METAKOGNISI MAFHUM MUKHALAFAH
M.RAKIB JL.CIPTAKARYA
PEKANBARU RIAU INDONESIA 2015
Sangat pentingnya metakognisi dengan
menyatakan: “There is also growing
support for the view that purely cognitive analyses of mathematical performance
are inadequate because they overlook metacognitive actions.” Artinya,
terdapat dukungan pada pendapat bahwa hanya menggunakan analisis kognitif pada kemampuan
matematis adalah tidak atau kurang memadai karena mereka kurang memperhatikan
prosedur yang berkaitan dengan
metakonitif. Itulah sebabnya, salah satu kelebihan Kurikulum 2013 adalah
pencantuman istilah metakognisi dalam dukumennya (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012:43)
Hal ini menunjukkan bahwa unjuk kerja (performance)
seorang siswa dengan hanya melihat pada aspek kognitifnya saja, dan dengan
mengacuhkan aspek metakognitifnya adalah belum cukup. Diperlukan kepaduan
analisis, baik kognitif maupun metakognitif yang berkaitan dengan unjuk kerja
seseorang. Alasannya, keberhasilan unjuk kerja kognitif sangat ditentukan juga
oleh pengetahuan, kesadaran, dan kontrol terhadap pengetahuan yang sudah
dimilikinya itu. Pertanyaan yang dapat dimunculkan: Apa yang dimaksud dengan metakognitif itu? Bagaimana
metakognitif dapat dikembangkan di kelas?
Dalam
bahasa Arab, metakognitif itu bisa berarti mafhum mukhalafah. Di dalam ayat 130 surah Ali Imran ada larangan
memakan riba yang berlipat ganda. Nah, berlipat ganda itu adalah sifat dari
riba yang dilarang, pemahaman terbaliknya kalau tidak berlipat ganda maka tak
dilarang. Pemahaman ini betul tapi berhubung ada dalil lain yang mengatakan
bahwa riba sekecil apapun meski tidak berlipat ganda tetap dilarang maka mafhum
(pemahaman) terbalik dari ayat ini tidak berlaku.
Intinya mafhum shifah itu berlaku pemahaman terbaliknya bila tidak
bertentangan dengan manthuq. Ini menurut mayoritas ulama, berbeda dgn
madzhab Hanafi yang memang tidak mengakui kehujjahan mafhum mukhalafah.
Mengapa madzhab Hanafi tidak mengakui kehujjahan mafhum
mukhalafah?
Alasan
utama mereka karena banyak nash dalam Al Quran maupun hadits mengandung mafhum
mukhalafah (dalil khithab) tapi mafhum mukhalafahnya tidak berlaku. Antara lain
ayat 130 surah Ali Imran, ayat 24 surah An-Nisa tentang kemahraman anak tiri
yang “dalam pengasuhanmu”. Padahal andai tidak “dalam pengasuhanmu” juga tetap
haram, dan lain-lain.
Jumhur menjawabnya dengan mengatakan bahwa mafhum
pada kasus-kasus itu tidak terpakai karena adanya dalil lain berbentuk manthuq
yang menyelisihinya sehingga dia kalah dengan manthuq ataupun dengan mafhum
muwafaqah.
Manfaat dari memahami mafhum mukhalafah
adalah kita menetapkan hukum berdasarkan mafhum mukhalafah, misalnya
tidak menetapkan zakat pada hewan yang dikandangkan seumur hidupnya dan tidak
digembala mengambil dari mafhum mukhalafah
No comments:
Post a Comment