DOSA-DOSA PENDIDIKAN
INDONESIA
Rusa memakan, daun akasia,
Landak mendakat, membawa duri
Dosa pendidikan di Indonesia,
Tidak membuat murid mandiri.
Di
punggung landak, ada duri,
Untuk mengambil, buah yang ranum.
Abdurrahman bin Auf, sangat
mandiri,
Sa’ad bin Rabi, sangatlah kagum.
Abdurrahman bin Auf, sangat cinta dengan keterampilan berdagang, sehingga
menolak bantuan modal usaha dari Saad bin Rabi di Madinah, dari suku Bani Khazrat.
Sembilan
dari sepuluh rezeki,
Sudah ditetapkan oleh Ilahi
Di bidang perdagangan, Tuhan
beri,
Karena itu, harus dikuasai.
Jika Indonesia ingin maju, belajarlah
kepada Abdurrahman bin Auf dan belajar kepada Cina WNI, yang merasa
berkewajiban menanamkan keterampilan berdagang kepada semua anaknya.lah juga. Belajarlah
juga kepada peristiwa persaudaraan dari Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Rabi’.Keduanya
sangat mandiri, terampil dalam berdagang.Mengapa pendidikan Indonesia hari ini
tidak membuat murid mandiri. Seharusnya di samping hafal Quran dan hadits,
keterampilan tetap nomor satu.
Saking eratnya percintaan dalam artian
persaudaraan sesama mukmin, maka Saad menawarkan modal dan isteri kepada
Abdurrahman, tapi beliau menolak dengan kata-kata “CUKUP TUNJUKKAN SAJA KEPADAKU JALAN KE PASAR”.
Sampai di pasar, Abdurrahman, hanya membantu orang jualan bagi siapa yang mau
dibantu, ternyata belau sangat terampil, sehingga orang yang dibantunya dapat
keuntungan berlipat ganda. Akhirnya Abdurrahman punya kios kecil sendiri,
berkat tabungannya satu tahun. Ujung-ujungnya belaiu menjadi orang kaya pula di
Madinah. Modalnya hanyalah keterampilan dan marketingnya
adalah saling mencintai, sehingga dagangannya laris. Penting saling menyayangi,
dan saling berlemah lembut seperti satu tubuh; apabila salah satu anggotanya
sakit maka menjadikan seluruh tubuhnya demam dan tidak bisa tidur,” (Muttafaqun
‘Alaihi)
Terampil, Mandiri dan SENDIRI.
Bayangkanlah ketika kita mengunjungi suatu tempat yang belum pernah kita
kunjungi. Kita merasa sendiri dan tidak tahu harus berbuat apa di tempat itu
dengan tanpa memiliki sedikitpun harta. Kita tidak mempunyai perbekalan, tidak
mempunyai kawan, bahkan tidak mengetahui daerah di mana kita berada.
Tiba-tiba, di saat yang
seperti itu kita dipersaudarakan oleh seseorang yang begitu baiknya menganggap
kita seperti saudaranya sendiri. Dia menawarkan setengah dari harta kekayaannya
yang begitu banyak, bahkan menawarkan sesuatu yang amat dicintainya.
Adalah Abdurrahman bin
Auf, sahabat Rasulullah yang hijrah dari Mekah ke Madinah tanpa membawa apapun.
Sama seperti beberapa sahabat lainnya; Bilal dengan Abu Ruwaihah, Abu Bakar
dengan Kharija bin Zaid, Umar dengan Itsban bin Malik, maka Abdurrahman bin Auf
dipersaudarakan (taakhi) dengan Sa’ad bin Rabi’ oleh Rasulullah.
Di awal kedatangannya
di Madinah, Rasulullah mempersaudarakan kaum Anshar dengan kaum Muhajirin.
Persaudaraan itu dilakukan tanpa melihat apakah mereka itu kaya atau miskin,
tua atau muda. Rasulullah mempersaudarakan mereka atas dasar akidah Islam yang
sama-sama dianut. Dalam persaudaraan tersebut, mereka memiliki hak dan
kewajiban untuk saling membantu dan mengingatkan dalam hal kebaikan yang
diridhoi Allah. Saling mendukung ketika salah satu dari mereka mengalami
kesulitan.
Abdurrahman bin Auf
tentu merasa sangat bahagia dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi’. Sa’ad
sendiri merupakan salah satu dari kaum Anshar yang paling kaya di Madinah.
Kebun kurma, gandum, hingga unta dan domba yang dimilikinya sangatlah banyak.
Berbeda dengan kondisi Abdurrahman bin Auf yang tidak memiliki apa-apa kala
itu.
Ketika tiba di Madinah
dan dipersaudarakan dengan Abdurrahman bin Auf, Sa’ad menawarkan harta yang
dimilikinya itu kepada Abdurrahman. Sa’ad berkata kepada Abdurrahman,
“Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar.
Ambillah separuh hartaku itu menjadi dua. Aku juga mempunyai dua istri. Maka
lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa
iddahnya sudah habis, maka kawinilah ia..”
Laporkan iklan?
Kemudian Abdurrahman
menjawab, “Semoga Allah memberkahi bagimu dalam keluarga dan hartamu. Lebih
baik tunjukkan saja mana pasar kalian?”.
Lihatlah betapa
indahnya persaudaraan diantara mereka yang terjalin tanpa memandang harta.
Sa’ad yang mempunyai banyak harta tidaklah merasa berat untuk membagi apa yang
dimilikinya kepada saudaranya. Akan tetapi, dari sisi Abdurrahman yang ditawari
harta tersebut pun tidak serta-merta menerima pemberian dari saudaranya dengan
cuma-cuma. Abdurrahman lebih memilih untuk berusaha dengan meminta Sa’ad
menunjukkan letak pasar.
Tidak mudah untuk
bersikap seperti apa yang ditunjukkan oleh dua orang yang dipersaudarakan tersebut.
Mengorbankan apa yang dimilikinya dan begitu dicintainya demi saudaranya. Dan
tetap berusaha untuk bekerja dengan kemampuan kita sendiri dibanding menerima
begitu saja pemberian saudaranya tanpa berusah, padahal pada saat itu
Abdurrahman benar-benar tidak memiliki apapun dan tidak mengetahui daerah
dimana ia berada. Abdurrahman tidak mau disuapi ikan terus menerus, ia hanya
ingin diberi kail untuk memperoleh ikan dengan usahanya.
“Terimakasih saudaraku.
Aku menghormati keputusanmu untuk membagi dua harta milikmu. Semoga Allah
memberkahimu. Tapi aku tidak bisa menerimanya. Rasulullah mengajarkan ku untuk
selalu hidup di atas kekuatan kaki ku sendiri. Sekarang aku hanya ingin kau
mengantarkanku ke pasar. Aku akan berdagang,” kata Abdurrahman dengan santun.
Kemudian Sa’ad mengantar Abdurrahman ke pasar Bani Qainuqa, pasar terbesar di
kota Madinah.
Dalam kehidupan modern
seperti saat ini, dimana banyak orang selalu melihat kedudukan orang lain
berdasarkan harta yang dimiliki, sudah saatnya kita meneladani persaudaraan
yang terjalin antara Abdurrahman bin Auf dan Sa’ad bin Rabi’. Persaudaraan yang
memang dilandasi oleh keyakinan terhadap Allah yang begitu tinggi. Persaudaraan
yang terjalin tanpa memandang materi. Persaudaraan yang membawa pada penguatan
ukhuwah antarmuslim.
Ingatlah sabda
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari, “Salah seorang diantara kalian baru
sempurna imannya manakala ia mencintai kepentingan saudaranya seperti mencintai
kepentingan dirinya sendiri.” Maka, sebagai seorang muslim yang hidup di negara
yang majemuk seperti Indonesia ini sudah sepantasnya kita berusaha mencintai
kepentingan saudara kita sesama muslim jika mereka membutuhkan pertolongan.
Jika memungkinkan, strategi yang dilakukan oleh Rasulullah untuk membuat taakhi
dapat kita contoh di zaman
No comments:
Post a Comment