampai banyak pesantren di Indonesia menggunakan cara ta’zir sebagai bentuk hukuman. Akan tetapi dalam konteks sekarang, dengan setting sosial yang berbeda, tampaknya masyarakat di lingkungan pesantren harus mempertimbangkan ulang perihal ta’zir tersebut.

Persoalan seperti apa metode yang tepat untuk hukuman tergantung dari keadaan. Yang jelas menurut saya, hukuman dijatuhkan bukan hanya sebagai cara agar membuat kapok bagi pelanggar, akan tetapi lebih pada pembelajaran agar pelanggar tahu arti kesalahan yang dia perbuat dan mempunyai kesadaran agar tidak mengulanginya.

Cara ini akan lebih indah dan menyentuh ketimbang cara-cara kasar yang hanya menjadikan fisik sebagai sasarannya.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook