ANAK-ANAK KORBAN
PERANG
M.Rakib Muballigh IKMI
Riau Indonesia.
Korban perang,
korban bullying
Mengancam anak,
sedang bermain.
Tiba-tiba, nasibnya
lain
Berbagai
kekerasan, saling terjalin.
Nah ini nenurut catatan KPAI, saat ini-
kasus bullying menduduki peringkat teratas pengaduan masyarakat. Dari 2011
hingga agustus 2014, KPAI mencatat 369 pengaduan terkait masalah tersebut.
Jumlah itu sekitar 25% dari total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480
kasus. Bullying yang disebut KPAI sebagai bentuk kekerasan di sekolah,
mengalahkan tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan, ataupun aduan pungutan
liar (republika, rabu 15 oktober 2014)
Lalu, apa yang dimaksud dengan
bullying?. Menurut psikolog Andrew Mellor, bullying adalah pengalaman yang
terjadi ketika seseorang merasa teraniaya oleh tindakan orang lain dan ia takut
apabila perilaku buruk tersebut akan terjadi lagi sedangkan korban merasa tidak
berdaya untuk mencegahnya. Bullying tidak lepas dari adanya kesenjangan
power/kekuatan antara korban dan pelaku serta diikuti pola repetisi
(pengulangan perilaku). Lebih lanjut, Andrew Mellor menjelaskan bahwa ada
beberapa jenis bullying, yakni: (1) bullying fisik, yaitu jenis bullying yang
melibatkan kontak fisik antara pelaku dan korban. Perilaku yang termasuk,
antara lain: memukul, menendang, meludahi, mendorong, mencekik, melukai
menggunakan benda, memaksa korban melakukan aktivitas fisik tertentu,
menjambak, merusak benda milik korban, dan lain-lain.
Sebuah
tragedi yang sangat memilukan ketika sekelompok orang bersenjata, Taliban,
melakukan serangan
ke sebuah sekolah di Peshawar, Pakistan. Akibat dari serangan
tersebut tercatat ratusan orang, sebagaian besar adalah anak-anak sekolah,
tewas. Dari kekejian para pelaku tersebut menimbulkan rasa duka bagi seluruh
ummat di dunia. Kutukan pun ditujukan kepada kelompok bersenjata itu.
Seperti
diungkapkan oleh media, Taliban melakukan serangan di sekolah itu sebagai
bentuk aksi balasan kepada tentara Pakistan yang sebelumnya telah melakukan
operasi militer Waziristan Utara. Wilayah ini merupakan basis dari Taliban. Di
Waziristan Utara, tentara Pakistan juga melakukan hal serupa kepada anak-anak
dan wanita keluarga Taliban.
Apa
yang terjadi di Peshawar tersebut menunjukkan bahwa dalam kondisi perang,
masyarakat sipil sering menjadi sasaran amarah dari salah satu kelompok yang
melakukan peperangan. Amarah ini dilampiaskan bila sasaran yang dituju tidak
ditemukan, bisa juga kelompok sipil itu memang dijadikan target agar pihak
musuh menghentikan perlawanannya.
Dalam
Konvensi Jenewa 1949 sebenarnya sudah diatur ‘cara berperang.’ Dalam kovensi
itu perang dilegalkan namun pihak yang tidak terlihat secara langsung atau
kelompok yang lemah harus dilindungi. Kelompok yang dilindungi dan tak boleh
dijadikan sasaran pembunuhan saat perang adalah prajurit yang terluka atau sakit, tawanan perang,
masyarakat sipil, petugas medis seperti Palang Merah dan Bulan Sabit
Merah.
Konvensi
tersebut dimodifikasi dengan tiga protokol amandemen, yakni Protokol I tahun
1977 Tentang Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional; Protokol II
tahun 1977 Tentang Perlindungan Konflik Bersenjata Non-internasional; dan
Protokol III Tahun 2005 Tentang Adopsi Lambang Pembeda Tambahan.
Konvensi
Jenewa itu disusun bisa jadi dalam Perang Dunia II, 1939-1945, banyak korban
sipil yang jatuh dari kalangan anak-anak, perempuan, dan orang tua. Mereka
menjadi korban sebab perang terjadi tidak hanya di padang, gurun, dan hutan
namun juga terjadi di kota dan perkampungan.
Selain
itu, seperti pemaparan di atas, masyarakat sipil sering menjadi amarah militer
karena balas dendam yang demikian memuncaknya. Lihat saja bagaimana ketika
Sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki. Bom atom yang dijatuhkan dari pesawat itu menimbulkan korban sipil
yang tidak terlibat dalam perang. Apa yang dilakukan oleh Sekutu pimpinan
Amerika Serikat itu sebagai bentuk balas dendam setelah pasukan Jepang
memporakporandakan Pearl Habour.
Jepang
pun tak kalah kejam dengan Sekutu dan Amerika Serikat ketika berperang. Selama
berperang negeri matahari terbit itu juga melakukan pembunuhan massal kepada
masyarakat sipil seperti yang terjadi di China, Korea, Indonesia, dan
negara-negara Indochina. Lihat saja kekejaman Jepang dalam Pembantaian Nangking
di mana disebut ada 3 juta rakyat China dibunuh dan diperkosa.
Di
Indonesia pembantaian massal oleh tentara Belanda pun sering terjadi.
Penyebabnya sama seperti paparan di atas, masyarakat sipil dijadikan amarah
atau dituduh ikut membantu pejuang. Lihat saja dalam Peristiwa Rawagede,
Karawang, 1947, di mana ada 431 penduduk terutama kaum laki-laki, baik tua atau
muda, menjadi korban. Bahkan ada puluhan penduduk dikumpulkan di sebuah tanah
lapangan dan selanjutnya dibunuh secara massal.
Demikian
operasi militer yang dilakukan oleh Raymond Westerling, Komandan Pasukan Khusus
Belanda, di Sulawesi. Ia melakukan pembantaian massal kepada penduduk sipil.
Operasi militer di tahun 1946-1947 itu ada yang menyebut ribuan masyarakat
sipil tewas karena amarah tentara Belanda.
Jauh
sebelum Konvensi Jenewa disepakati dan diratifikasi banyak negara, Islam sudah
mengatur soal tata cara berperang. Dalam Islam, saat peperangan tidak boleh
membunuh wanita, anak-anak, dan orang tua. Diriwayatkan dalam HR Bukhari 3015
dan Muslim 1744, "Aku mendapati seorang wanita yang terbunuh dalam sebuah
peperangan bersama Rasulullah. Kemudian beliau melarang membunuh kaum
wanita dan anak-anak dalam peperangan."; HR Bukhari 3014 dan Muslim 1744,
"Rasulullah mengecam keras pembunuhan terhadap kaum wanita dan
anak-anak."
Dengan
mengacu pada Konvensi Jenewa dan khususnya Hadits Nabi maka apa yang dilakukan
oleh Taliban jelas-jelas sekali melanggar aturan berperang. Menyedihkan sekali
ketika Taliban yang menginginkan tegaknya nilai-nilai Islam namun dirinya
sendiri yang melanggar.
Meski
sekolah yang diserang itu adalah sekolah yang dikelola oleh militer Pakistan namun
anak-anak yang sekolah itu tidak bisa dikatakan sebagai musuh. Mereka berada di
tempat itu bukan untuk memanggul senjata, berperang, namun untuk belajar.
Dengan demikian anak-anak itu tidak bisa dikatakan sebagai bagian dari militer
atau musuh.
No comments:
Post a Comment