KONFIRMASI
KAEDAH FIQHIYAH
M.RAKIB JL. CIPTAKARYA PANAM PEKNBARU RIAU INDONESIA
Simaklah Kaedah ini:
1.
Seseorang yang tidak mampu membayar utang, diberi
tangguh sampai mampu melunasi utangnya.
2.
Seseorang dalam keadaan sangat kelaparan,
kemudian dia memakan makanan orang lain, maka dia harus mengganti seharga
makanan tersebut.
3.
Sesuatu
yang haram diterima, juga haram diberikan;
4.
Tidak
boleh membuat bangunan yang dapat merugikan orang lain.
5.
Seseorang yang merasa dirugikan, tidak boleh
membalas dengan merugikan orang lain, tetapi harus lapor ke pengadilan.
6.
Diperbolehkan membunuh para pemberontak;
7.
Tidak boleh menutup toko yang baru karena
kehadirannya dianggap merugikan toko yang lama.
***
Mengikuti berbagai forum diskusi dan kajian tentang fikih maka kita akan sering mendapati para peserta diskusi, mentor, guru menyebutkan kaedah-kaedah fikih. Semisal kaedah bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang serupa, mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan, keadaan darurat memperbolehkan melakukan yang dilarang, atau kaedah suatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya adalah wajib dan masih banyak lagi contoh kaedah yang lainnya.
Bagi yang ingin memahami lebih lanjut tentang berbagai kaedah ini biasanya harus merujuk pada kitab-kitab fikih yang terkenal. Terka
***
Mengikuti berbagai forum diskusi dan kajian tentang fikih maka kita akan sering mendapati para peserta diskusi, mentor, guru menyebutkan kaedah-kaedah fikih. Semisal kaedah bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang serupa, mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan, keadaan darurat memperbolehkan melakukan yang dilarang, atau kaedah suatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya adalah wajib dan masih banyak lagi contoh kaedah yang lainnya.
Bagi yang ingin memahami lebih lanjut tentang berbagai kaedah ini biasanya harus merujuk pada kitab-kitab fikih yang terkenal. Terka
dang yang dibahas hanya beberapa
kaedah saja. Kebanyakan pula referensi tersebut tersedia dalam bahasa Arab. Ini
tentu menyulitkan bagi mereka yang tidak mengerti bahasa itu. Maka buku
terjemahan yang diterbitkan baru-baru saja ini, tentunya sangat membantu sekali
bagi Anda, para penuntut ilmu ataupun siapapun yang ingin mendalami kajian
kaedah fikih dalam kehidupan sehari-hari. Dan Anda tidak perlu membacanya dari
awal sampai tuntas untuk mengetahui dengan segera kaedah yang diperlukan. Anda
cukup dengan mencari di daftar isinya, lalu menuju halaman yang dituju, dibaca,
dan dipahami. Anda dapat membaca buku ini dari kaedah mana saja. Praktis
sekali.
Penulis buku ini mengumpulkan sebanyak seratus kaedah fikih –yang tersebar dari berbagai kitab para ulama—yang bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan suatu hukum. Kaedah fikih ini—sebagaimana disebutkan dalam pengantar penerbit—merupakan sesuatu yang sangat penting, mengingat nash-nash Al-Qur’an maupun hadits menggariskan hukum secara global, sementara permasalahan hukum dari waktu ke waktu semakin komplek dan semakin banyak, sehingga diperlukan metode dalam pengambilan hukum tersebut.
Buku ini diawali dengan memberikan pengertian apa itu definisi kaedah secara bahasa serta perbedaan antara kaedah fikih dan hukum fikih itu sendiri. Yang menarik lagi dalam buku ini adalah di setiap kaedah yang dibahas diberikan makna, dalil-dalil, cabang, pengecualian kaedah, serta contoh-contohnya. Ini tentunya lebih memudahkan dan memberikan penjelasan yang menyeluruh bagi para pembacanya. (less)
Penulis buku ini mengumpulkan sebanyak seratus kaedah fikih –yang tersebar dari berbagai kitab para ulama—yang bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan suatu hukum. Kaedah fikih ini—sebagaimana disebutkan dalam pengantar penerbit—merupakan sesuatu yang sangat penting, mengingat nash-nash Al-Qur’an maupun hadits menggariskan hukum secara global, sementara permasalahan hukum dari waktu ke waktu semakin komplek dan semakin banyak, sehingga diperlukan metode dalam pengambilan hukum tersebut.
Buku ini diawali dengan memberikan pengertian apa itu definisi kaedah secara bahasa serta perbedaan antara kaedah fikih dan hukum fikih itu sendiri. Yang menarik lagi dalam buku ini adalah di setiap kaedah yang dibahas diberikan makna, dalil-dalil, cabang, pengecualian kaedah, serta contoh-contohnya. Ini tentunya lebih memudahkan dan memberikan penjelasan yang menyeluruh bagi para pembacanya. (less)
Ilmu ushul fiqh adalah sebuah kajian luar biasa
yang mampu meringkas begitu banyak teks yang memiliki konsekuensi hukum yang
sama menjadi sebuah formula yang sederhana. Ilmu ini digunakan para ulama dalam
mengambil kesimpulan hukum. Menyederhanakan masalah yang pelik menjadi mudah
butuh kecerdasan dan pemahaman yang mendalam. Oleh karena itulah, seseorang
yang menciptakan ilmu ushul fiqh ini pasti memiliki kecerdasan yang luar biasa
dan pemahaman yang mendalam tentang ilmu-ilmu syariat. Ilmu ini pertama kali
dirumuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafii atau lebih dikenal dengan Imam
Syafii.
Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin
Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin
Abdu Manaf. Nasab Imam Syafii dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam bertemu pada kakek mereka Abdu Manaf. Jadi, Imam Syafii adalah
seorang laki-laki Quraisy asli. Adapun ibunya adalah seorang dari Bani Azdi
atau Asad.
Imam Syafii dilahirkan pada tahun 150 H/767 M di
Kota Gaza, Palestina. Tahun kelahiran beliau bertepatan dengan wafatnya salah
seorang ulama besar Islam, yakni Imam Abu Hanifah rahimahullah.
Ayahnya wafat saat Syafii masih kecil sehingga ibunya memutuskan untuk hijrah
ke Mekah agar Syafii mendapatkan santunan dari keluarganya dan nasabnya pun
terjaga.
Di Mekah, Syafii kecil mulai mempelajari bahasa
Arab, ilmu-ilmu syariat, dan sejarah. Ia terkenal sebagai seoarang anak yang
cerdas, di usia enam atau tujuh tahun 30 juz Alquran sudah sempurna
bersemayam di dalam dadanya. Keterbatasan ekonomi tidak menjadi penghalang
baginya dalam menuntut ilmu, Syafii mencatat palajarannya di atas tulang-tulang
hewan atau kulit-kulit yang berserakan. Namun ia dimudahkan dengan karunia
Allah berupa daya hafal yang sangat kuat sehingga beban ekonomi untuk membeli
buku dan kertas bisa terganti. Setelah beliau merasa cukup menuntut ilmu di
Mekah, Madinah menjadi destinasi berikutnya dalam menimba ilmu. Di sana
adaseorang ulama yang dalam ilmunya, yakni Imam Malik rahimahullah.
Proses Menuntut Ilmu
Saat menginjak usia 13 tahun, gubernur Mekah
mendorongnya agar belajar ke Madinah di bawah bimbingan Imam Malik. Selama
belajar kepada Imam Malik, sang imam negeri Madinah sangat terkesan dengan
kemampuan yang dimiliki remaja dari Bani Hasyim ini. Kemampuan analisis dan
kecerdasannya benar-benar membuat Imam Malik kagum sehingga Imam Malik
menjadikannya sebagai asistennya dalam mengajar. Padahal kita ketahui, Imam
Malik adalah seorang yang sangat selektif dan benar-benar tidak sembarangan
dalam permasalahan ilmu agama, tapi kemampuan Syafii muda memang pantas
mendapatkan tempat istimewa.
Di Madinah, Imam Syafii larut dalam lautan ilmu
para ulama. Selain belajar kepada Imam Malik, beliau juga belajar kepada Imam
Muhammad asy-Syaibani, salah seorang murid senior Imam Abu Hanifah. Di antara
guru-guru Imam Syfaii di Madinah adalah Ibrahim bin Saad al-Anshari, Abdul Aziz
bin Muhammad ad-Darawaridi, Ibrahim bin Abi Yahya, Muhammad bin Said bin Abi
Fudaik, dan Abdullah bin Nafi ash-Sha-igh.
Adapun di Yaman, beliau belajar kepada Mutharrif
bin Mazin, Hisyam bin Yusuf yang merupakan hakim di Kota Shan’a, Amr bin Abi
Salama, salah seorang sahabat Imam al-Auza’i, dan Yahya bin Hasan. Sedangkan di
Irak beliau belajar kepada Waki’ bin Jarrah, Abu Usamah Hamad bin Usamah
al-Kufiyani, Ismail bin Aliyah, dan Abdullah bin Abdul Majid al-Bashriyani.
Dengan kesungguhannya dalam mempelajari ilmu
syariat ditambah kecerdasan yang luar biasa, Imam Syafii mulai dipandang
sebagai salah seorang ulama besar. Terlebih ketika gurunya yang mulia, Imam
Malik wafat pada tahun 795, Imam Syafii yang baru menginjak usia 20 tahun
dianggap sebagai salah seorang yan paling berilmu di muka bumi kala itu.
Di antara keistimewaan fikih Imam Syafii adalah
beliau mampu menggabungkan dua kelompok yang memiliki sudut pandang yang
berbeda dalam memahami fikih. Kelompok pertama dikenal dengan ahlul hadits,
yaitu orang-orang yang mencukupkan diri dengan hadis tanpa butuh intepretasi
atau analogi-analogi (qias) dalam menetapkan suatu hukum. Sedangkan kelompok
lainnya dikenal dengan ahlu ra’yi atau mereka yang menggunakan hadis sebagai
landasan penetapan hukum namun selain itu mereka juga memakai analogi-analogi
dalam menetapkan hukum. Imam Syafii mampu mengkompromikan dua kelompok ini bisa
menerima satu sama lainnya.
Ibadah Imam Syafii
Tidak diragukan lagi, seorang ulama yang
terpandang selain memiliki keilmuan yang luas, mereka juga merupakan teladan
dalam beribadah. Ar-Rabi’ mengatakan, “Imam Syafii membagi waktu malamnya
menjadi tiga bagian: bagian pertama adalah untuk menulis, bagian kedua untuk
shalat, dan bagian ketiganya untuk tidur.”
Di malam hari beliau tidak pernah terlihat
membaca Alquran melalui mush-haf, akan tetapi bacaan beliau di malam hari hanya
dilantunkan dalam shalat-shalatnya. Al-Muzani mengatakan, “Saat malam hari, aku
tidak pernah sekalipun melihat asy-Syafii membaca Alquran melalui mush-haf. Ia
membacanya saat sedang shalat malam (melalui hafalan pen.).”
Kefasihan Bahasa Imam Syafii
Selain menjadi bintang dalam ilmu fiqh, Imam
Syafi’i juga dikenal dengan kefasihan dan pengetahuannya tentang bahasa Arab.
Beliau belajar bahasa Arab kepada seorang Arab desa yang bahasa Arabnya fasih
dan murni. Hal itu serupa dengan keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang menitipkan beliau kepada ibu susunya yang berasal dari desa, tujuannya
agar bahasa Arab Nabi berkembang menjadi bahasa Arab yang fasih ketika tumbuh
dewasa. Ibnu Hisyam bercerita tentang kefasihan Imam Syafii, “Saya tidak pernah
mendengar dia (Imam Syafi’i) menggunakan apa pun selain sebuah kata yang sangat
tepat maknanya, seseorang tidak akan menemukan sebuah pilihan diksi bahasa Arab
yang lebih baik dan lebih pas dalam mengungkapkan suatu kalimat.”
Perjalanan Hidupnya
Tidak lama setelah wafatnya Imam Malik, Imam
Syafii ditugaskan pemerintah Abasiyah ke Yaman untuk menjadi hakim di wilayah
tersebut. Namun beliau tidak lama memangku jabatan tersebut karena jabatan
hakim secara tidak langsung menghubungkannya dengan dunia politik yang sering
mengkompromikan antara kebohongan dengan kejujuran, dan beliau tidak merasa
nyaman dengan hal yang demikian.
Setelah itu, beliau berpindah menuju Baghdad dan
menyebarkan ilmu di ibu kota kekhalifahan tersebut. Kehidupan beliau di Baghdad
dipenuhi dengan dakwah dan mengajar, bahkan beliau sempat berkunjung ke Suriah
dan negeri-negeri di semenanjung Arab lainnya untuk menyebarkan pemahaman
tentang Islam. Sekembalinya ke Baghdad, kekhalifahan telah dipegang oleh
al-Makmun.
Al-Makmun memiliki pemahaman yang menyimpang
tentang Alquran. Ia menganut paham Mu’tazilah yang mengedepankan logika
dibandingkan wahyu Alquran dan sunnah. Al-Makmun meyakini bahwasanya Alquran
adalah makhluk, sama halnya seperti manusia. Pemahaman ini berkonsekuensi
menyepadankan antara logika manusia dengan Alquran, artinya Alquran pun tidak
mutlak benar sebagaimana akal manusia. Tentu saja keyakinan ini bertentangan
dengan keyakinan Imam Syafii dan ulama-ulama Islam sebelum beliau yang menyatakan
bahwa Alquran adalah firman Allah, yang kebenarannya absolut.
Al-Makmun memaksa semua orang agar memiliki
pemahaman yang sama dengannya. Banyak para ulama ditangkap dan disiksa karena
peristiwa yang dikenal dengan khalqu Alquran ini. Akhirnya, pada tahun
814, Imam Syafii hijrah menuju Mesir, negeri dimana beliau berhasil merumuskan
ilmu ushul fiqh.
Wafatnya
Sebagaimana lazimnya manusia lainnya, sebelum
wafat Imam Syafii juga merasakat masa-masa sakit. Dalam keadaan tersebut, salah
seorang muridnya yang bernama al-Muzani mengunjunginya dan bertanya, “Bagaiaman
keadaan pagimu?” Imam Syafii, “Pagi hariku adalah saat-saat pergi meninggalkan
dunia, perpisahan dengan sanak saudara, jauh dari gelas tempat melepas dahaga,
kemudian aku akan menghadap Allah. Aku tidak tahu kemana ruhku akan pergi,
apakah ke surga dan aku pun selamat ataukah ke neraka dan aku pun berduka.”
Kemudian beliau menangis.
Imam Syafii dimakamkan di Kairo pada hari Jumat
di awal bulan Sya’ban 204 H/820 M. Beliau wafat dalam usia 54 tahun. Semoga
Allah merahmati, menerima semua amalan, dan mengampuni kesalahan-kesalahan
beliau.
Sumber:
– Islamstory.com
– Lostislamichistory.com
– Islamstory.com
– Lostislamichistory.com
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com
Artikel www.KisahMuslim.com
No comments:
Post a Comment