QAWAID FIQHIYYAH DI PERKANTORAN
NEGERI DAN SWASTA
|
: Catatan M.Rakib LPMP Pekanbaru Riau Indonesia 2015
الرِّضَا بِالشَّيْءِ
رِضًا بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ
Sangat ingin terhadap sesuatu artinya rela berkorban terhadap
hal-hal (risiko)
yang keluar akibat dari pemilikan sesuatu tersebut..
Kaedah fiqhiyah, untuk perkantoran
ini ialah, rela menerima risiko
yang anda inginkan. Adakah hidup yang bisa dijalani tanpa risiko? Tentu saja
tidak, risiko ada di mana saja dan bisa tiba kapan saja. Pertanyaannya,
ketika risiko terjadi pada kita, apakah kita siap mengelolanya sehingga kita
bisa meminimalisir dampak yang ditimbulkannya?
Kenali bagaimana kita cenderung
memilih metode pengelolaan risiko di dalam
keseharian kita, seperti dijelaskan di bawah ini:
Tentu
saja, agar risiko tidak terjadi, perlu kita hindari. Namun, apakah kita akan
selamanya menghindari risiko tersebut? Contoh: risiko terjadinya kecelakaan
di jalan raya. Untuk menghindarinya, kita akan tinggal di dalam rumah
sepanjang waktu. Tidak sekalipun kita keluar rumah atau naik kendaraan.
Dengan demikian, tentunya risiko kecelakaan di jalan raya akan kita hindari,
tetapi hidup kita bisa jadi menyedihkan.
Ada
cara kedua, yaitu dengan mengendalikan risiko. Yang dimaksud di sini bukan
mengendalikan kapan datangnya risiko, tetapi kita mengendalikan dampak atau
kerugian yang timbul ketika risiko terjadi. Misalnya, untuk mengendalikan
risiko kecelakaan di jalan raya, kita secara rutin memeriksa kondisi mobil.
Lalu kita memilih mobil yang memiliki fitur keamanan terbaik. Atau, ketika
mengendari mobil kita selalu mematuhi rambu-rambu lalu lintas.
Bertolak belakang dengan dua cara di atas, kita juga bisa
memutuskan untuk menerima risiko yang akan terjadi. Dengan catatan bahwa kita
sudah siap memperhitungkan dan menanggung dampak atau kerugian. Perlu diingat
juga bahwa untuk menerima risiko sebaiknya kita sudah menyadari bahwa nilai
kerugian yang ditimbulkan tidaklah signifikan.
Sebagai contoh, kita sengaja tidak menggunakan jam tangan
yang mahal di kendaraan umum, karena angka kriminalitas di dalamnya sangat
tinggi. Ketika suatu hari, jam tangan tersebut dijambret, kita sudah siap
menerima risiko kehilangan barang tersebut, karena kerugiannya tidak
signifikan bagi kita.
Cara yang paling bijkasana, bisa jadi adalah mengalihkan
risiko kepada pihak lain yang bersedia menanggung risiko tersebut. Tentunya pengalihan risiko tersebut disertai
syarat bahwa kita harus membayarkan sejumlah dana terlebih dulu kepada pihak
yang bersedia menanggung risiko tersebut. Melalui cara seperti ini, bisa
dikatakan bahwa kita sudah membeli asuransi. Dengan memiliki asuransi, Anda telah mengalihkan
risiko yang mungkin terjadi kepada perusahaan asuransi. Selanjutnya, asuransi
akan berjanji untuk melindungi kita dari sejumlah risiko yang sudah
ditentukan sebelumnya.
Berdasarkan empat cara di atas,
mana yang biasanya kita lakukan untuk mengelola risiko? Mana yang menurut
kita paling bijaksana untuk dilakukan?
Contonya risiko membeli mobil.
Imam as-Suyuthi (w. 911 H) memberikan contoh; ketika
seseorang menyewakan budak kepada seorang penyewa. Si penyewa harus rela
membelikan baju sang budak, dan mengeluarkan lagi biaya pengobatannya. Orang
yang menyewakan rela budaknya untuk digunakan sebagai kepentingan lain,
misalnya diberi penataran dan pelatihan apa saja, yang patut.. Jika budak itu
mati, maka si penyewa harus
mengeluarkan baaiaya lagi untuk penguburannya. Karena memang pemilik budak
sudah merelakan budaknya untuk dipukul.
Tentu masih
banyak contoh lain yang kadang berbeda contoh kasusnya, saat kitab Qawaid
Fiqhiyyah dibuat dahulu dengan zaman sekarang.
Seiring berkembangnya zaman, maka seharusnya berkembang
pula contoh kekinian yang bisa terjawab oleh Qawaid Fiqhiyyah. Misalnya:
Kebijakan menaikkan harga BBM; antara ditunda atau APBN jebol, bahaya manakah
yang harus didahulukan untuk dihindari.
Dalam praktek kredit motor dengan sistem bai’
al-murabahah lil wa’id bis syira’. Jika pihak bank langsung memberikan
uang kepada nasabah, untuk selanjutnya nasabah yang membeli motor sendiri.
Apakah yang dianggap adalah niat dari akad ataukah lafadz dari akad.
Masih banyak lagi contoh kekinian yang sepertinya menarik
untuk digali hukumnya dengan Qawaid Fiqhiyyah ini.
|
Bisa dikatakan Qawaid Fiqhiyyah
merupakan bukti kemajuan keilmuan Fiqih Islam, dimana para ulama’ selain
menuliskan cabang-cabang hukum fiqih, mereka telah menyederhanakan
kecenderungan hukum-hukum fiqih itu kepada beberapa kaedah dengan bahasa yang
simpel, mudah dihafal dan bisa diterapkan sepanjang masa. Hal itu menunjukkan
majunya logika berpikir dari para ulama’.
Qawaid Fiqhiyyah merupakan salah
satu cabang ilmu fiqih. Benih Qawaid Fiqhiyyah memang sudah ada dalam al-Quran
maupun Sunnah. Hanya saja, belum tersusun dengan baik. Setelah abad ke-4
hijriyyah baru mulai berkembang[1]. Sampai akhirnya banyak ulama’ yang
menuliskan cabang ilmu ini ke dalam sebuah kitab tersendiri pada abad ke-7
sampai abad ke-10 hijriyyah.
Maka dari itu, banyak manfaat yang
bisa diambil dari belajar Qawaid Fiqhiyyah ini. Diantaranya yang paling nyata
adalah memudahkan thalib ilmi dalam memahami hukum fiqih dan menghafalkannya.
Sebagaimana ketika ujian sekolah, salah satu cara mempermudah menghafal
pelajaran adalah membuat ringkasannya.
Tiga Bentuk Kaedah
Secara umum, ada tiga macam kaedah
yang telah ditetapkan oleh para ulama’ dalam keilmuan hukum Islam:
1. Kaedah Istinbath Hukum dan
Ijtihad
Kaedah ini berisi metode-metode yang
dipakai oleh seorang mujtahid dalam memahami hukum-hukum syariat dari
sumbernya, sebelum menetapkan hukumnya. Kaedah ini sering disebut sebagai
Qawaid Ushul Fiqih atau Kaedah-Kaedah Ushul Fiqih. Sebagai contoh: Asal
perintah adalah wajib, asal larangan adalah haram, dsb.
2. Kaedah Takhrij
Kaedah ini ditetapkan oleh ulama’
hadits dalam menetapkan derajat suatu riwayat hadits, diterima dan tidaknya
suatu hadits, al-jarh wa at-ta’dil seorang penyampai hadits. Untuk
nantinya diambil sebagai sumber hukum Islam. Kaedah ini sering disebut dengan Ilmu
Mushthalah Hadits atau Ushul al-Hadits atau Qawaid at-Tahdits. Sebagai
contoh: Hadits mutawatir berfaedah yakin, hadits bisa diterima/ shahih jika
memenuhi lima syarat, dsb.
3. Kaedah Hukum-Hukum Fiqih
Kaedah ini biasanya dibuat oleh
ulama’ suatu madzhab fiqih, dalam rangka mengumpulkan hukum-hukum fiqih yang
serupa atau hampir sama. Selanjutnya ditetapkan sisi keserupaannya untuk
ditetapkan kaedah yang mengikat antara hukum-hukum yang serupa tadi. Inilah
yang nantinya dikenal dengan sebutan Qawaid Fiqhiyyah.
Tantangan Qawaid Fiqhiyyah
Paling tidak, ada beberapa tantangan
yang dihadapi Qawaid Fiqhiyyah saat ini. Diantaranya:
1. Qawaid Fiqhiyyah Perbandingan
Madzhab
Penetapan Qawaid Fiqhiyyah biasanya
menggunakan metode induktif, dimana beberapa contoh cabang hukum fiqih
dikumpulkan lalu ditetapkan kesamaannya untuk dibuat sebuah kaedah.
Secara umum, Qawaid Fiqhiyyah tiap
madzhab memang sama. Tetapi ada beberapa cabang kaedah yang berbeda antar
madzhab, karena memang ada perbedaan dalam hukum masing-masing madzhab. Sebagai
contoh:
الأصل
في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Kaedah: Asal dari segala sesuatu
adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Ini adalah
kaedah Jumhur ulama’ dari Maliki, Syafi’i dan Hanbali[2]. Sedangkan
menurut sebagian Hanafiyyah, asal sesuatu adalah haram, kecuali ada dalil yang
menyatakan halal[3].
Contoh lagi, kaedah:
الزُخص
لا تُنَاط بالمعاصي
Rukhsah atau keringanan dalam
syariat itu tidak bisa diperoleh karena suatu maksiat
Kaedah ini banyak dipakai dalam
Madzhab Syafi’i dan Hanbali, tetapi tidak dalam Madzhab Hanafi[4]. Contoh
nyatanya, qashar shalat boleh dilakukan oleh seorang musafir asal bukan
bepergian untuk maksiat. Sedangkan menurut Hanafiyyah, jenis safar tidak
mempengaruhi boleh tidaknya suatu rukhsah atau keringanan ibadah.
Tentu ini menjadi tantangan
tersendiri dalam menuliskan Kaedah-Kaedah Fiqih lintas madzhab.
2. Contoh-Contoh yang Kurang
Berkembang
Salah satu tantangan Qawaid
Fiqhiyyah adalah contoh-contoh yang cenderung sama dari dulu. Jika kita buka kitab-kitab
Qawaid Fiqhiyyah, maka kebanyakan contohnya memang hanya itu saja. Laiknya
contoh dalam pelajaran Nahwu, contoh: qoma zaidun atau dhoroba zaidun
amran takkan ketinggalan dalam setiap buku nahwu.
Kadang contoh kaedah sangat jauh
dari realita saat ini, khususnya terkait masalah perbudakan. Cukup banyak
contoh kaedah fiqhiyyah dalam kasus perbudakan. Contohnya kaedah:
الرِّضَا
بِالشَّيْءِ رِضًا بِمَا يَتَوَلَّدُ مِنْهُ
Rela terhadap sesuatu artinya rela
terhadap hal-hal yang keluar dari sesuatu tersebut[5]
Imam as-Suyuthi (w. 911 H)
memberikan contoh; ketika seseorang menyewakan budak kepada seorang penyewa, ia
merelakan budaknya untuk dipukul. Jika budak itu dipukul lantas mati, maka si
penyewa tidak akan mendapatkan tuntutan ganti rugi. Karena memang pemilik budak
sudah merelakan budaknya untuk dipukul.
Tentu masih banyak contoh lain yang
kadang berbeda contoh kasusnya, saat kitab Qawaid Fiqhiyyah dibuat dahulu
dengan zaman sekarang.
Seiring berkembangnya zaman, maka
seharusnya berkembang pula contoh kekinian yang bisa terjawab oleh Qawaid
Fiqhiyyah. Misalnya: Kebijakan menaikkan harga BBM; antara ditunda atau APBN
jebol, bahaya manakah yang harus didahulukan untuk dihindari.
Dalam praktek kredit motor dengan
sistem bai’ al-murabahah lil wa’id bis syira’. Jika pihak bank langsung
memberikan uang kepada nasabah, untuk selanjutnya nasabah yang membeli motor
sendiri. Apakah yang dianggap adalah niat dari akad ataukah lafadz dari akad.
Masih banyak lagi contoh kekinian
yang sepertinya menarik untuk digali hukumnya dengan Qawaid Fiqhiyyah ini.
3. Otoritas Qawaid Fiqhiyyah
Kaedah Fiqih ini memang hasil ijthad
dari para ulama’. Euforia kembali langsung kepada al-Quran dan Sunnah sedikit
banyak memberikan dampak akan ketidakpercayaan hasil ijtihad para ulama’, jika
tidak disebutkan dalilnya dari al-Quran maupun Sunnah.
Sebuah hukum yang baru, jika
dalilnya hanya Qawaid Fiqhiyyah tentu saja dianggap kurang kuat. Sebagai
contoh: Seorang yang duduk di masjid untuk i’tikaf, maka harus niat di awal.
Dalilnya adalah:
الْأُمُورُ
بِمَقَاصِدِهَا
Setiap perkara itu tergantung
niatnya[6]
Tentu bagi sebagian orang akan
bertanya, mana dalil al-Quran yang menyebutkan harus ada niat dalam i’tikaf?
Apakah Nabi dan Salaf Shalih dahulu juga mensyaratkan niat sebelum i’tikaf?
Mana hadits shahihnya?
Perlu diketahui bahwa setiap kaedah
fiqih biasanya mempunyai landasan dari al-Quran maupun Hadits, baik secara lafadz
atau makna.
Pengertian Qawaid Fiqhiyyah
Sepertinya setiap penulis yang
membahas Qawaid Fiqhiyyah, sudah menuliskan secara lengkap dan terperinci
mengenai pengertian Qawaid Fiqhiyyah, baik secara bahasa maupun istilah.
Maka menuliskannya kembali bisa dikatakan tahshil al-hasil atau
mengulangi pekerjaan yang sudah selesai.
Tapi, sebagai pengingat kembali ada
baiknya dibahas secara sekilas sebagai pembuka belajar.
Secara mudah, Qawaid Fiqhiyyah
dimaknai dengan kaedah-kaedah fiqih. Untuk lebih lengkapnya, Qawaid Fiqhiyyah
terdiri dari dua kata; Qawaid dan Fiqhiyyah. Qawaid secara bahasa adalah bentuk
prular dari Qa’idah, wazan isim fa’il dari qa-‘a-da yang berarti
duduk. Qa’idah artinya asas atau pilar[7]. Sebagaiman termaktub dalam
surat al-Baqarah: 127 yang berbunyi:
وَإِذْ
يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ ...
dan (ingatlah), ketika Ibrahim
meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail…
Sebagai tambahan, Meski qa-‘a-da
dan ja-la-sa mempunyai makna sama yaitu duduk, tapi kadang ahli Bahasa
Arab membedakan keduanya. Qa-‘a-da berarti duduk setelah berdiri.
Sedangkan ja-la-sa adalah duduk setelah tiduran[8].
Qa’idah secara istilah adalah hal yang bersifat menyeluruh, yang
mencakup banyak bagian dan cabang yang ada di bawahnya[9].
Sedangkan arti fiqhiyah diambil dari
kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi sebagai
penjenisan atau membangsakan.
Maka, Kaidah-kaidah fikih yaitu
kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fikih dan kemudian
digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang
tidak jelas hukumnya di dalam nash.
Kitab-Kitab Qawaid Fiqhiyyah
A. Madzhab Hanafi
- Ushul al-Karkhi, Abu Hasan al-Karkhi (260-340 H) memuat 37 kaidah fikih.
- Ta’sis al-Nazhar, Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H) memuat 86 kaidah fikih.
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu Nuzaim (w. 970 H) memuat 25 kaidah fikih.
- Majami’ al-Haqaiq, Abi said al-Khadimi memuat 154 kaidah fikih.
- Majalah al-Ahkam al-Adliyah, Ahmad Udat Basya memuat 99 fikih.
B. Madzhab Maliki
- Ushul al-Futiya fi al-Fiqh ’ala Mazhab al-Imam Malik, Ibnu Haris al-Husyni (w. 361 H)
- Al-Furuq, al-qurafi (w. 684 H) memuat 548 kaidah fikih.
- Al-Qawa’id, al-Maqari (w. 758 H) memuat 758 kaidah fikih.
- Idhah al-Masalik ila Qawa’id al-Imam Malik, al-Winsyarisi (w. 914 H) memuat 118 kaidah fikih.
C. Madzhab Syafi’i
- Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Izzuddin bin Abd al-Salam (577-660 H).
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Ibnu al-Wakil (w. 716 H).
- Al-Majmu al-Mudzhab fi Qawa’id al-Mazhab, Abu Sa’id al-Ala’i (w. 761 H).
- Al-Asybah wa al Nazhair, Taj al-Din Ibnu al-Subki (w. 771 H).
- Al-Mansur fi Tartib al-Qawa’id al-Fiqhiyah atau al-Qawa’id fi al Furu, al-Zarkasyi (w. 794 H).
- Al-Asybah wa al-Nazhair, Imam al-Suyuthi (w. 911 H) memuat 20 kaidah.
- Al-Istighna fi al-Farqi wa al-Istitsna, Badrudin al-Bakri.
D. Madzhab Hanbali
- Al-Qawa’id al-Nuraniyah al-Fiqhiyah, Ibnu Taimiyah (661-728 H).
- Al-Qawa’id al-Fiqhiyah, Ibnu Qadhi al-Jabal (w. 771 H).
- Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid, Ibnu Rajab al-Rahman memuat 160 kaidah.
- Al-Qawa’id al-Kulliyah wa al-Dhawabith al-Fiqhiyah,Ibnu Abd al-Hadi (w. 909 H).
Selain dari empat madzhab, ada juga
kitab Qawaid Fiqhiyyah yang dikarang oleh ulama’ kontemporer; diantaranya:
- al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Ali Ahmad al-Nadawi.
- Syarh al-Qawa’id al-fiqhiyah oleh Syekh Ahmad bin Syekh Muhammad Zarqa.
- Al-Wajiz fi Idhah Qawa’id al-Fiqh al-Kuliyyah oleh Muh. Shiddieqy bin Ahmad al-Burnu.
- Idhah al-Qawa’id al-Fiqhiyah oleh Syekh Abdullah bin Said Muhammad Ibadi.
- Kaidah-kaidah Fikih oleh Asymuni A Rahman (dalam Bahasa Indonesia).
- Kaidah Fikih oleh oleh Jaih Mubarok (dalam Bahasa Indonesia).
No comments:
Post a Comment