TIGA MACAM BID’AH WAJIB
1. Khutbah jumat, dalam bahasa Indonesia dan selain bahasa Arab
2. Lafazd niat ibadah dalam
bahasa Indonesia
3. Mencetak Al Quran dan mendirikan universitas
لا عبادة بالعقل المجرد حتى دل النص على تأكيدها
Tidak
ada ibadah dengan dasar akal saja sampai ada nash yang menguatkannya
Daya
nalar dan pemikiran dari akal dalam aplikasi sebuah perbuatan pendekatan diri
kepada Allah dapat menjadi legal dengan adanya nash al-Quran, hadits, dan ijma`
yang mendukung secara kontekstualisasi.
Pada acara pembukaan Muktamar
Muhammadiyah yang berlangsung di Makassar, 3-7 Agustus 2015 lalu, terjadi
kegaduhan yang membuat kita isykal (penuh tanda tanya). Pasalnya mereka
meneriaki seorang Pembawa Acara (MC) yang mengucapkan lafadz “Sayyidina
Muhammad”.
Seperti diberitakan, peserta
Muktamar berteriak. Situasi sempat gaduh lantaran mereka saling bicara satu
sama lain. Padahal di panggung utama sudah hadir Presiden RI, H Joko Widodo.
Bahkan beberapa tokoh mereka saat
diwawancarai tentang ucapan Sayyidina tersebut jawabannya kurang memuaskan.
Nampaknya mereka tidak terbiasa dengan ucapan yang mempunyai arti
penghormatan atas Kanjeng Nabi Muhammad tersebut.
Hadits
merupakan dalil yang disepakati ulama sebagai sumber hukum dan menjadi bagian
dari penyokong dalil aqli dalam legalitasnya sebuah ibadah. Hal ini
dikembalikan kepada hadits shahih dan hasan. Bila berkonotasi dengan hadits
dha`if dan maudhu` direfleksikan dalam kaidah:
الأصل
فى العبادة المستنبطة من الحديث الضعيف مقبول الا مادل الدليل على خلافه
Dasar
semua ibadah yang bersumber dari hadis dha`if adalah diterima kecuali ada dalil
yang bertentangan dengannya
الأصل
فى العبادة المستنبطة من الحديث الموضوع مردود
Dasar
semua ibadah yang bersumber dari hadits maudhu` adalah ditolak
`Urf
merupakan sebuah dalil yang masuk dalam kategori dalil aqli yang sifatnya
ikhtilaf antara ulama dalam menggunakannya sebagai landasan istinbȃth hukum.
Dalam persoalan amaliyah pendekatan diri kepada Allah yang belum ada pedoman
sebelumnya dan masuk dalam realitas tradisi atau kebiasaan antara legal dan
ilegal, sebab hal itu dikembalikan dalam sebuah kaidah:
العادة
محكمة
Adat
kebiasaan itu bisa menjadi hukum
Pendekatan
diri kepada Allah SWT dalam pelaksanaannya mencakup tatacara yang berkaitan
dengan kaifiat pelaksanaan suatu ibadah, sarana dalam melakukannya dan ibadah
tarkiyah.
Pelaksanaan
suatu pendekatan diri kepada Allah SWT yang sudah jelas bentuk tatacara
melakukannya disebut dengan ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah yang tatacaranya
dikembalikan kepada pemikiran dan pemahaman disebut dengan ibadah ghairu
mahdhah. Tatacara pelaksanaan suatu ibadah berhubungan dengan waktu
pelaksanaan, tempat pelaksanaan, sifat ibadah, jumlah atau hitungan
pelaksanaan, dan bentuknya. Dalam ibadah mahdhah perkara tatacara tidak
dibolehkan merubah, baik menambah atau mengurangi sebagaimana direfleksikan
dalam kaidah:
التغيير
فى الزمن و المكان و الصفة و الكيفية فى عبادة محضة ممنوع
Merubah
waktu, tempat, sifat, cara dalam ibadah mahdhah adalah dilarang
Ibadah
yang dikategorikan ghairu mahdhah dengan cakupan yang banyak dan berdasarkan
pada anjuran-anjuran yang bersifat umum, maka persoalan tatacara dikembalikan
kepada masalah ijtihad. Legal dan ilegalnya perbuatan tersebut dikaitkan dengan
kesyirikan, kezhaliman, atau berdasarkan pada perbuatan maksiat.
Ibadah
yang bersifat gharu mahdhah dalam tatacara pelaksanaannya dianggap legal selama
tidak masuk dalam perbuatan syirik, zhalim dan maksiat. Begitu juga sarana yang
digunakan dalam pelaksanaannya harus jauh dari sarana yang diharamkan. Standar
kaidah tidak melegalkan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT, maka
implementasi sarana ini direfleksikan sebagai berikut:
العبادة
بالوسيلة المنهية تقتضي الفساد
Ibadah
yang dilakukan dengan sarana yang dilarang berakibat fasad/rusak
Tatacara
pelaksanaan ibadah dapat berupa perbuatan yang sudah ada pedoman sebelumnya dan
dapat juga berupa perbuatan yang belum ada tuntunannya, tapi sifatnya tarkiyah.
Ketetapan
kaidah tentang ibadah tarkiyah berkaitan dengan tatacara yaitu segala perbuatan
atau perkataan yang berkaitan dengan pendekatan diri kepada Allah SWT yang
bentuk dan pelaksanannya dikembalikan kepada ijtihad atas illat perbuatan
tersebut. Ketentuan hukumnya dapat dipilah-pilah antara wajib, sunat, mubah,
makruh dan haram. Realitas dan fenomena terhadap tarkiyah dengan illat yang
terkandung didalamnya. Illat itu yang menjadi dasar kemungkinan-kemungkinan
sehingga ketentuan hukumnya bermacam-macam. Refleksi kaidah itu adalah:
الترك
يحتمل أنواع غير تحريم
Sesuatu
yang ditingggalkan memungkinkan bermacam-macam (hukum) bukan haram saja
Ketentuan
ibadah dalam tatacara pelaksanaannya ada juga yang bersifat ketat secara khusus
ibadah yang wajib, dan ada juga yang bersifat luwes secara khusus ibadah yang
sunat. Kategori ibadah sunat mencakup banyak hal, seperti: puasa sunat,
shalat qiyamullail sepanjang malam, bersedekah setiap hari, berzakat melebihi
dari kadar wajib, baca al-Quran atau berzikir terus menerus dan lainnya.
Pendekatan
diri kepada Allah SWT dalam hubungannya dengan ibadah sunat pada tataran
tatacaranya tidak ada perubahan, namun pelaksanaannya dilakukan cukup
banyak. Memperbanyak ibadah yang belum ada tuntunan dari Rasulullah SAW
tidak termasuk ilegal, selama dilakukan dengan kemampuan yang tidak menzhalimi
diri sendiri atau orang lain. Legalitas ini dikembalikan kepada realitas
pelaksanaan yang tidak berdampak pada kerusakan. Perkara ini direfleksikan
dalam sebuah kaidah:
الاكثار
في التعبد ليس ببدعة
Memperbanyak
ibadah bukanlah perbuatan bid`ah
V
Rumusan kaidah-kaidah yang disusun dalam konstruksi
al-taq`id al-fiqhy diimplementasi dalam al-takyif al-fiqhy mencakup inisiatif
sahabat lalu ditaqrir Rasulullah SAW, prakarsa sahabat dan tabi`in sebagai
sebaik-baik masa, pelaksanaan anjuran yang bersifat umum dan aktualisasi
maqȃshid syariah. Implementasi kaidah direalisasikan dalam otoritas istihsȃn,
mashȃleh mursalah, istishhȃb, sadd al-zar`iah dan fath al-zar`iah.
Dalam kitab Roddul Mukhtar diterangkan: “Disunnahkan mengucapkan Sayyid
karena Ziyadah Ikhbar Waqi’ itu menunjukkan tatakrama dan itu lebih baik dari
meninggalkannya”.Lalu selanjutnya jika mereka para Muktamirin bertendensi dengan dua hadits yaitu:
1. ﻻ ﺗﺴﻴﺪﻭﻧﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ
2. ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ
Maka saya akan menjawab dari kitab “Ghoyatul Muna” karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah dijelaskan pada halaman 32:
“Adapun hadits yang mengatakan “Jangan kau men-sayyid-kan aku dalam Shalat”, Hadits ini adalah Hadits yang tidak sah matan dan sanadnya, adapun matannya gugur menurut Ahli Hadits, sementara matannya lafadz ﺗﺴﻴﺪﻧﻲ itu tidak benar secara Nahwu karena yang benar lafadznya ﺗﺴﻮﺩﻭﻧﻲ ﻻ sedangkan Rasulullah SAW adalah paling fasihnya orang orang Arab.”
Sementara dalam Kitab “Maqosid Hasanah” halaman 463 dikatakan:
“Hadits ini merupakan Hadits Maudlu’ (palsu), itu tanggapan Al-Hafidzb As-Sakhowi bahwa hadits ini tidak ada asal usulnya dan salah dalam lafadznya.”
Sementara Hadits yang kedua akan saya jawab dari kitab “Zadul Labib” karya Sayyidi Syeikh Muhammad Ba’atiyah juz 1 halaman 9:
“Adapun Hadits yang diriwayatkan dari Abu Dawud dan Ahmad dari Hadits Nabi SAW ﺍﻧﻤﺎ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﺍﻟﻠﻪ yang dimaksud Siyadah disini adalah Siyadah secara mutlak, maka pahamilah dan diteliti betul”.
No comments:
Post a Comment